Perjudian Jokowi dalam gonta-ganti merek kementerian
Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja mengumumkan para menteri yang akan membantunya di Kabinet Indonesia Maju dalam lima tahun ke depan. Kabinet itu memiliki komposisi 4 menteri koordinator, 30 menteri teknis, dan 4 pejabat setingkat menteri.
Selain itu, tercatat ada 3 kementerian yang mengalami perubahan nomenklatur di kabinet baru Jokowi. Pertama, Kementerian Pariwisata dilebur dengan Badan Ekonomi Kreatif menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Kedua, Jokowi memisahkan Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) dari Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan mengembalikannya ke Kemendikbud. Kemenristek Dikti berganti menjadi Kemenristek dan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) yang dipimpin Bambang Brodjonegoro.
Yang paling krusial, Jokowi menambahkan tugas mengawal investasi kepada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang kembali dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan. Nomenklaturnya berubah menjadi Kemenko Maritim dan Investasi.
"Saya kira terobosan-terobosan dalam rangka Indonesia poros maritim dunia dalam menangani hambatan investasi dan merealisasikan komitmen-komitmen investasi besar ada di tangan beliau," ujar Jokowi saat memperkenalkan Luhut sebagai Menko Maritim di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10) lalu.
Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, perombakan nomenklatur itu sudah disampaikan Presiden kepada DPR sebelum susunan kabinet diumumkan. Menurut dia, DPR telah menyetujui perubahan tersebut karena tak berbenturan dengan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang sudah dibentuk DPR, pekan lalu.
"Nanti pada waktunya tentu saja Presiden akan berkirim surat dan menyampaikan bahwa kementerian yang digabung itu nantinya akan bersinergi dengan komisi-komisi yang mana saja," ujarnya kepada Alinea.id di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, dua hari sebelumnya.
Lebih jauh, Puan mengatakan, perubahan nomenklatur yang dilakukan Jokowi tidak bakal menimbulkan polemik berkepanjangan. Apalagi, tak ada kementerian yang dibubarkan atau ditambah. "Tidak akan ada perpindahan yang besar, sistematis sehingga membubarkan kementerian. Itu hanya soal pengabungan," imbuhnya.
Ditemui di Gedung DPR, Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid sepakat perombakan nomenklatur hanya bakal menghambat kinerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf sesaat saja.
"Saya rasa butuh waktu kalau ada tambahan atau penggabungan. Saya berharap minimal tiga bulanlah untuk penyesuaian," ujarnya kepada Alinea.id.
Jazilul meyakini, Jokowi telah punya kalkulasi sendiri dalam membagi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) setiap kementerian. "Jadi, hanya Presiden yang bisa mengukur pengabungan atau pemisahan itu. Saya sih yakin ukurannya pasti untuk mempercepat janji pembangunan," ujarnya.
Terkait perubahan nomenklatur, Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria--yang partainya baru saja bergabung dengan koalisi pemerintah--hanya berpesan agar tidak ada kementerian yang kerjanya lebih berat ketimbang yang lainnya. "Jadi, harus ada keseimbangan," ujarnya.
Perjudian genjot investasi
Ketua Properti dan Kawasan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sanny Iskandar berpandangan, perubahan nomenklatur tak begitu merisaukan bagi para pelaku usaha. Pasalnya, Jokowi masih mempertahankan sejumlah wajah lama di kementerian terkait ekonomi.
Jokowi, misalnya, mempertahankan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, menunjuk Airlangga Hartarto sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dan memanggil kembali Sofyan Djalil sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Salah satu catatan 'minus' versi Apindo hanyalah terkait Kementerian Perdagangan yang dipimpin Agus Suparmanto. Menurut Sanny, Agus Suparmanto merupakan sosok asing bagi para pelaku usaha. "Kami pun bertanya-tanya siapa Agus Suparmanto ini," ujarnya.
Sebelum jadi Mendag, Agus diketahui menjabat Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar (PB) Ikatan Anggar Seluruh Indonesia (IKASI) masa jabatan 2018-2022. Selain itu, politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Galangan Manggar Biliton (GMB).
Menurut Sanny, Kemendag seharusnya dikuasai oleh orang punya pengalaman dan punya solusi dalam mengatasi beragam persoalan di dunia perdagangan. "Kementerian Perdagangan ini sangat pelik urusannya. Terkait dengan defisit (neraca perdagangan) itu kan cukup besar," ujarnya.
Ihwal Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Sanny memandang, kedua bidang itu memang terasa kurang pas jika digabung. Ia menduga keberadaan Luhutlah yang membuat Jokowi memaksakan penambahan nomenklatur di Kemenko Maritim.
"Luhut Panjaitan memang ditempatkan di mana saja beliau itu memang tidak bisa lepas dari tugas-tugas khusus Presiden yang besar, termasuk dalam hal investasi. Beberapa, misalnya, kawasan industri Morowali, kemudian kawasan pariwisata di Mandalika itu kan banyak hal-hal yang tadinya tidak jalan, sama beliau itu bisa jalan," ujarnya.
Pengamat kebijakan publik Universitas Padjadjaran (Unpad) Yogi Suprayogi menjelaskan, sebenarnya tak ada perubahan signifikan yang dilakukan Jokowi dengan mengotak-atik nomenklatur kementerian. Terkecuali Kemenko Maritim, nomenklatur kementerian cenderung kembali seperti era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dari segi biaya dan proses, Yogi mengatakan, perombakan nomenklatur yang dilakukan Jokowi juga tidak akan bikin 'ribet'. "Memang perlu waktu. Tapi, tak akan sampai lama karena ini balik lagi ke awal, seperti tupoksinya di era SBY. Pada dasarnya, ini hanya ganti merek saja," ujar dia.
