Pilkada Serentak 2024 dan segala keruwetannya
Dalam rapat koordinasi kementerian dan lembaga negara di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Rabu (12/7), Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja memaparkan tiga potensi masalah pemilu dan pilkada serentak, yang akan berlangsung pada 2024.
Pertama, soal penyelengara pemilu. Menurutnya, masalahnya meliputi pemutakhiran data pemilih, pengadaan dan distribusi logistik, beban kerja penyelenggara pemilu, serta belum optimalnya sinergi Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait Peraturan KPU (PKPU) dan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu).
Kedua, terkait aspek peserta pemilu, seperti masih maraknya politik uang, belum optimalnya transparansi pelaporan dana kampanye, netralitas aparatur sipil negara (ASN), serta penggunaan alat peraga kampanye yang tak tertib.
Ketiga, aspek pemilih yang terkait dengan kesulitan dalam menggunakan hak pilih, ancaman dan gangguan terhadap kebebasan memilih, dan penyebaran hoaks serta ujaran kebencian.
“Kami melakukan identifikasi kerawanan seperti membuat indeks kerawanan pemilu (IKP), melakukan program pendidikan politik dan memperluas pengawasan partisipatif,” ujar dia, seperti dikutip dari situs web Bawaslu.
Berbagai potensi masalah
Potensi permasalahan terbesar dan paling banyak, menurut Bagja, terjadi dalam pilkada. “Kami khawatir pemilihan (Pilkada) 2024 ini karena pemungutan suara pada November 2024, yang mana Oktober baru pelantikan presiden baru, tentu dengan menteri dan pejabat yang mungkin berganti,” katanya.
“Kalau sebelumnya, misalnya pilkada di Makassar ada gangguan keamanan, maka bisa ada pengerahan dari polres di sekitarnya atau polisi dari provinsi lain. Kalau Pilkada 2024 tentu sulit karena setiap daerah siaga yang menggelar pemilihan serupa.”
Pilkada serentak di Indonesia pertama kali dilakukan pada 1957-1958. Saat itu, di beberapa daerah diadakan pemilihan anggota DPRD Provinsi (DPRP) dan DPRD Kabupaten/Kota (DPRK).
Pemilihan DPRK dilakukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan. Sedangkan pemilihan DPRP dilaksanakan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan. Walau dibayang-bayangi kondisi politik yang tak menentu, akibat konflik kedaerahan dan darurat militer, pilkada itu berjalan dengan baik.
Setelah itu, pilkada serentak digelar pada 2015, 2017, 2018, dan 2020. Pilkada Serentak 2024 akan diadakan pada 27 November 2024 di 38 provinsi, 415 kabupaten, dan 98 kota.
Eks Komisioner KPU 2017-2022, Ilham Saputra, tak membantah pilkada serentak punya kerumitan. Ia mencontohkan Pilkada Serentak 2018 yang prosesnya beririsan dengan Pilpres 2019.
“Ketika itu, saya saking ribetnya kadang-kadang bingung, ini acara pilkada atau pemilu,” tuturnya kepada Alinea.id, Selasa (18/7).
Sepengalaman Ilham, kerumitan pilkada serentak paling krusial terkait politik lokal. Menurutnya, jika KPU di daerah bekerja sesuai regulasi, sebetulnya tak akan ada masalah.
Lebih lanjut, ia mengatakan, pilkada serentak menyulitkan penyelenggara karena pada Februari 2024 baru melaksanakan pilpres. Setelah itu, kemungkinan besar akan ada gugatan, yang diprediksi baru selesai pada Mei 2024.
“Tapi, kemudian teman-teman (penyelenggara pemilu) juga sudah sambil menyiapkan lagi persiapan tahapan pilkada. Nah, ini menurut saya, mungkin maksudnya efektif dan efisien (pilkada serentak), tapi tidak juga. Anggaran yang diperlukan juga lumayan besar,” ujarnya.
Persoalan anggaran adalah problem lainnya. “Kalau pilkada ini kan ada dukungan dari pemerintah daerah, yaitu wajib dilaksanakan menggunakan APBD. Tetapi, di beberapa tempat itu sulit sekali,” kata dia.
Ilham mencontohkan, saat Pilkada 2018, KPU di daerah sebetulnya sudah membuat timeline atau limit waktu untuk pemerintah daerah bisa menyetujui anggaran pilkada yang diajukan. Namun, pada akhirnya tidak semua pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran sesuai dengan jadwal yang ditentukan.
“Sehingga, kami berkoordinasi dengan Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) terkait dengan hal itu,” ucap dia.
Jika anggaran pilkada dari APBD macet, terang Ilham, jelas akan menyulitkan penyelenggara dan berimbas pada tahapan pilkada yang bisa terkendala.
“Ini yang kadang-kadang tidak disadari. Nanti dibilang enggak ada duit dan sebagainya. KPU tentu memahami, tapi KPU kan juga harus (melaksanakan pilkada),” kata dia.
“Dalam konteks kerjaan penyelenggaraan pemilu yang diatur perundang-undangan, harusnya tidak ada lagi alasan-alasan seperti ini (tidak ada anggaran).”
Ilham berharap, Kemendagri sudah mewanti-wanti pemerintah daerah sedari dini soal anggaran pilkada. “Kadang-kadang mereka (kepala daerah) menganggap remeh, bilang enggak ada duit dan segala macam,” tuturnya.
Terpisah, Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menjelaskan, kerumitan Pilkada Serentak 2024 muncul karena proses tahapannya bersamaan dengan Pilpres 2024.
“Potensi adanya residu pelanggaran, dugaan kelalaian, kemudian catatan-catatan tentang pemilu, khususnya hasil Pemilu 2024. Ini akan potensial berimbas kepada pemilihan serentak 2024,” kata dia, Selasa (18/7).
Potensi masalah lainnya berhubungan dengan partai politik. Kaka menerangkan, dalam pilkada, pengurus partai politik di daerah memainkan peran paling dominan ketimbang pengurus pusat. Kondisi ini membuat situasi di daerah sangat cair, sehingga ada kalanya terjadi sengketa di partai politik.
“Dinamika di daerah ini yang belum kita tahu adalah hasil pemilunya (Pilpres 2024) akan seperti apa. Itu akan sangat memengaruhi,” ujarnya.
Menjaga kepercayaan publik adalah tantangan lain dalam Pilkada Serentak 2024. Hal ini terkait dengan 271 penjabat (Pj.) daerah yang dipilih pemerintah. Daerah yang memiliki potensi konflik, seperti di Papua, juga perlu diperhatikan.
Soal itu, sebelumnya Polda Papua menyatakan ada 12 kabupaten, yakni Intan Jaya, Dogiyai, Deiyai, Puncak, Nduga, Lanny Jaya, Puncak Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Jawawijaya, Tolikara, dan Yalimo yang rawan konflik selama Pemilu 2024. Salah satu pemicunya adalah sistem noken.
“Maka, ini harus ditanggapi secara positif (oleh) semua pihak untuk melakukan kajian, analisis bersama, sampai solusinya seperti apa,” tutur Kaka.
Logistik, sehubungan dengan distribusi surat suara, kata Kaka, bisa pula menjadi masalah lainnya dalam pilkada serentak. Ia menuturkan, percetakan surat suara biasanya terdesentralisasi. Kondisi tersebut bisa memudahkan sekaligus menyulitkan distribusi.
“Misalnya, kalau Jawa Barat mencetaknya di Bekasi, itu kadang-kadang dianggap terlalu dekat dengan gangguan terkait surat suara,” kata dia.
“Apalagi untuk daerah-daerah terpencil. Misalnya, di suatu daerah tidak ada satu percetakan, maka harus cetak di luar wilayahnya. Nah, ini punya kerawanan tersendiri juga.”
Saran untuk KPU
Sementara peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengatakan, catatan untuk Pilkada Serentak 2024 berkaitan dengan bagaimana penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut dipersiapkan secara baik. Dimulai dari anggaran.
“Kita tahu sejak Pilkada 2015, persoalan persiapan anggaran di setiap daerah selalu punya catatan dan punya masalah. Nah, itu yang harusnya dicek dan diperiksa,” ucap Fadli, Selasa (18/7).
