People power, gerakan massa untuk kepentingan siapa?
Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dijaga ketat aparat keamanan sejak Senin (20/5). Lingkaran kawat berduri terlihat di sekitar dua kantor tersebut. Lalu lintas dari Monumen Nasional (Monas) menuju Bundaran Hotel Indonesia ditutup.
Jakarta siaga satu. Kesiagaan aparat dipersiapkan untuk mengantisipasi gerakan people power. Aksi massa sudah terlihat pada Selasa (21/5), dan diperkirakan berlangsung hingga Rabu (22/5). Aksi ini sebagai bentuk protes terhadap dugaan kecurangan dalam Pemilu 2019, dan memprotes pengumuman pemenang Pemilu 2019.
KPU sendiri sudah mengumumkan pemenang Pemilu 2019 pada Selasa (21/5) dini hari. Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin berhasil meraup 85.607.362 suara atau 55,50%. Sementara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno memperoleh 68.650.239 suara atau 44,50%.
Aksi massa dan gugat ke MK
Juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, aksi massa ini untuk menyikapi hasil pengumuman pemenang Pemilu 2019. Menyampaikan pendapat di depan umum, kata Dahnil, merupakan hak konstitusional.
"Kami mendukung aksi-aksi damai, konstitusional, berakhlak seperti disampaikan Pak Prabowo. Yang jelas aksi menyampaikan aspirasi, berserikat itu adalah hak konstitusional dilindungi oleh undang-undang," ucap Dahnil ditemui di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Selasa (21/5).
Sementara itu, Direktur Relawan BPN Prabowo-Sandi, Ferry Mursyidan Baldan menjelaskan, terkait aksi massa pada Rabu (22/5), tak jauh berbeda dengan demonstrasi yang lazim dilakukan. Bedanya, aksi ini menemukan momentum saat pemilu.
"Demo yang selama ini dilakukan itu kan juga bentuk dari people power," kata Ferry kepada Alinea.id, saat ditemui di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Selasa (21/5).
Menurut mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional ini, gerakan massa tersebut tak punya target khusus, selain menyuarakan penolakan terhadap hasil pemilu yang sudah diumumkan KPU.
Istilah people power digaungkan Dewan Pembina BPN Prabowo-Sandi, Amien Rais. Namun, belakangan istilah itu diganti menjadi Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat. Alasannya, kata Amien, pemerintah takut dengan istilah people power yang didengungkan untuk memprotes dugaan kecurangan Pemilu 2019.
Selain turun ke jalan, BPN Prabowo-Sandi juga akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah itu diambil karena desakan dari pendukung di berbagai daerah. Dahnil mengklaim, pihaknya memiliki data-data yang kuat sebagai bahan pembuktian di persidangan MK.
"Nah, (bukti) itu perlu dibawa ke lembaga yang punya wewenang untuk menyelesaikan masalah itu, baik Bawaslu maupun MK," kata Dahnil.
Misi berbeda
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin melihat, ada pergeseran dalam komando people power kubu Prabowo-Sandi ke barisan purnawirawan, dari sebelumnya tokoh-tokoh Islam. Hal itu, kata Ujang, wajar karena secara elektoral Prabowo-Sandi butuh amunisi baru untuk memperkuat gerakannya.
"Dukungan umat Islam sesungguhnya tidak banyak dibutuhkan karena pilpres sudah berlangsung. Buktinya, Jokowi tetap memenangkan pilpres. Sekarang perlu menggaet dukungan baru, yakni para jenderal purnawirawan," kata Ujang saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (21/5).
Lebih lanjut, Ujang mencermati, gerakan people power telah kehilangan orientasi. Sebenarnya, tujuan people power adalah mengambil alih kekuasaan. Namun, kata dia, tujuan itu semakin kabur.
Dihubungi terpisah, mantan aktivis 1998 Mixil Mina Munir menuturkan, people power saat dirinya masih menjadi aktivis berbeda dengan people power yang tengah digaungkan pendukung Prabowo-Sandi.
