close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi gedung DPR RI. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi gedung DPR RI. Alinea.id/Firgie Saputra
Politik
Rabu, 16 Oktober 2024 17:03

Persoalan lama yang masih membayangi DPR periode 2024-2029

Minimnya kritik terhadap pemerintahan oleh DPR akan berlanjut pada periode 2024-2029.
swipe

Lebih dari separuh anggota DPR periode 2024-2029 adalah wajah lama dari periode sebelumnya. Ada kekhawatiran soal itu dari sebagian masyarakat. Khususnya yang terkait dengan kinerja DPR. Mengingat, kinerja DPR pada periode 2019-2024 dinilai minim prestasi.

Hal itu dikonfirmasi oleh Indonesian Parliamentary Center (IPC) yang mencatat sepanjang periode 2019-2024, hanya 37% rekomendasi rapat pengawasan DPR yang ditindaklanjuti pemerintah. Sisanya, atau 67% rekomendasi DPR tidak ditindaklanjuti pemerintah.

Data tersebut menunjukkan, pengawasan DPR belum cukup berdampak terhadap pemerintah. Selain itu, banyak rapat pengawasan DPR yang bersifat normatif, dengan pembahasan yang kurang substansial.

Merespons itu, Wakil Rektor IV UNDIP dan Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto, melalui zoom meeting pada Minggu (13/10) menyebut, meski DPR baru saja dilantik, tetapi sebenarnya banyak persoalan lama yang masih membayangi. Terutama dalam hal pengawasan kekuasaan eksekutif.

Dia merujuk hasil kajian LP3ES yang sejak 2019 menunjukkan adanya konsistensi kemunduran demokrasi di Indonesia. Ciri-ciri ini sebenarnya kerap diasosiasikan dengan eksekutif. Namun, dia menyebut, perlunya mencermati apakah legislatif juga terpengaruh.

“Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR meningkat, namun peringkatnya masih buruk. Berdasarkan survei CSIS pada 2023, di antara beberapa lembaga negara, DPR merupakan yang paling bawah,” tutur akademisi Universitas Diponegoro Bangkit Wiryawan, dalam kesempatan serupa.

Dia menduga, minimnya kritik terhadap pemerintahan oleh DPR akan berlanjut pada periode 2024-2029. Terlebih, 470 kursi di DPR terhitung sebagai pendukung pemerintahan. Dan tampaknya, hanya PDIP yang akan menjadi oposisi serius. Tetapi, itupun harus tetap melihat sejauh mana, karena masih dapat berubah.

Di sisi lain, keterwakilan dari para anggota DPR dengan latar belakang pengusaha naik secara signifikan. Padahal, jika membahas pengusaha, ada kecenderungan mereka memiliki mindset bisnis saat membahas peraturan. Mungkin itu sebabnya, capaian legislasi pada periode 2019-2024 hanya di bawah 20%. 

“Seharusnya, dengan dominannya koalisi pendukung pemerintah di parlemen, maka kinerja persidangan menjadi lebih lancar,” katanya.

Tetapi nyatanya, yang terjadi pada DPR periode 2019-2024, eksekusi, tidak berjalan dengan baik. Di mana, 80,4% atau 74 dari 92 sidang RUU di DPR tidak ditayangkan secara keseluruhan, lima RUU dibahas tanpa partisipasi publik dan tidak melibatkan masyarakat sipil, dari 10 RUU hanya ada dua RUU yang disertai laporan aspirasi publik. Dan dalam setiap sidangnya, rata-rata kehadiran anggota DPR dalam rapat adalah 65%

Kendati begitu, dia tetap berharap, anggota DPR 2024-2029 bakal memberikan peningkatan kinerja yang proporsional dengan peningkatan anggaran, memperkuat fungsi pengawasan melalui penguatan oposisi, mendorong keterbukaan proses legislasi dan mendorong partisipasi publik secara luas, penegakan kode etik terutama berkaitan dengan disiplin yang harus ditingkatkan dalam kehadiran dan tingkah laku di mana keaktifan dalam rapat.

