Tanda pagar alias hashtag #2019GantiPresiden yang dimotori oleh politisi PKS Mardani Ali Sera dinilai meniru Suriah pada 2011.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding mengatakan hashtag #2019GantiPresiden merupakan produk impor yang diambil dari Suriah.
"Itu terjadi di Suriah tahun 2011. Kenapa Suriah kacau? Karena salah satu faktornya yaitu hashtag ini yang kemudian dikapitalisasi," kata Karding di Posko Cemara, Menteng, Jakarta, Selasa (28/8).
Aksi di Suriah, sambungnya, juga ditunggangi oleh kelompok-kelompok kepentingan yang ingin mendirikan sistem khilafah. Sehingga, aksi kelompok tersebut membuat terjadinya kekacauan di Suriah seperti saat ini.
Selain itu, Karding meyakini belum ada hasil survei atau data yang menyatakan hastag tersebut menurunkan elektabilitas Capres Joko Widodo. Kenyataannya adalah hashtag tersebut pernah dipakai di Suriah dan membuat kacau negara tersebut.
"Ganti presiden itu maknanya macam-macam, jadi saya kira memang bagus kalau pasangan calon di sebelah mengganti hashtag tersebut," jelasnya.
Adanya rencana untuk mengganti hashtag yang diinisiasi oleh Mardani Ali Sera tersebut, merupakan hal yang layak diapresiasi. Sebab, menurutnya jangan sampai isu atau hashtag itu memecah masyarakat di bawah yang dapat menganggu keamanan.
"Karena kita sudah sepakat Pemilu yang damai, Pemilu yang riang gembira dan Pemilu yang edukatif bagi masyarakat. Apapun hashtag-nya sepanjang tidak mengundang polemik di masyarakat," tegasnya.
Berkenaan dengan hashtag yang selalu digaungkan oleh kubu oposisi, Karding juga menyatakan tidak takut kehilangan pemilih di media sosial.
"Engga, yang milih kan bukan medsos, yang milih adalah rakyat. Nantilah, pasti kita buat hashtag dan nanti kita keluarkan, belum sekarang," ungkapnya.
Hanya saja, Karding belum memastikan kapan tepatnya hashtag tersebut dikeluarkan.
Berkenaan dengan adanya pengadangan, Karding menyatakan itu hanyalah narasi yang dibangun dari pihak sebelah. Karena, menurutnya, tidak ada pengerahan alat negara.
"Bahwa kalau Polri mengamankan masyarakat yang ada di Surabaya itu kan kewenangannya sebagai Polri untuk mengamankan sesuai Undang-undang," jelasnya.
Karding mengatakan, sudah menjadi Tupoksi dari Polri, khusunya demi menjamin keamanan.
"Kalau itu dibiarkan, ada masa yang menolak, lalu terjadi bentrok, (kemudian) yang disalahkan juga Polri. Sehingga kami harus bijak melihat ini. Ini bukan mengerahkan, itu memang tugas fungsi polri," bebernya.
Sikap tegas
Sementara itu, gerakan #2019GantiPresiden terus menuai kontroversi sejak Polri melakukan pencekalan terhadap Neno Warisman dan Ahmad Dhani di Pekanbaru dan Surabaya. Pro kontra yang berkembang di masyarakat pun tak hanya seputar gerakan tersebut, tetapi juga kepada sikap Polri yang segera melakukan pemulangan paksa terhadap keduanya.
Pengamat Kepolisian, Bambang Widodo Umar menganggap Polri seharusnya memberikan pengamanan dalam deklarasi tersebut dengan cara memberikan penjelasan kepada massa yang tidak setuju dengan gerakan tersebut. Ia mengatakan adanya gerakan yang digaungkan pertama kali oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu adalah hal yang wajar dalam proses demokrasi.
"Sebagai aparat keamanan justru harus dijaga pelaksanaannya agar berjalan tertib. Jika ada kelompok yang bersebrangan akan mengganggu harus dicegah dan dijelaskan tidak boleh melakukan tindakan-tindakan kekerasan kepada kelompok lain," ujarnya kepada Alinea.id, Selasa (28/8).
Bambang mengungkapkan deklarasi tersebut tidak seharusnya dilarang, apalagi setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan deklarasi tersebut tidak termasuk ke dalam kampanye. Kendati demikian, Polri juga seharusnya mengusut sampai tuntas jika terjadi kekerasan dalam peristiwa penolakan deklarasi hari Minggu (26/8).
Menurutnya, Polri seharusnya menjalankan tugas sesuai dengan UUD 1945 Pasal 30 ayat 4 yang menyatakan tugas polisi sebagai alat negara, bukan alat pemerintah. Polri juga diharapkan tidak melebarkan tugasnya ke arah politik dan tetap menjaga marwahnya sebagai aparat penegak hukum dan menjaga keamanan.
"Sebagai alat negara, polisi harus benar-benar netral (tidak memihak) dalam menjalankan tugasnya," ujarnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S. Pane yang menyebutkan Polri harus tegas dan profesional menangani hal itu. Namun, menurut Neta, deklarasi tersebut memang berpotensi membuat keresahan masyarakat dan mengganggu ketertiban masyarakat di dua daerah yang akan diselenggarakan deklarasi.
Polri juga diminta menindak perbuatan Neno saat berada di pesawat yang menggunakan mikrophone. Neta menyebutkan perbuatan tersebut melanggar Pasal 344 ayat A Undang Undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang menegaskan menguasai secara tidak sah pesawat udara yang sedang terbang atau yang sedang di darat adalah tindakan pelanggaran hukum.
"Di Pasal 425 juga disebutkan ancaman hukumannya satu tahun penjara atau denda Rp509 juta," tutur Neta dalam keterangan tertulis.
Tak hanya Neno, personel penerbangan yang mengetahui terjadinya penyimpangan atau ketidaksesuaian prosedur penerbangan juga bisa dikenakan sanksi, antara lain pencautan lisensi terbang seperti tertuang dalam Pasal 321.
Untuk itu, Polri dituntut untuk menempatkan posisinya sebagai apaarat penegak hukum dan yang berkewajiban menjaga keamanan masyarakat terhadap peristiwa-peristiwa yang berkemungkinan menimbulkan konflik dan kekacauan sosial.