Mixil mengatakan, people power saat ini yang ditujukan untuk menolak hasil Pemilu 2019 hanya bertujuan untuk memuaskan kepentingan elite politik tertentu. Mixil menilai, agenda penolakan tersebut sama sekali tak ada kaitannya dengan kepentingan rakyat. Hal inilah yang membedakan people power yang berakhir dengan mundurnya Soeharto dari kursi presiden pada 21 Mei 1998.
"Kalau terjadi, ini menjadi petaka demokrasi. Orang dengan kekuatan mobilisasi massa bisa mengubah hasil pemilu. Itu buruk bagi demokrasi kita yang sedang menuju pada penyempurnaan," kata Mixil saat dihubungi, Senin (20/5).
Mixil menambahkan, kondisi politik di Indonesia saat ini berjalan baik. Hal itu berbeda dengan di masa Orde Baru, ketika semua sendi kehidupan dikontrol, termasuk hak menyampaikan pendapat di depan umum.
"Waktu itu ada rezim yang mengekang dalam proses demokrasi dan HAM, sekarang itu tidak terjadi," tutur Mixil.
Menurutnya, pijakan dasar untuk menggerakkan massa berbeda. Di masa Orde Baru, katanya, demokrasi dikekang. Hak-hak rakyat untuk bersuara maupun berserikat juga sangat terbatas. Selain itu, harga-harga melambung tinggi.
“Sementara rezim saat ini tidak pernah mencederai hak politik rakyat," ucap dia.
Barisan sakit hati
Sementara itu, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo mengatakan, sesungguhnya people power bisa terjadi karena didorong keprihatinan mayoritas rakyat terhadap kondisi bangsa.
Hermawan mencontohkan, beberapa saat menjelang penggulingan Soeharto pada 1998, kondisi ekonomi Indonesia sangat buruk.
"Di Pasar Minggu (Jakarta Selatan) waktu itu, setiap hari ratusan orang berderet-deret untuk membeli beras murah. Sekarang, tidak ada orang terancam mati kelaparan. Tidak ada syarat kondisi objektif untuk melakukan people power," kata Hermawan saat dihubungi, Selasa (21/2).
Hermawan menilai, tak ada alasan moral untuk mendukung gerakan people power yang diinisiasi kubu Prabowo-Sandi. Selain itu, Hermawan pun menyangsikan komitmen para tokoh yang menyerukan people power untuk memprotes hasil Pemilu 2019.
Sebagian tokoh, kata Hermawan, tak punya legitimasi untuk mendengungkan aksi people power. Ia menyentil keluarga Cendana, yang menyerukan people power. "Itu cuma barisan orang yang sakit hati dan sedang mencari perlindungan," ujarnya.
Peneliti senior LIPI lainnya, Syamsuddin Haris pun menuturkan, meski people power benar-benar terlaksana, gerakan itu menjadi tahapan yang buruk dalam konsodilasi demokrasi di Indonesia.
"Aksi massa people power dalam bentuk apa pun adalah langkah mundur dalam sejarah demokrasi kita," kata Syamsuddin Haris ketika dihubungi, Selasa (21/5).
Ia memandang, sebagai negara demokratis, Indonesia telah punya kelengkapan institusi untuk menyelesaikan sengketa pemilu, seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Oleh karena itu, ia mengimbau agar kontestan tetap menghormati hasil yang diputuskan KPU, terkait pemenang pemilu. "Jika tidak puas, bisa mengajukan ke Mahkamah Konstitusi. UU sudah mengaturnya," tutur dia.
Di sisi lain, Syamsuddin tak melihat indikasi yang mengarah pada kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Pola pengawasan agar hasil pemilu tak dimanipulasi, kata dia, bekerja dengan baik. Bahkan, proses pemantauan dilakukan secara berlapis.
"Kita kan tahu, penghitungan dan rekapitulasi dilakukan secara terbuka dan diawasi secara berlapis-lapis oleh pemantau, saksi-saksi, bahkan media," kata Syamsuddin.