“Jangan sampai persoalan anggaran penyelenggaraan pilkada terulang kembali.”
Berkaca dari Pilkada 2018, ia mengatakan, tahapan pilkada mendatang, seperti penyerahan dukungan calon perseorangan dan persiapan pendaftaran pemilih, berhimpitan dengan proses rekapitulasi suara Pilpres 2024.
“Nah, itu yang harus disiapkan oleh KPU dari sekarang. Strategi persiapan manajemennya seperti apa,” ujar dia.
Di sisi lain, Ilham menjelaskan, paling penting dalam mengatasi segala masalah dalam pilkada serentak adalah dapat membuat perencanaan yang baik. Kemudian, menjaga koordinasi dengan anggota KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota sebagai ujung tombak pelaksana pilkada.
Dalam pilkada, jelas Ilham, domain KPU pusat hanya menyiapkan regulasi, pengawasan, dan memastikan semua berjalan dengan baik. Pada konteks ini, KPU harus memastikan regulasi yang tepat dan tidak ada perubahan berulang, yang dapat membingungkan anggota KPU di daerah.
“Dan yang paling penting adalah membuat tim yang solid, terutama untuk menghadapi dua tahapan, penyelenggaraan pemilu dan pilkada,” kata dia.
Ilham menganjurkan KPU untuk memperhatikan sumber daya manusianya. Setiap provinsi dan kabupaten/kota, kata dia, memang punya sumber daya manusia yang dapat melaksanakan pemilu serentak. Namun, kuantitasnya tak merata, sedangkan beban kerja setiap orang perlu disesuaikan.
“Kadang-kadang soal mutasi juga menjadi persoalan kalau kemudian di daerah-daerah terpencil, misalnya saja, itu banyak yang minta pindah ke daerah-daerah yang tidak terpencil, di kota-kota,” kata Ilham.
“Itu kan menjadi kendala ketika teman-teman di daerah terpencil, seperti daerah kepulauan, tidak punya lagi banyak pegawai yang bisa kemudian membantu mereka menyelenggarakan pemilu.”
Ia menekankan hal itu supaya peristiwa di Pemilu 2019 tak terulang lagi. Sebagai informasi, dalam Pemilu 2019 ada 894 petugas pemilihan yang meninggal dunia dan 5.175 sakit
SDM, terang Ilham, perlu diperhatikan agar peristiwa di Pemilu 2019 tidak terulang kembali. Sebagai informasi, dalam Pemilu 2019 ada 894 petugas penyelenggara pemilihan yang meninggal dunia dan 5.175 petugas jatuh sakit, akibat kelelahan.
Menurut komisioner KPU Idham Holik, pihaknya sudah menyiapkan pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2024 yang dimulai 12 bulan menjelang hari pemungutan suara. Dalam prosesnya, KPU belajar pula dari pengalaman penyelenggaraan pilkada sebelumnya.
Soal anggaran misalnya, Idham menerangkan, KPU di daerah sudah melakukan komunikasi dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah, tutur Ilham, juga merespons dengan baik persiapan anggaran untuk pilkada.
“Ada pihak pemerintah daerah yang menyediakan dana penuh, ada juga pihak pemerintah daerah yang menyediakan dana per tahap atau dengan istilah saving,” ujar Idham, Selasa (18/7).
“Tapi, yang jelas kondisi hari ini, kesiapan dana penyelenggaraan pilkada, berdasarkan informasi dari rekan-rekan di berbagai daerah, kondisinya lebih baik.”
Dukungan pemerintah daerah itu, menurut Idham, tak lepas dari peran Kemendagri yang aktif menerbitkan kebijakan pendukung penuh terhadap penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024. Perihal sumber daya manusia, KPU juga sudah mengambil kebijakan pencegahan agar peristiwa Pemilu 2019 tak terulang kembali.
“Misalnya, nanti dalam perekrutan badan ad hoc, KPU hanya akan merekrut anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang usianya di rentang 17 hingga 55 tahun,” kata Idham.