close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kedua kiri) menginspeksi pasukan saat upacara penyambutan di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta. Antara Foto
icon caption
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kedua kiri) menginspeksi pasukan saat upacara penyambutan di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta. Antara Foto
Politik
Kamis, 24 Oktober 2019 16:50

Pengangkatan Prabowo sebagai Menhan dianggap mengkhianati reformasi

Presiden Joko Widodo telah menutup harapan bagi para korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan keadilan.
swipe

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan kebijakan Presiden Joko Widodo mengangkat Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) berimplikasi pada mundurnya reformasi di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI).

“Ini menimbulkan kekhawatiran. Kalau kita lihat statement-nya (Prabowo) selama kampanye Pilpres 2019 itu mengkhawatirkan. Pendekatan yang dia gunakan, pendekatan klasik di Orde Baru,” kata Isnur dalam sebuah diskusi di Jakarta pada Kamis (24/10).

Selain lekat sebagai orang Orde Baru, Prabowo Subianto juga diduga sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) ketika terjadi tragedi 1998. Menurut Isnur, dengan mengangkat Prabowo sebagai Menhan sekaligus menjadi penghianatan terhadap sejarah reformasi. Menurutnya, ini menjadi suatu hal yang serius dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

“Pengangkatan Prabowo menandakan titik kelam dalam perjalanan bangsa Indonesia, yang mana seseorang yang memiliki catatan kelam masa lalu dijadikan sebagai Menteri Pertahanan,” kata Isnur.

Dengan demikian, kata Isnur, maka secara tidak langsung Presiden Joko Widodo telah menutup harapan bagi para korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan keadilan. Dalam upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, Isnur menilai, Presiden Jokowi juga telah gagal mengadili pelaku pelanggaran HAM di masa periode pertamanya.

Juga demikian dengan periode keduanya. Isnur mengaku tak banyak berharap pada Presiden Jokowi terkait penyelesaian kasus HAM di tanah air. Terlebih jika melihat dari pidato perdana Presiden Jokowi saat pelantikan 20 Oktober 2019, bekas Wali Kota Solo itu tak menyinggung sama sekali penyelesaian kasus HAM masa lalu. Padahal, HAM merupakan ruh dari konstitusi itu sendiri. 

Kendati demikian, Isnur menuturkan, pihaknya konsisten dan tidak akan berhenti berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi para korban pelnaggaran HAM.

“Kami tidak takut. Kami tidak menyerah. Kami akan jalan terus menuntut negara ini membongkar, mengungkap, menyidangkan para pelaku pelanggar HAM. Aksi Kamisan akan terus berlanjut, Kamis demi Kamis. Kami enggak tahu sampai Kamis ke berapa. Yang jelas sampai negara mendengarkan tuntutan korban,” ujar Isnur.

Sementara itu, ayah dari Ucok Munandar Siahaan, Paian Siahaan, salah satu dari 13 aktivis 98 yang masih dinyatakan hilang, meminta agar pencarian aktivis segera dilakukan. Permintaan tersebut disampaikannya sekalipun saat ini Presiden Jokowi menjadikan terduga pelaku kejahatan hak asasi manusia (HAM), Prabowo Subianto sebagai pembantunya di bidang pertahanan.

Permintaan tersebut juga tidak terlepas dari empat rekomendasi yang diberikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada pemerintah pada 2009 silam, yang mana satu di antaranya merekomendasikan presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang masih hilang.

“Pencarian korban buat kami itu sangat penting karena status hukum daripada anak kami harus jelas," kata Paian.

Paian menambahkan, dirinya tak banyak berharap permintaannya itu bisa terealisasi ketika melihat Prabowo Subianto justru diangkat Presiden Jokowi sebagai Menteri Pertahanan.  Hal ini, menurutnya, semakin menjauhkan harapannya.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan