Pertemuan Jokowi-Prabowo dan suara mereka yang kecewa
Sabtu (13/7) pagi, Joko Widodo dan Prabowo Subianto akhirnya bertemu untuk pertama kalinya sejak Pilpres 2019. Pertemuan itu tak formal, hanya dilangsungkan di Stasiun Mass Rapid Transit (MRT) Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Mereka kemudian naik MRT menuju Stasiun MRT Senayan, dan makan siang bersama di sebuah restoran di FX Sudirman, Jakarta.
Pertemuan dua kandidat presiden 2019-2024 ini tentu saja membuat heboh publik. Ada yang menanggapinya positif, tak sedikit pula yang merespons negatif.
Pendukung kecewa
Sejumlah pendukung Prabowo-Sandi terang-terangan menyatakan ketidaksukaan terhadap pertemuan ini lewat jagat media sosial. Ada yang berhenti mengikuti akun Prabowo, ada pula yang memblokir. Tagar #penghianat pun sempat populer di Twitter.
Pendukung Prabowo di akar rumput pun melontarkan kekecewaan mereka. Misalnya saja pendukung Prabowo asal Madura, Jawa Timur, Wila. Ia mengatakan, para pendukung Prabowo telah berjuang demi junjungannya, tetapi malah dibalas dengan sambutan rekonsiliasi.
“Rekonsiliasi sekadar kepentingan partai kubu paslon nomor urut 01 saja,” kata Wila saat dihubungi Alinea.id, Jumat (19/7).
Selain itu, Jaringan Pemuda Penyelanat Konstituen (JPPK) Prabowo-Sandi pun berencana menggelar aksi pada 15 Juli 2019 di depan kediaman Prabowo di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun, aksi itu dibatalkan karena tak mendapatkan izin dari pihak kepolisian.
Rencana aksi unjuk rasa itu disinyalir karena pertemuan Prabowo dan Jokowi, yang dianggap melukai kepercayaan pendukungnya. JPPK menuntut Prabowo meminta maaf kepada pendukungnya, dan mempublikasikan surat wasiat yang pernah ditulisnya sebelum ditetapkan sebagai kandidat presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Selain itu, menurut koordinator aksi JPPK, Fhais, pihaknya menuntut pertanggung jawaban Prabowo atas meninggalnya sembilan orang dalam kerusuhan pada 21-23 Mei 2019.
JPPK, kata Fhais, juga menolak rekonsiliasi karena kematian ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), yang belum tuntas diusut.
“Prabowo harus lirik persoalan seperti KPPS, banyak tahanan politik belum mendapatkan kejelasan hukum yang pasti. Prabowo harusnya lebih pintar dari Megawati, (yang menjadi oposisi) dalam dua periode SBY,” tutur Fhais saat dihubungi, Rabu (17/7).
Fhais mengatakan, seharusnya apa pun hasil dari pilpres, Prabowo selalu setiap bersama pendukungnya dan tak perlu rekonsiliasi.
Elemen pendukung Prabowo, yakni Persaudaraan Alumni (PA) 212 juga mengambil keputusan tak mendukung lagi Prabowo.
Juru bicara PA 212 Bernard Abdul Jabar menegaskan, PA 212 bukan berjuang membela perseorangan, melainkan berupaya melawan kezaliman, sebagaimana diamanatkan para ulama dan habib. Menurutnya, perjumpaan Prabowo dan Jokowi hanya urusan pribadi, yang tak ada sangkut pautnya dengan PA 212.
“Biasa-biasa sajalah. Itu haknya ketemu dengan Jokowi. Deal-deal apa pun juga kan itu haknya Pak Prabowo. Kita sih enggak merasa kecewa ataupun senang. Tak merasakan apa pun,” ujar Bernard saat dihubungi, Jumat (19/7).
Namun, tak semua pendukung Prabowo kecewa. Abduh, salah satu pendukung Prabowo asal Lamongan, Jawa Timur, justru menganggap pertemuan itu merupakan keputusan yang tepat.
“Enggak kecewa. Justru harusnya begitu. Biar sentimen antargolongan ini segera reda, tapi variabel yang signifikan untuk menjaga persatuan ini terletak pada presiden, selaku kepala negara, bukan Prabowo,” ujar Abduh saat dihubungi, Jumat (19/7).
Kendati demikian, Abduh kurang setuju dengan istilah rekonsiliasi. Menurutnya, terlalu berlebihan istilah itu dimaknai sebagai keharusan menjaga persatuan. Sebab, pilpres layaknya kompetisi, pasti ada yang menang dan kalah.
Aang, mahasiswa asal Kediri mempunyai pendapat lain. Sebagai pendukung Jokowi, rekonsiliasi tepat digaungkan dalam upaya penyegaran, usai pergulatan politik yang memanas. Menurutnya, Prabowo dan Jokowi sudah meminimalisir ketegangan politik di masyarakat.
“Keduanya pasti tahu bagaimana memainkan sandiwara untuk mengubah cuaca itu jadi dingin kembali,” ucap Aang saat dihubungi, Jumat (19/7).
Mengapa kecewa?
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai, rekonsiliasi yang digembar-gemborkan kubu Jokowi terkesan merangkul pihak oposisi agar tidak galak mengkritik. Rekonsiliasi, sebut Ujang, merupakan sebuah keniscayaan agar masyarakat tak tercerai-berai.
Sayangnya, menurut Ujang, masih ada pendukung Prabowo yang ditangkap polisi, diperiksa, dan dipenjara dengan berbagai dalih kesalahan.
"Saya dapat info langsung dari kubu 02. Pendukung-pendukungnya banyak yang diperiksa polisi, katakanlah dicari-cari kesalahannya, diproses, dan mohon maaf dijadikan tersangka. Inilah yang menjadi luka mendalam bagi (pendukung) 02," ujar pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia saat dihubungi, Jumat (19/7).
Sebagai negara yang mengaku demokratis, Ujang meminta pemerintahan Jokowi tak antikritik, apalagi sampai memenjarakan lawan politiknya, agar rekonsiliasi bisa terealisasi.
"Dulu di zaman SBY enggak ada yang dipenjara. Saya ingat, aktivis yang membawa kerbau, menulis nama SBY gitu, tapi SBY enggak marah dan tidak pernah memenjarakan siapapun," ucapnya.
Di sisi lain, kata dia, tidak pendukung kubu Jokowi yang diperiksa polisi atau tersandung kasus, kemudian masuk penjara. Bagi pendukung Prabowo, perlakuan tak adil dalam konteks hukum tersebut, semakin mengukir luka yang sudah menganga karena calonnya kalah.
Ujang menjelaskan, pendukung Prabowo merasa telah berdarah-darah dalam memperjuangkan kursi presiden, dari masa kampanye hingga mengawal penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi. Tak heran, kata dia, bila banyak pendukungnya yang belum bisa beranjak dari masa perhelatan pilpres.
“Dan, tiba-tiba harus menyaksikan kenyataan bahwa Prabowo berjumpa Jokowi, tentu sebagian dari mereka terjerembap dalam jurang kekecewaan,” ucapnya.