close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kotak suara pemilu. /Foto Antara
icon caption
Ilustrasi kotak suara pemilu. /Foto Antara
Politik - Pemilu
Senin, 02 September 2024 12:13

Pilkada lawan kotak kosong merusak demokrasi di daerah

Total ada 48 daerah yang bakal menggelar pilkada lawan kotak kosong.
swipe

Praktik borong parpol masih marak di Pilkada Serentak 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat setidaknya ada 43 pasangan calon (paslon) tunggal yang bakal melawan kotak kosong saat pencoblosan. Angka itu naik jika dibandingkan Pilkada Serentak 2020. Ketika itu, hanya ada 25 calon tunggal. 

Guna meminimalisasi pilkada lawan kotak kosong, KPU bakal memperpanjang masa pendaftaran calon kepala daerah di daerah-daerah yang baru punya satu pasang calon. Untuk daerah dengan calon tunggal, masa pendaftaran dibuka hingga 4 September 2024.

Di tingkat provinsi, tercatat hanya ada satu daerah dengan pasangan tunggal, yakni Papua Barat. Jika tidak ada perubahan, pilkada lawan kotak juga potensial terjadi di 5 kota dan 37 kabupaten, semisal di Trenggalek, Ngawi, Gresik, Surabaya, dan Sedang Berdagai. 

Ketua Divisi Teknis KPU RI Idham Holik mengatakan calon tunggal dinyatakan kalah dari kotak kosong jika raihan suaranya tidak sampai 50% dari total suara sah. Daerah yang calon tunggalnya kalah bakal dipimpin oleh pelaksana jabatan. 

"Sebagaimana yang diatur dalam pasal 54 D UU 10/2016, maka akan diadakan pemilihan pada pemilihan selanjutnya. Kapan pemilihan selanjutnya? Yaitu 2029," kata Idham kepada wartawan di di kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Jumat (30/8). 

Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bakir Ihsan menilai pilkada lawan kotak kosong masih marak lantaran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 terlambat dirilis. Walhasil, parpol-parpol tidak punya cukup waktu untuk mencari kandidat yang bakal diusung di pilkada. 

"Partai politik sudah kadung berkongsi atau berkoalisi untuk mengusung calon tunggal. Kedua, persyaratan untuk calon perorangan itu masih cukup memberatkan sehingga peluang untuk melakukan itu agak sulit," ucap Bakir kepada Alinea.id, belum lama ini.

Putusan MK nomor 60 memangkas batas ambang pencalonan kepala daerah menjadi kisaran 6-10% dari jumlah kursi di DPRD, sesuai dengan jumlah populasi di daerah itu. Sebelumnya, ambang batas pencalonan kepala daerah dipatok 25% suara parpol atau 20% raihan kursi di DPRD. 

Bakir memandang bertambahnya calon tunggal yang melawan kotak kosong pada pilkada kali ini juga menggindikasikan gagalnya kaderisasi maupun rekrutmen kepemimpinan di parpol. Karena tak punya kader yang mumpuni, parpol-parpol kerap tak berani mencalonkan kandidat sendiri di pilkada. 

Di lain sisi, parpol juga dibekap pragmatisme politik. Parpol-parpol lebih memilih mendukung kandidat yang potensial menang ketimbang bersusah payah mengusung kader mereka sendiri. Apalagi, jika parpol harus keluar duit untuk mengongkosi kampanye kandidat yang mereka usung. 

"Partai politik kita bukan partai politik yang berfungsi sebagai rekrutmen kepemimpinan. Tapi, lebih kepada lapak. Dia hanya menyediakan tempat lalu menjual calon-calon pemimpin yang pola- polanya pun bukan kadernya,"ucap Bakir.

Situasi itu, kata Bakir, harus segera dibenahi. Pilkada lawan kotak kosong bakal memperburuk kondisi demokrasi di level daerah lantaran mengesampingkan kompetisi yang sehat dan membatasi pilihan publik. Dalam jangka panjang, publik bisa apatis terhadap penyelenggaran pemilu dan tak mau datang ke TPS. 

"Tentu menjadi miris dan prihatin karena kita bangsa yang besar ternyata memunculkan calon yang terbatas, bahkan sangat terbatas, sementara potensi yang ada sangat banyak. Ini kembali pada keseriusan partai politik untuk melakukan kaderisasi dan rekrutmen politik dan konsistensi untuk memunculkan kader- kader terbaik," ucap Bakir.

Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusak Farhan mengatakan pilkada kotak kosong bisa diminimalisasi seandainya putusan MK nomor 60 dikeluarkan lebih cepat. Ia meyakini bakal ada banyak koalisi yang pecah jika parpol diberikan waktu yang longgar untuk memilah kandidat di pilkada. 

"Padahal, kalau bisa jauh-jauh hari akan banyak koalisi yang pecah kongsi dan banyak muncul calon alternatif di Pilkada 2024. Sayangnya, ceritanya tidak demikian," ucap Yusak kepada Alinea.id.


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan