Pertarungan politik populisme
Kampanye pemilihan presiden 2019 semakin panas. Dua kubu, saling serang menggunakan bahasa bersayap, yang kedengarannya kasar.
Joko Widodo, yang akan bertarung kembali pada Pilpres 2019 mendatang, pernah mengucapkan “politisi sontoloyo”, saat menghadiri pembagian sertifikat tanah di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 23 Oktober 2018.
Dia pun pernah mengungkapkan kata “politik genderuwo” saat membagikan 3.000 sertifikat tanah di GOR Tri Sanja, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, pada 9 November 2018.
Sedangkan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto pernah membuat masyarakat Boyolali panas kuping, lantaran melontarkan “tampang boyolali” saat berpidato pada acara peresmian kantor Badan Pemenangan Prabowo-Sandi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, pada 30 Oktober 2018.
Pernyataan tersebut sempat menimbulkan polemik di masyarakat. Beberapa orang berpendapat, ungkapan itu disasar ke rivalnya masing-masing. Namun, istilah tersebut kontraproduktif.
Menurut Doktor Komunikasi dari Universitas Padjadjaran Emrus Sihombing, penggunaan istilah tidak produktif, seperti “tampang boyolali” atau “sontoloyo” sejatinya untuk mendongkrak popularitas.
Meski begitu, staf pengajar di Universitas Pelita Harapan itu mengingatkan, popularitas tersebut tak selamanya berkolerasi dengan elektabilitas pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Calon presiden dan wakil presiden sejatinya harus menawarkan program ke masyarakat, bukannya malah melontarkan istilah tidak produktif,” ujarnya, ketika dihubungi, Kamis (22/11).
Emrus melihat, publik justru tak menyukai perang verbal itu, meski ramai dibicarakan di media sosial. Menurutnya, tak ada jaminan bila dibicarakan di media sosial akan meningkatkan elektabilitas.
Strategi populisme
Kata-kata kontraproduktif, baik yang diucapkan Jokowi maupun Prabowo, sempat memantik perdebatan menyoal etika. Namun, bukan itu yang utama. Bila dicermati, Jokowi maupun Prabowo sama-sama memanfaatkan populisme sebagai strategi kampanye mereka pada Pilpres 2019.
“Salah satu ciri penggunaan populisme adalah gemar memakai bahasa yang mudah dimengerti oleh publik,” kata dosen Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran dan President University Teuku Rezasyah, ketika dihubungi, Rabu (21/11).
Menurut Rezasyah, kata-kata metafora seperti “sontoloyo”, “genderuwo”, ataupun “tampang boyolali”, merupakan penggunaan bahasa populis. Meski secara etika dipertanyakan.
Presiden Joko Widodo mengunjungi Pasar Cihaurgeulis, Bandung, Jawa Barat, Minggu (11/11). (Antara Foto).
Politik populisme di Indonesia sendiri sebenarnya merentang cukup panjang. Menurut profesor kajian Asia di University of Melbourne Vedi R Hadiz dalam tulisannya berjudul “Populisme Baru dan Masa Depan Demokrasi Indonesia” di jurnal Prisma tahun 2017, politik populisme di Indonesia dahulu diwakili organisasi, seperti Sarekat Islam pada masa kolonial.
“Populisme nasionalis perwujudan utamanya adalah Sukarnoisme,” tulis Hadiz.
Hadiz melihat, Jokowi dan Prabowo sejak Pilpres 2014 lalu sudah menampilkan diri mereka sebagai orang di luar elite dan prorakyat. Hadiz mengamati, kedua calon presiden itu mengambil bentuk populisme yang berbeda.
“Bagi Jokowi, program sosial yang populis dapat menjadi alat tawar-menawar yang efektif. Sementara Prabowo, memanfaatkan nostalgia pada ‘keteraturan’ zaman Soeharto,” tulis Hadiz.
Populisme kanan vs kiri
Populisme menjadi istilah yang populer beberapa tahun belakangan, menyusul kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada awal 2017.
