People power dan jerat makar kubu Prabowo-Sandi
Pihak kepolisian menangkap Hermawan Susanto di Parung, Bogor, Jawa Barat pada Minggu (12/5). Sebelum ditangkap, Hermawan menyebut akan memenggal kepala Presiden Joko Widodo di dalam rekaman video yang viral di media sosial.
Video tersebut merupakan rekaman aksi massa di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, terkait Pilpres 2019 pada Jumat (10/5).
Tak tanggung-tanggung, Hermawan akan dijerat dengan Pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan atau Pasal 110 KUHP, Pasal 336 dan Pasal 27 ayat 4 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 104 KUHP berbunyi, makar dengan maksud untuk membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Dugaan makar bukan hanya ditetapkan kepada Hermawan. Beberapa tokoh oposisi pun dijerat perkara makar. Pada 14 Mei 2019, advokat dan politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Eggi Sudjana ditetapkan sebagai tersangka dugaan makar, terkait pernyataan people power.
Selain Eggi, mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayjen (Purn) Kivlan Zen pun pada 13 Mei 2019 diperiksa terkait dugaan penyebaran berita bohong dan makar.
Politikus Partai Gerindra Permadi juga diperiksa terkait dugaan berita bohong dan makar. Pemeriksaan ini terkait pernyataannya terkait revolusi di dalam sebuah video di Youtube.
Terakhir, Lieus Sungkharisma alias Li Xue Xiung, juru kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan penyebaran berita bohong dan makar pada Senin (20/5).
Terlalu dini
Terkait kasus yang menimpa kliennya, penasihat hukum Eggi Sudjana, Abdullah Al Katiri mempersoalkan penetapan status tersangka kepada Eggi. Ia menganggap, penetapan itu terlalu dini, dan menyalahi ketentuan perundang-undangan lain, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Al Katiri mengatakan, sesuai Pasal 16 UU Advokat, ada hak imunitas pengacara saat menjalankan tugas. Ajakan untuk melakukan people power, kata Al Katiri, dalam kapasitas Eggi sebagai pengacara BPN Prabowo-Sandi.
"Yang dilakukan Eggi Sudjana dalam kapasitasnya sebagai advokat karena dia juga penasihat hukum Badan Pemenangan Nasional. Jadi, tidak bisa ditindak pidana atau perdata," kata Al Katiri saat ditemui di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Minggu (19/5).
Al Katiri pun heran, istilah people power dianggap perbuatan pidana. Ia mengungkapkan, saat Pemilu 2014, istilah people power pernah diucapkan pendukung Jokowi. Akan tetapi, saat itu tak ada penangkapan.
"Kalau ini dianggap perbuatan pidana, seharusnya pada Pemilu 2014 itu juga diangkat," ucap Al Katiri.
Sementara itu, juru bicara BPN Prabowo-Sandi sekaligus politikus Partai Gerindra, Andre Rosiade mengaku prihatin dengan banyaknya pendukung Prabowo-Sandi yang dijerat dugaan makar. Namun, ia maklum bila pihak kepolisian punya pemahaman lain soal makar.
"Kita berharap mereka mendapat proses hukum yang berkeadilan," kata Andre saat dihubungi reporter Alinea.id, Senin (20/5).
Lebih lanjut, Andre mengatakan, ia meragukan niat pendukung calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 untuk melakukan percobaan makar. Maka, diperlukan proses hukum yang objektif dan mendalam.
"Coba didalami betul apa mereka ingin makar atau tidak. Saya rasa sih tidak ada makar-makar itu juga kan. Tapi kalau mereka punya sikap lain, tentu kami hormati," ucap Andre.
Kasus menguap
Istilah makar berasal dari Bahasa Belanda, yakni aanslag. Menurut Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati, istilah makar terdapat di dalam beberapa pasal KUHP, antara lain Pasal 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140.
Istilah makar yang disebut di dalam KUHP memunculkan penafsiran beragam. Asfinawati mengatakan, pemaknaan makar kerap disesuaikan dengan kepentingan politik penguasa. Sebab, pemerintah tidak pernah mengeluarkan terjemahan resmi dari istilah makar di dalam KUHP.
"Tidak hanya makar, di pidana yang lain kalau tidak ada definisi yang ketat ya begitu (mudah ditarik sesuai kepentingan)," kata Asfinawati saat dihubungi, Minggu (19/5).
Kasus dugaan makar di masa pemerintahan Jokowi bukan kali ini saja ramai. Pada 2 Desember 2016, beberapa tokoh nasional, seperti Sri Bintang Pamungkas, Rachmawati Soekarnoputri, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Adityawarman, Firza Husein, Alvin Indra, dan Kivlan Zen ditangkap terkait aksi bela Islam 212, yang diduga terkait perencanaan makar. Setelah itu, polisi juga mengamankan Rizal dan Jamran, yang diduga terlibat permufakatan jahat melakukan aksi makar.
Kemudian, tiga bulan setelah aksi bela Islam 212, menjelang aksi bela Islam 313 pada 31 Maret 2017, polisi menangkap Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al-Khaththath, Pimpinan Gerakan Mahasiswa Pelajar Bela Bangsa dan Rakyat (GMPBBR) Zainuddin Arsyad, Wakil Koordinator Lapangan Aksi Bela Islam 313 Irwansyah, serta Panglima Forum Syuhada Indonesia Diko Nugraha, diduga terkait makar.
Namun, kasus-kasus dugaan makar tersebut menguap. Sri Bintang misalnya. Ia dijerat Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 107 juncto Pasal 110 KUHP tentang Makar dan Permufakatan Jahat, memang sempat ditahan hingga 15 Maret 2017. Akan tetapi, kasusnya tak jelas hingga kini.
"Tuduhan makar (saat aksi bela Islam 212) kepada tokoh-tokoh tetap tidak berlanjut. Karena itu, tindakan penetapan tersangka makar saat ini juga patut disayangkan, karena terkesan secara jelas hukum digunakan sebagai alat kekuasaan," kata pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar kepada Alinea.id, Minggu (19/5).
Bernuansa politis
Abdul Fickar membenarkan bila kasus makar bernuansa politis dibandingkan murni pemidanaan. Ia menjelaskan, dalam kasus people power, hal itu justru mencuat ketika pemilu. Selain itu, beberapa orang yang ditangkap dan dijerat pasal makar, seluruhnya pendukung Prabowo-Sandi.
"Lebih bernuansa politis, karena seperti diketahui tuduhan itu dikenakan kepada aktivis-aktivis oposisi yang aktif," kata Abdul Fickar.
Sementara istilah people power, menurut Abdul Fickar, tak punya alasan hukum yang kokoh untuk dimasukkan sebagai tindakan makar. Alasannya, kata dia, people power sah-sah saja selama belum ada penetapan pemenang pemilu.
Abdul Fickar mengungkap dua momen yang diperbolehkan untuk melakukan pergantian presiden, yakni pemakzulan dan pilpres.
"Pada dua momen ini, wacana soal penggantian presiden itu bukan kejahatan atau tindak pidana. Tetapi begitu ada putusan tetap siapa presiden terpilih, maka wacana penggantian menenuhi unsur tindak pidana makar," tuturnya.
Di sisi lain, Asfinawati menganggap, people power bisa masuk pidana makar, asal diikuti dengan bukti adanya percobaan serangan kepada kepala negara. Setidaknya, kata dia, penyidik mesti mengantongi dua alat bukti lengkap.
“Rekaman sebatas seruan people power, tidak memadai untuk menjerat seseorang dengan delik percobaan makar,” kata Asfinawati.