Senin 4 Desember 2016 silam, Mahkamah Konstitusi atau MK mengabulkan gugatan terkait Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Ketiga aturan yang berisi larangan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Salah satu hakim konstitusi, Maruarar Siahaan menyebut dasar pertimbangan dalam mengabulkan gugatan tersebut diantarnya mengacu pada pendapat Profesor Mardjono Reksodiputro dan Profesor JE Sahetapy.
Kedua ahli pidana itu menganggap, bahwa arti penghinaan harus menggunakan pengertian yang berkembang dalam masyarakat tentang Pasal 310-321 KUHP (mutatis mutandis). Dengan mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai sosial dasar dalam masyarakat demokratik yang modern, maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah baik pusat dan daerah, maupun pejabat-pejabat pemerintah.
Selain itu, dalam suatu negara republik, maka kepentingan negara tidak dapat dikaitkan dengan pribadi presiden dan wakil presiden, seperti yang berlaku untuk pribadi raja dalam suatu negara kerajaan. Bahkan, Sahetapy menganggap pasal penghinaan terhadap presiden serta wakil presiden tak relevan dalam era demokrasi dan reformasi lantaran kehilangan raison d’etre-nya.
Meski demikian, dalam putusan yang diketok oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie itu terdapat perbedaan pendapat hakim atau dissenting opinion. Dari sembilan hakim konstitusi, empat diantaranya tak sepakat untuk mengabulkan gugatan tersebut.
Keempat hakim itu adalah I Dewa Gede Palguna, HAS Natabaya, Soedarsono dan Achmad Roestandi. Pasal tersebut pun dinilai masih relevan oleh I Dewa Gede. Meski beleidnya peninggalan pemerintah kolonial Belanda, di mana ketentuan tentang penghinaan terhadap lembaga presiden dan wakil presiden, menurut sejarah penyusunannya adalah bertolak dari maksud untuk melindungi martabat raja.
Sedangkan aturan itu tidak dirumuskan sebagai delik aduan melainkan sebagai delik biasa. Alasannya, karena martabat raja tidak membenarkan pribadi raja bertindak sebagai pengadu (aanklager) dan bahwa pribadi raja begitu dekat terkait (verweren) dengan kepentingan negara (staatsbelang), sehingga martabat raja memerlukan perlindungan khusus.
Kini, 12 tahun berselang, Panitia Kerja Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Komisi III DPR tetap memasukkan pasal mengenai penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Namun, legislatif mengubah delik pada pasal tersebut menjadi delik aduan.
"Yang berbeda itu sifat deliknya, sebelumnya delik umum dan biasa menjadi delik aduan," kata anggota Panja RKUHP Arsul Sani seperti dikutip dari Antara, Rabu (7/2).
Polikus PPP itu mengatakan, pasal penghinaan pada presiden dan wakil presiden perlu dijabarkan kepada masyarakat secara jelas. Arsul memastikan bahwa secara norma dasarnya, akan menjadi sesuatu yang berbeda dengan pasal di KUHP sekarang yang sudah dibatalkan MK.
Di sisi lain, penolakan justru datang dari pimpinan DPR. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyebut dicantumkannya pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden dalam RUU KUHP merupakan bentuk kemunduran demokrasi sehingga harus ditarik.
"Kalau pasal itu masih ada sesungguhnya kemunduran yang luar biasa dan harus dihentikan," papar Fahri.
Alasan penolakan politikus PKS ini lantaran pasal penghinaan presiden dan wapres itu merupakan peninggalan Belanda yang ditujukan untuk penghina kepada pemimpin kolonial, seperti Ratu Belanda dan Gubernur Jenderal. Fahri mengatakan pasal itu digunakan bukan di Belanda, namun di negara-negara jajahan untuk melindungi kekuasaan dari rakyat yang terjajah.
"Jadi sungguh ini kemunduran yang luar biasa, karena itu harus dihentikan," tandasnya.