“Di Amerika, kita lihat Trump pragmatis. Dalam kampanyenya, dia selalu mengaitkan dirinya ke kelas pekerja, padahal dia adalah elite,” kata Rezasyah.
Secara sederhana, populisme adalah sebuah gerakan politik yang mengkapitalisasi suara publik, kemudian membenturkannya dengan sekelompok elite atau penguasa.
Gelombang populisme tak hanya menyeruak di Amerika Serikat. Laporan John Henley di The Guardian yang terbit pada 20 November 2018 berjudul “How populism emerged as an electoral force in Europe” mencatat, setidaknya ada 11 negara di Uni Eropa yang menjalankan pemerintahan populis, yakni Norwegia, Finlandia, Polandia, Republik Ceko, Slowakia, Hungaria, Austria, Swis, Italia, Yunani, dan Bulgaria.
Calon Presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto dari atas mobil menyapa pendukungnya seusai berziarah di makam Gubernur Soerjo dan bertemu kader serta relawan di Magetan, Jawa Timur, Rabu (31/10). (Antara Foto).
Populisme yang berkembang di Eropa saat ini, tak semuanya mengarah ke populisme sayap kanan.
Pengamat politik dan sosiolog di University of Amsterdam Matthijs Rooduijn dalam artikelnya “Why is populism suddenly all the rage?” di The Guardian, 20 November 2018 melihat, Spanyol, Italia, dan Yunani sebagai negara yang sempurna untuk menyampaikan pesan-pesan populis sayap kiri.
“Sebab, negara-negara ini dihantam krisis finansial yang parah,” tulis Rooduijn dalam artikelnya itu.
Rooduijn juga melihat, gagasan populisme sayap kiri tak laku di negara-negara Eropa Barat. Sebab, negara-negara tersebut memiliki stabilitas ekonomi yang lebih kuat ketimbang tetangga mereka di selatan.
Ego ideal
Melihat fenomena politik populisme ini, selain karena faktor ekonomi, Rezasyah mengatakan, pemicunya lainnya, publik tak lagi menaruh simpati pada partai-partai politik yang “menistakan” rakyat.
“Karena pada dasarnya populisme itu anti-establishment (antikemapanan),” ujarnya.
Rezasyah tak menghakimi gerakan populisme sebagai gerakan yang buruk. Alasannya, populisme sendiri masih mempertanyakan apakah politik itu dimanfaatkan untuk kekuasaan atau kesejahteraan.
Staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Jakarta Fransisco Budi Hardiman memiliki pandangan berbeda soal populisme. Hal itu dia ungkapkan di dalam bukunya, Demokrasi dan Sentimentalitas (2018).
Menurut Budi Hardiman, sejak dulu populisme dimaknai negatif. Alasannya, populisme melakukan provokasi dan demagogi (penghasutan) kebencian, serta kemarahan terhadap penguasa dan sistem kemapanan.
Di dalam bukunya, Budi Hardiman memaparkan, populisme merupakan sebuah antipolitik.
“Alasannya, pertama, populisme naik ke panggung politik bukan dengan gerakan rasional, tetapi dengan slogan-slogan dan alasan-alasan sentimental untuk memancing emosi kerumunan,” tulis Budi Hardiman dalam Demokrasi dan Sentimentalitas.
Kedua, menurutnya, populisme politik disempitkan kepada figur pemimpin. Sehingga, politik tak lebih daripada gerakan yang terkait figur itu.
Lebih lanjut, Budi Hardiman mengatakan, para pemimpin populis, seperti Donald Trump di Amerika Serikat, Marine Le Pen di Prancis, Lutz Bachmann di Jerman, Geert Wilders di Belanda, ataupun Rizieq Shihab di Indonesia berfungsi sebagai ego ideal para pengikut mereka.
“Para pengikut memuja dan mengidealkan pemimpin mereka sedemikian rupa, sehingga segala tindakannya, bahkan yang mencederai hukum, dianggap benar,” tulis Hardiman.