Dari susunan kabinet yang diracik Jokowi, Yogi membaca, mantan Wali Kota Solo itu ingin fokus terhadap dua bidang, yakni pertumbuhan ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Menurut Yogi, hal itu setidaknya dapat dilihat dari 'pernak-pernik' investasi dalam nomenklatur kementerian.
"Saya rasa dia lebih ngejar itu. Pertama, kenapa pertumbuhan ekonomi? Karena indikator dia kan investasi. Investasi kita digenjot. Sekarang bayangkan saja yang berkaitan investasi itu ada 3 (kementerian) dan 1 lembaga yang sudah jelas," ujarnya.
Terkait SDM, Yogi mengatakan, Jokowi membangun banyak unit di kementerian dan lembaga untuk mengembangkannya. Ia yakin Jokowi bakal mengalokasikan anggaran yang besar untuk pengembangan SDM sebagaimana janjinya pada masa kampanye Pilpres 2019. "Sekarang aja sudah 20% anggaran dialokasikan untuk pendidikan doang. Saya rasa kemungkinan untuk alokasi SDM akan lebih," tuturnya.
Namun demikian, Yogi menilai Jokowi sedikit berjudi dalam upayanya menggenjot investasi. Pasalnya, Jokowi banyak menempatkan orang baru yang belum diketahui kinerjanya. "Yang wajah lama Luhut Binsar Pandjaitan saja paling. Tapi, lihat Kementerian Periwisata dan Ekonomi Kreatif (yang dipimpin Wishnutama). Jelas itu baru," ujarnya.
Perampingan masih pepesan kosong
Kritik terhadap perubahan nomenklatur diutarakan Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera. Mardani mengaku kecewa Jokowi mengotak-atik tupoksi kementerian tanpa merampingkannya. Padahal, Jokowi kerap menggembar-gemborkan upaya pemerintah mengefisienkan birokrasi dan memangkas lembaga.
"Kalau sudah sering teriak yang berkaitan reformasi birokrasi, paling utamanya adalah lakukanlah prinsip reformasi birokrasi itu. Mestinya birokrasi itu miskin struktur, tapi kaya fungsi. Jadi, kementerian itu tak mesti 34," ujarnya.
Mardani juga mengkritik rencana Jokowi memangkas level pejabat eselon di kementerian yang sempat diungkapkan saat dilantik di DPR, Ahad (20/10) lalu. Menurut dia, langkah tersebut potensial memicu resistensi dari internal kementerian dan berefek negetif terhadap kinerja kementerian.
"Mestinya disampaikan dulu road map dan grand design reformasi birokrasinya. Baru nanti disampaikan unit-unit perubahannya. Jadi, jangan asal main bilang mengurangi dari empat eselon jadi dua eselon. Itu mah sebelum dimulai akan menimbulkan resistensi," kata dia.
Menurut Mardani, dengan otak-atik nomenklatur kementerian, Jokowi sedang melakukan pencitraan terkait percepatan pembangunan dan investasi. "Padahal, kalau kementeriannya banyak, koordinasinya bakal susah. Dan, sudah jelas kerjanya pun tidak bisa cepat," ujarnya.
Secara khusus, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyoroti penambahan nomenklatur investasi ke dalam Kemenko Maritim. Melalui nomenklatur ini, menurut Sekjen Kiara Susan Herawati, Jokowi tak ubahnya sedang mengirimkan pesan kepada masyarakat bahari bahwa pemerintah akan menjadikan lautan sebagai objek investasi skala besar.
Investasi model itu, kata Susan, sudah mulai terlihat dari pembangunan industri pariwisata skala besar seperti yang ditunjukkan melalui proyek Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Industri (KI), Kawasan Perdagangan Bebas (KPB), dan Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN).
"Semuanya akan dibangun di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Semuanya akan merampas ruang hidup masyarakat bahari yang terdiri lebih dari delapan juta rumah tangga perikanan," ucapnya seperti dikutip Antara, Kamis (24/10).
Susan menegaskan, Kiara tidak antipati terhadap investasi. Namun demikian, menurut dia, investasi skala besar cenderung eksploitatif dan mengabaikan ruang hidup masyarakat kecil di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Padahal, lanjut dia, laut seharusnya dipandang sebagai kekayaan bersama yang harus dikelola dengan pendekatan demokrasi ekonomi, yaitu dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat bahari.
"Laut adalah induk kehidupan. Jika laut rusak, maka kehidupan akan ikut hancur. Ekonomi masyarakat bahari adalah ekonomi yang berbasis pada gotong royong dan kekeluargaan sekaligus berpijak pada keberlanjutan lingkungan. Tidak ada praktik eksploitasi alam. Yang ada adalah memuliakan alam," ucap Susan.
Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala mengingatkan pemerintah terkait potensi malaadministrasi dalam perombakan nomenklatur dan pembentukan organisasi baru. Menurut Adrianus, pemerintah harus memastikan agar perubahan nomenklatur tidak menimbulkan tumpang-tindih pada satu sisi dan kekosongan pada sisi yang lain.
"Kemudian bagi kementerian yang digabung, harus dihindari permasalahan ego sektoral yang pasti muncul. (Ego sektoral) selama ini diketahui menyebabkan sulitnya mengambil keputusan perihal siapa yang berwenang terhadap hal apa," ujar Adrianus.