Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana melakukan pertemuan dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Dia berharap, pertemuan itu bisa terjadi sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober 2024.
Setelah itu, Ketua DPP PDI-P sekaligus Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, tak menutup kemungkinan menu nasi goreng akan kembali dihidangkan saat Megawati bertemu dengan Prabowo. Puan mengatakan, saat pertemuan pada 2019, Megawati memasak nasi goreng untuk Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus Menteri Pertahanan tersebut.
Puan menuturkan, pertemuan Megawati dan Prabowo hanya tinggal menunggu momentum yang tepat. Sebab, keduanya memang sama-sama ingin bertemu. Puan menyebut, pertemuan itu bisa saja digelar di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat maupun di kediaman Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan dan kawasan Hambalang, Bogor.
Pertemuan tersebut disinyalir menjadi penentu apakah PDI-P bergabung dengan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Jika PDI-P bergabung, maka bakal mengancam keseimbangan pemerintahan lantaran tak ada oposisi kuat di parlemen.
Menurut peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, skenario terburuk dari ketiadaan oposisi karena PDI-P masuk pemerintahan adalah masyarakat sipil akan lebih susah-payah mengontrol hegemoni kekuasaan. Bahkan, kemungkinan lebih sulit ketimbang pada masa pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
“Kalau semua partai politik parlemen akan menjadi koalisi pada rezim mendatang, dan di saat bersamaan presiden terpilih sangat dominan, maka tak ada harapan ada kontrol berarti dari parlemen kepada pemerintah,” ujar Lucius kepada Alinea.id, Sabtu (5/10).
“Parlemen akan menjadi semacam alat atau operator pemerintah untuk memberikan legitimasi atas sebuah kebijakan atau keputusan yang diambil.”
Namun, Lucius menilai, masyarakat sipil yang terorganisir sudah mulai menata gerakan. Hal ini terlihat dari adanya konsolidasi membangun gerakan sipil di berbagai simpul.
“Jadi, rezim tak bisa juga merasa memiliki kewenangan absolut terhadap rakyat hanya karena secara formal mereka bersatu mendukung rezim,” tutur Lucius.
Lucius mengatakan, sekalipun nantinya PDI-P tergoda masuk pemerintahan Prabowo-Gibran, kalangan masyarakat sipil yang kritis tidak tinggal diam, bakal melawan penguasa dan parlemen yang asyik sendiri membuat aturan. Publik sudah punya pengalaman dengan lolosnya revisi Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Cipta Kerja.
Belum lama ini, kata Lucius, juga aksi massa berhasil menghalau revisi Undang-Undang Pilkada, yang ingin “melawan” Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas syarat kursi DPRD untuk pencalonan kepada daerah serta syarat usia minimal kepala daerah.
Lucius menerka, dalam masa pemerintahan Prabowo-Gibran akan banyak legislasi yang dibuat pemerintah dan DPR hanya bermuatan kepentingan untuk mengamankan kekuasaan serta menjaga kepentingan mereka daripada kepentingan publik.
“Sesekali mereka akan menghadirkan RUU yang ditunggu-tunggu publik agar masih layak mengklaim sebagai wakil rakyat,” tutur Lucius.
“Tapi paling dominan tentu mereka akan membuat UU yang bisa menjaga kepentingan mereka. Maka, saya kira RUU Perampasan Aset itu bukan RUU yang familier untuk didukung DPR dan pemerintah yang menyatu di dalam koalisi.”
Sementara itu, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai, ketiadaan oposisi karena seluruh partai poitik merapat ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran yang bakal terbentuk. Dampaknya, kekuatan kontrol dan pengawasan dari pusat kekuasaan akan berkurang.
Di samping itu, bakal berdampak pada daya tekan kelompok masyarakat sipil. Senada dengan Lucius, Wasisto pun menegaskan, rentetannya bakal membuat segala produk undang-undang yang diterbitkan bertujuan mengamankan kepentingan Prabowo-Gibran akan dengan mudah lolos tanpa resistensi.
“Skenario yang terjadi adalah melemahnya check and balances,” ucap Wasisto, Sabtu (5/10).
Wasisto menilai, RUU Masyarakat Adat dan RUU Perampasan Aset, bisa tidak menjadi prioritas anggota DPR periode 2024-2029 karena bukan agenda elite.
“Saya pikir untuk yang (RUU Masyarakat) Adat dan (RUU Perampasan) Aset perlu adanya advokasi kuat dari masyarakat sipil, seperti halnya pengesahan UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual),” ucap Wasisto.