Wakil Ketua Komisi II DPR, Yanuar Prihatin, menolak usul Asosiasi Pemerintah Kabupaten Se-Indonesia (Apkasi) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 dipercepat menjadi September karena dapat memicu kegaduhan. Pilkada, sesuai regulasi, rencananya digelar pada 27 November.
"Perubahan jadwal ini berpotensi menimbulkan kegaduhan baru sekaligus mendorong munculnya ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu dan pembuat undang-undang," ucap Yanuar.
"Penetapan jadwal pilkada serentak bulan November 2024 adalah amanat undang-undang," tegasnya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 201 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Yanuar menerangkan, sudah banyak isu yang membuat turbulensi politik naik turun. Misalnya, penundaan pemilihan umum (pemilu), perpanjangan masa jabatan presiden, sistem proporsional tertutup, hingga batas usia calon presiden (capres)-wakil presiden (cawapres).
Menurut politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, munculnya isu penundaan Pilkada 2024 bakal menstimulus munculnya wacana-wacana baru menyangkut penyelenggaraan "pesta demokrasi" ke depannya. Karenanya, lebih baik semua pihak fokus dengan tahapan yang telah ditetapkan.
Bagi Yanuar, pelaksanaan Pilkada 2024 pada 27 November sudah ideal karena dapat meminimalisasi intervensi pemerintah. Pangkalnya, ada pemerintahan baru.
"Sebab, pemerintahan baru belum terkonsolidasi secara sempurna di bulan November 2024," katanya, menukil laman DPR. Presiden dan wapres terpilih dilantik 20 Oktober 2024.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Apkasi, Dadang Supriatna, mengusulkan Pilkada 2024 dipercepat menjadi September. Dalihnya, prosesnya tidak berlarut-larut.