Selanjutnya, akademisi STHI Jentera, Bivitri Susanti, memaparkan, meskipun Indonesia mengadopsi sistem presidensialisme, tetapi tetap mempertahankan berbagai elemen yang diwarisi dari sistem parlementer masa sebelumnya pada periode 1945-1957. Hal itu terlihat dalam fungsi pengawasan DPR melalui mekanisme seperti hak angket, interpelasi, dan menyatakan pendapat.

Bahkan, sejak era SBY, koalisi politik menyebabkan DPR menjadi lebih ‘jinak’ dan tidak menjalankan fungsi check and balance secara optimal. Di era Jokowi, koalisi semakin kuat. Di mana hanya ada dua fraksi oposisi, namun keduanya tidak berpengaruh besar karena sistem multipartai yang cenderung kooperatif.

“Akuntabilitas demokratis menjadi isu besar karena DPR dianggap tidak mampu melakukan kontrol efektif terhadap eksekutif,” tegas Bivitri. Dan kemudian menjadi problem utama demokrasi, yaitu parlemen itu sendiri yang disebut sebagai ‘lingkaran setan’ dalam demokrasi.

Bivitri juga mengutip fenomena ‘autocratic legalism’ yaitu, pemerintah menjalankan kekuasaan tanpa kontrol legislatif memadai. Di mana, hal itu terlihat dari revisi UU KPK yang hanya dalam dua minggu, revisi UU Minerba dalam enam hari, UU Cipta Kerja dibentuk dalam sembilan bulan, padahal menggabungkan 78 UU, dan UU IKN selesai dalam 43 hari.

Karena itu, Bivitri menekankan pentingnya menyikapi DPR dengan sikap skeptis. Agar DPR menjalankan fungsi pengawasan secara maksimal. Skeptisisme dinilai penting agar para anggota DPR terpicu untuk membuktikan diri bahwa mereka bisa menjalankan fungsinya secara baik. Terlebih, demokrasi deliberatif dapat diwujudkan melalui pengawasan yang lebih ketat terhadap kebijakan pemerintah.

Sementara, Direktur INDEF Kolaborasi Internasional, Imaduddin Abdullah, menegaskan, demokrasi bisa semakin mundur jika parlemen tidak menjalankan fungsi check and balance dengan baik.

“Publik perlu terlibat dalam pengawasan parlemen dan kebijakan ekonomi. Walaupun pesimisme terhadap parlemen tinggi, ruang partisipasi publik harus diperkuat agar kebijakan bisa mencerminkan kebutuhan masyarakat” tegasnya.

Apalagi kebijakan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari ekonomi politik, terutama dalam konteks dinamika politik dan ekonomi di Indonesia. Dalam target jangka panjang RPJPN 2025-2045 kemiskinan menuju 0%, ketimpangan berkurang secara signifikan, SDM unggul dan persiapan menghadapi tantangan internasional dan pendapatan per kapita menuju negara maju (upper-middle income).

Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi 7-8% untuk mencapai status negara maju sebelum 2045. Tetapi realitas yang terjadi saat ini, pertumbuhan ekonomi sulit mencapai 7% sejak era 1970-an, bahkan saat booming komoditas dan oil boom hanya tumbuh sekitar 5,2%. Dengan rata-rata pertumbuhan saat ini sekitar 5%, tentu jauh dari yang di targetkan.

"Risiko monopoli kekuasaan semakin tinggi, dengan oposisi yang semakin kecil di parlemen, dominasi parlemen oleh koalisi pemerintah dapat merusak kualitas demokrasi, hubungan erat antara pengusaha dan pemerintah semakin kuat, menciptakan regulasi antikompetitif dan korupsi,” tutur Imaduddin.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan