Pertaruhan bakal caleg muda dalam pertarungan politik 2024
Pekerjaannya sebagai jurnalis yang bertugas di Jakarta selama sembilan tahun, membuat Achmad Rizky mengaku paham persoalan Ibu Kota, dari banjir hingga anak-anak putus sekolah. Dari situ, lelaki 35 tahun tersebut tergerak mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg) anggota DPRD DKI Jakarta pada Pemilu 2024.
“Paradoks wajah Jakarta telah membangkitkan kesadaran saya akan pentingnya keberpihakan, pembangunan, dan memajukan Jakarta harus diikuti intervensi kebijakan berbasis lingkungan serta berpihak pada kaum papa,” katanya kepada Alinea.id, Senin (6/2).
“Saya terpanggil untuk menjembatani itu, melalui perjuangan politik.”
Berbagai usaha
Rizky lantas bergabung dengan Nasional Demokrat (Nasdem), sebagai kendaraan politiknya. Partai politik pimpinan Surya Paloh itu dipilih Rizky karena menurutnya bersifat terbuka dan tanpa mahar. Alasan lain lantaran partai itu mengusung mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai calon presiden.
Rizky mengatakan, bila dapat restu partainya, ia bakal maju di Daerah Pemilihan (Dapil) VII di Jakarta Selatan, yang meliputi Kecamatan Cilandak, Kebayoran Lama, Kebayoran Baru, Pesanggrahan, dan Setiabudi.
Dalam mempersiapkan pencalonannya, Rizky mengatakan, tak semua kecamatan akan “dijamah”. Ia dan tim kecilnya bakal terlebih dahulu memetakan potensi suara, berbekal data Dapil VII hasil Pemilu 2019.
“Saya akan fokus ke tiga kecamatan, yaitu Kebayoran Baru, Kebayoran Lama, dan Cilandak. Dari situ, kita ambil 1.000 kelurahan,” ujarnya.
Lulusan Universitas Nasional (Unas) Jakarta ini menyadari, perlu membangun jaringan ketika ingin maju sebagai caleg. Komunikasi sudah dibangun dengan teman-temannya di kampus, rekan-rekannya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan majelis yang ada di Dapil VII Jakarta. Strategi memperkenalkan diri dilakukanya secara door to door, membuat baliho, juga stiker.
Setelah magang di Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 2021, Zebi Magnolia Fawwaz kepincut dengan partai politik berlambang tangan menggenggam bunga itu. Tahun 2022, mahasiswi hubungan internasional London School of Public Relations (LSPR) Jakarta tersebut memutuskan bergabung dengan PSI.
“Keunikan PSI yang enggak bakal ada di partai lain, yaitu meritokrasi dan egaliter. Itu yang membuat saya tertarik ikut bantu PSI,” ujarnya, Selasa (7/2).
Tak main-main, perempuan 22 tahun tersebut kini ikut seleksi bakal caleg (bacaleg) PSI untuk DPRD DKI Jakarta pada Pemilu 2024. Ia terpanggil masuk ke partai politik usah mendapat pengalaman ikut kegiatan sosial bersama komunitasnya di Kampung Nelayan, Cilincing, Jakarta Utara pada 2020.
“Kita mengajar anak-anak yang tidak punya pendidikan yang bagus dan juga bantu nelayan-nelayan yang waktu itu terkena dampak pandemi Covid-19,” ucapnya.
Berbagai persiapan, seperti menulis esai hingga merencanakan program yang akan dibawa ke dapil, dilakukan Zebi dalam proses seleksi bacaleg PSI. Para peserta seleksi juga nantinya akan ikut serangkaian tes di PSI.
Jika lulus seleksi, Zebi ingin ditempatkan di dapil Jakarta Utara. Ia ingin membawa gagasan tentang pendidikan, sebagaimana pengalamannya di Kampung Nelayan. Selain itu, ia menaruh perhatian pada isu hunian yang layak untuk generasi milenial dan gen Z.
Sejatinya, Zebi punya modal meraup suara. Sebab, ia pernah menjadi anggota grup musik populer JKT48 pada 2014. Meski kontraknya bersama JKT48 singkat, sekitar 10 bulan.
“Mereka (penggemar di media sosial) tidak ada resistensi, malahan dukung. Saya melihat, ini bisa jadi poin plus bagi saya,” tuturnya.
Perihal modal finansial, ia mengaku tak menjadi perhatian utamanya. Menurutnya, bila seseorang punya gagasan yang kuat, maka otomatis orang-orang akan mendukung.
Sementara untuk jaringan di dapil, bagi Zebi, itu tak dibangun. Melainkan datang sendiri, saat seorang caleg hadir dengan gagasan menyangkut keresahan banyak orang.
Di samping Zebi, Joedea Aris Theofilus menjadi anak muda lain yang ingin maju sebagai bacaleg PSI untuk DPRD DKI Jakarta. Joe, sapaan akrabnya, mendaftar jadi anggota PSI pada Februari 2021.
Lalu, pada Mei 2021, ia magang di PSI. Saat itu, ia dapat akses penuh, sehingga bisa melihat proses pembuatan kebijakan, anggaran, hingga terlibat dalam rapat-rapat penting.
“(Saya) diberikan kepercayaan sama ketua umum (Giring Ganesha) untuk ke DPP (PSI) sebagai asisten beliau,” ujarnya, Senin (6/2).
Alumnus Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta tersebut juga pernah dipercaya jadi juru bicara partai dan penanggung jawab program magang di DPP PSI.
Motivasi Joe jadi bacaleg didorong dari pengalamannya sewaktu kecil. Ketika itu, orang tuanya kesulitan ekonomi untuk biaya pendidikan lantaran tak tahu cara mengakses beasiswa.
“Sampai sekarang, saya rasa masih banyak adik kita di Jakarta ini yang susah sekolah karena orang tuanya tidak tahu bagaimana mengakses beasiswa dari pemerintah,” ucap Joe.
Ia membulatkan tekad maju sebagai bacaleg PSI Dapil IV Jakarta Timur, yang meliputi Kecamatan Pulo Gadung, Matraman, dan Cakung. Ketika turun ke dapil, ia bersama pengurus PSI melakukan edukasi politik dan aktivitas lain.
“Kita turun ke dapil enggak bawa uang. Kita enggak nyogok kiri-kanan, enggak pakai money politic,” ujarnya.
Untuk memperluas jaringan di dapil, Joe melibatkan struktural partai. Dalam memperkenalkan diri ke masyarakat, ia melakukan pendekatan personal, dilanjutkan membuat aneka kegiatan.
“Kita benar-benar bergerak dengan apa yang kita punya dan andalkan, jaringan tadi,” kata dia.
“Bersyukurnya, PSI konsisten sejak pertama kali berdiri sampai sekarang untuk mencegah korupsi, sama sekali enggak ada yang diminta mahar.”
Meminimalisir politik uang
PSI menggunakan mekanisme pendaftaran bacaleg secara daring, melalui laman resmi partai. “Kalau untuk (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota, bisa juga langsung datang ke kantor DPW dan DPD PSI,” kata juru bicara DPP PSI Sigit Widodo, Selasa (7/2).
Selanjutnya, melakukan wawancara. Bacaleg diminta memaparkan visi dan misinya, motivasi jadi caleg, serta apa yang hendak dilakukan ketika jadi anggota legislatif. PSI, kata Sigit, tidak mempersoalkan bacaleg muda, selagi memenuhi syarat minimal 21 tahun. Syarat usia tersebut tercantum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sigit mencontohkan, anggota DPRD DKI fraksi PSI William Aditya Sarana, yang usai dilantik masih berstatus mahasiswa Universitas Indonesia (UI). William baru diwisuda beberapa bulan setelah pelantikan.
“Tapi kan William terbukti jadi anggota DPRD yang berkualitas. Tiap tahun dia mengkritisi anggaran DKI dengan sangat detail,” katanya.
Menurut Sigit, dalam pemilu, modal sosial lebih penting ketimbang finansial. Ia mencontohkan, salah seorang caleg PSI yang lolos ke DPRD Kota Bandung hanya bermodal Rp30 juta. Ia berharap, caleg PSI bisa mengeluarkan uang untuk kampanye secara terukur.
“Politik biaya tinggi yang akhirnya memancing mereka untuk melakukan korupsi pada saat menjabat, itu kita hindari,” tuturnya.
“Jadi semurah mungkin, sehingga ketika nanti menjabat dia tidak punya tendensi untuk cari uang.”
Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago berpendapat, caleg-caleg muda kreatif dalam kampanye. Terutama memanfaatkan media sosial.
“Saya lihat, ada caleg yang mau maju sekarang itu, anak muda milenial punya (usaha) sate. Sekarang, satenya tiap minggu (dikasih) ke masyarakat. Itu kan salah satu cara, tidak harus dengan uang,” ujarnya, Rabu (8/2),
Menurut Pangi, yang terpenting caleg-caleg muda bisa mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat. Status anak muda yang umumnya baru pertama kali maju pada Pemilu 2024, kata Pangi, merupakan tantangan apakah mereka punya daya tahan.
“Banyak juga incumbent tidak terpilih karena justru kalau incumbent terlalu percaya diri. Kalau percaya dirinya terlalu tinggi, ya bisa berisiko,” ujarnya.
Terpisah, peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro mengatakan, sebelum bicara peluang, sebaiknya dilihat dahulu apakah caleg-caleg muda mendapat bekal yang cukup dari partainya. Sebab, mesin partai juga perlu terlibat dalam pemilu legislatif.
Menurutnya, biasanya caleg terkesan berjuang sendiri, sehingga memunculkan pandangan melakukan segala cara. Termasuk membeli suara. Karenanya, ia mengingatkan, jika ada caleg potensial yang minim anggaran, sebaiknya partai memperhatikan.
“Kalau dia sudah direkrut, artinya kan memang dinilai sebagai caleg-caleg yang mumpuni, maka dukungan dari parpol jangan separuh-separuh,” katanya, Rabu (8/2).
Peluang caleg muda, kata Siti, tak bisa dilepaskan dari jumlah pemilih di bawah 40 tahun yang sekitar 60%. Tantangannya adalah politik uang. Ia menyebut, dari hasil riset, Indonesia belum mampu memutus mata rantai vote buying, politik transaksional, dan menghalalkan segala cara karena penegakan hukum kedodoran.
“Idealisme tak ubahnya mimpi di siang bolong,” ujar dia.
“Saya mendengar sendiri dari tokoh senior dan orang itu pengusaha, pejabat juga dulunya, (bilang) susah kalau tidak turut serta yang namanya uang dalam pemilu legislatif.”
Dengan situasi demikian, Siti mengatakan, caleg-caleg muda perlu menjawab pertanyaan, apakah mereka mampu memerankan diri sebagai caleg pembaharu, yang bisa memutus mata rantai politik uang.
Siti menyarankan, caleg-caleg muda agar berjejaring, tanpa melihat partai politik masing-masing. Tujuannya, supaya bisa menjadi simpul pembaharu yang mengawali pemilu legislatif lebih bermanfaat, bermartabat, dan beretika.
“Kalau sendiri jadi lidi. Kita ingin mereka jadi sapu lidi, simpul yang mampu melakukan gerakan nasional untuk memutus mata rantai vote buying,” katanya.