Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta masyarakat memperhatian dinamika perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Apalagi, dalihnya, "kontestasi kotak suara" merupakan tiang demokrasi.
“Pemilu yang berkualitas akan menyehatkan demokrasi, pemimpin yang berintegritas dan kompeten dipilih melalui demokrasi yang sehat. Oleh karena itu, RUU Pemilu perlu mendapat perhatian penuh masyarakat,” ujar Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, dalam webinar, Jumat (29/1).
Menurutnya, adalah yang bermasalah dalam regulasi RUU Pemilu. Calon kepala daerah harus dari partai politik, salah satunya. “Ini menghilangkan pintu independen, saya tidak setuju."
"Kalau partai politik sehat, pasti mampu memilih calon terbaiknya. Oleh karena itu, seharusnya calon independen tidak akan menjadi masalah, tetapi justru menjadi bagian kontrol sosial,” sambungnya.
Dia juga menyinggung soal pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Mardani mengakui, tidak ada agenda elektoral pada 2022 dan 2023 dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 kecuali tahun 2024.
Atas dasar itu, PKS mengusulkan normalisasi pilkada pada 2022 dan 2023. Dalihnya, kontestasi tersebut untuk meminimalisasi lahirnya tirani baru yang membuat pemerintah daerah (pemda) tidak efektif lantaran dipimpin kepala daerah definitif.
PKS juga menginginkan penyelesaian sengketa pemilu ke depannya hanya melalui satu pintu.
“Publik harus terlibat dalam diskusi khusus tentang RUU Pemilu. Kalaupun ada revisi, apa landasannya? Kalau tidak ada, apa landasannya? Kalau bilang tidak perlu revisi supaya tidak pemilu lima tahun sekali, saya pikir itu sesuatu yang naif,” tuturnya.
Kontestasi terkompleks
Pada kesempatan sama, penggiat kepemiluan, Titi Anggraini, menyatakan, pemilu di Indonesia, seperti pilpres dan pileg serentak, merupakan kontestasi dalam sehari yang terbesar dan terkompleks di dunia.
“Pemilu Indonesia adalah pemilu serentak satu hari terbesar sekaligus paling kompleks di dunia, bahkan kita mengalahkan India yang dari segi populasi jauh lebih besar dari kita," ungkapnya.
Sayangnya, terangnya, pilpres-pileg serentak tak berdampak positif terhadap pelaksanaan pemilu. Dicontohkannya dengan pengalaman 2019 lalu.
"Pada 2019, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengenalkan pemilu serentak, (banyak) KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) kelelahan hingga ada 800 orang KPPS meninggal. Itu bisa dikatakan ironis,” ucapnya.
Titi melanjutkan, banyak pihak yang menganggap pemilu serentak tidak bisa dipertahankan. Salah satu pertimbangannya, terdapat 29 juta suara (19%) tidak sah saat pemilihan senator dan 13 juta suara tidak sah (11%) pemilihan DPR dari total partisipasi pemilih.
"Padahal Pemilu DPD itu mudah, ada foto dan nomor urut. Orang bisa salah nyoblos, bisa jadi karena tidak tahu atau tidak peduli,” katanya.
“Kita pemilu untuk memfasilitasi hak pilih rakyat, tetapi invalid votesnya sangat tinggi karena pemilu rumit, pemilih jadi kebingungan, dan penyelenggara pun sulit mengendalikan teknis pemilu, misalnya dalam hal distribusi,” tutupnya.