Sejumlah isu di bidang ekonomi dan primordialisme diprediksi akan mewarnai pesta demokrasi 2019. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil risetnya pada awal Februari 2018. Premis dasar yang ditawarkan dalam riset itu, Jokowi berhasil menguatkan posisinya pada Pilpres mendatang. Pasalnya, elektabilitas Jokowi masih unggul dibandingkan dengan calon lainnya. Meski demikian, ia belum cukup aman di gelaran Pilpres mendatang. Menurut peneliti LSI, Adji Alfaraby, ada tiga isu penting yang jadi sorotan di Pilpres nanti, yakni publik resah terhadap masalah ekonomi, isu primordial, dan merebaknya buruh asing.
Bukan berarti isu lain seperti pendidikan, kesehatan, penanganan hukum tidak penting. Hanya saja yang punya efek daya elektoral besar adalah tiga isu di atas. Alasannya, dua isu ekonomi ini berkelindan langsung dengan persoalan kinerja Jokowi.
“Sisanya primordialisme, kita lihat sendiri bagaimana ia dimainkan di Pemilihan Gubernur (Pilgub) yang akhirnya menumbangkan Ahok,” urainya saat berbincang dengan Alinea, Selasa (6/2).
Peta kekuasaan itu juga bisa jadi berubah jika Prabowo maju dan bertanding kembali. Ketua Umum Partai Gerindra itu sudah punya modal dasar, popularitasnya meroket di atas 90% dan memiliki barisan pemilih yang loyal. Namun lagi-lagi ini terlepas dari faktor kartel partai politik yang akan terjadi nanti.
“Jika Golkar dan PDI-P sebagai parpol terbesar berkoalisi mengusung Jokowi, Jokowi mungkin sudah memesan tiket Presiden dua periode,” imbuhnya.
Tokoh agama dan militer mengintip peluang RI-2
Tiga tokoh berlatar militer turut meramaikan bursa cawapres 2019. Mereka adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Gatot Nurmantyo, dan Moeldoko. Adjie menyebut AHY diuntungkan berkat kiprah sang ayah dan pernah bertarung di Pilgub lalu. Sedangkan Gatot Nurmantyo naik daun karena ia dikenal kuat dan dekat dengan isu-isu Islam. Lalu Moeldoko, ia beruntung karena kini duduk dalam kabinet.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menuturkan, menguatnya wacana militer masuk kontestasi politik, karena beberapa faktor. Ia mengaitkannya dengan munculnya isu berbau agama dan nasionalisme, lewat turunannya baik radikalisme, ekstrimisme, komunisme, dan ultranasionalisme yang mengemuka. Sosok berlatar militer, dianggap membaca hal tersebut sebagai peluang.
“Karena mereka diyakini mampu menjaga Negara dari serbuan isu tersebut,” urainya.
Kendati berangkat dari asumsi, namun tak urung ini bisa jadi pertimbangan bagi siapapun yang hendak maju di Pilpres 2019.
Muradi memperluas empat motif yang mendorong orang militer maju di gelaran Pilpres. “Ada harapan yang dimunculkan dari elit sipil, karier militer yang relatif kurang memadai, kejenuhan di bidang ini sehingga militer butuh ruang ekspresi baru, dan terakhir ambisi militer,” jelas pengamat militer tersebut.
Kejenuhan berkarier di bidang militer, melansir Teori Huntington, juga tak bisa dinafikan. Mengingat dulunya mereka terbiasa dengan perang. Lalu perang lenyap dan mereka butuh wahana peperangan baru yang mewujud dalam bidang politik.
“Ini didorong dengan ambisi militer yang kemudian menjadi sangat agresif, dan berbahaya,” imbuhnya.
Menurutnya, siapapun tokoh politik yang maju di kontestasi lokal maupun nasional tak jadi soal. Sedangkan dari kalangan Islam dalam survei LSI diwakili oleh Muhaimin Iskandar dan TGB M Zainul Majdi. Ari Sudjito pengamat politik UGM memaparkan, menguatnya basis agama disebabkan karena munculnya blok politik di parlemen.
“Namun di demokrasi yang mapan, harusnya latar belakang tokoh, tak jadi soal. Ia juga menjadi tak relevan. Asal memenuhi syarat dan ketentuan, semua berhak maju di pesta demokrasi akbar 2019. Toh, saya melihat, warga mulai pintar, yang dilihat kini adalah karakter dan figur personal, bukan berasal dari mana mereka,” tuturnya.