Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, Mulyanto, mengaku prihatin mengetahui anggaran riset nasional tahun ini yang dikelola Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) hanya Rp2,2 triliun. Menurut Mulyanto, angka ini terendah sepanjang sejarah pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi atau iptek nasional.
Mulyanto menilai, rendahnya alokasi anggaran riset karena BRIN tidak mampu mengonsolidasi program semua lembaga riset di bawah naungannya. Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, dianggap tidak memiliki visi besar dalam mengembangkan riset nasional.
"Terjadi kontraksi anggaran riset yang dalam, dimana pada tahun 2017 tersedia anggaran sebesar Rp 24,9 triliun atau 0,20 persen terhadap PDB. Kini merosot tinggal hanya sebesar Rp2,2 triliun atau 0,01 persen terhadap PDB. Menciut lebih dari satu per dua puluh kalinya," kata Mulyanto dalam keterangannya, Rabu (15/2).
Mulyanto mengaku heran dengan minimnya alokasi anggaran riset kali ini. Padahal, kata dia, BRIN duduk dua orang Wakil Ketua Dewan Pengarah BRIN yang juga menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas.
Keduanya, tegas Mulyanto, berwenang mengatur anggaran dan perencanaan pembangunan nasional. Namun, anehnya anggaran untuk lembaga yang dipimpinnya malah minim.
"Menurut saya, BRIN bukan saja tidak mampu mengkonsolidasikan anggaran riset dari berbagai badan litbang kementerian teknis, namun juga tidak mampu menahan agar anggaran riset tersebut tidak dialihkan untuk kegiatan nonriset di kementerian teknis. Dengan peleburan 34 lembaga Iptek kedalam BRIN, praktis anggaran riset pemerintah terpusat di dalam BRIN, yang pada tahun 2023 dialokasikan sebesar Rp2,2 triliun atau 0,01 persen terhadap PDB," ujar Mulyanto.
Sekretaris Kemenristek era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu mengatakan, dirinya sedih mengetahui alokasi anggaran BRIN yang tidak seberapa lebih banyak untuk kegiatan dukungan manajemen daripada kegiatan riset.
Total anggaran BRIN untuk tahun 2023 sebesar Rp6,5 triliun, sekitar 65% digunakan untuk kegiatan dukungan manajemen, seperti pembayaran gaji pegawai, perawatan gedung dan kendaraan dan lain-lain. Sisanya sebesar Rp2,2 triliun atau sebesar 35% digunakan untuk kegiatan penelitian.
Dengan keterbatasan itu, lanjut dia, alih-alih menghemat anggaran dukungan manajemen, langkah yang diambil Kepala BRIN malah penutupan berbagai pusat riset, penghentian berbagai program strategis, pengkompetisian dana riset, penggunaan bersama ruang dan kursi staf, sharing alat lab, pemberhentian para honorer ahli, dan sebagainya dalam rangka menekan biaya operasional riset.
"BRIN bukannya unjuk kinerja berupa munculnya produk inovasi kebanggaan anak bangsa atau tampilnya prestasi para ilmuwan kita di pentas internasional, yang terjadi malah banyak pengurangan program riset," ucap Mulyanto.
Mulyanto menyebut, kondisi BRIN saat ini akibat pemerintah salah urus kelembagaan riset. Peleburan kelembagaan riset sarat politisasi, kapasitas kepemimpinan rendah, berujung pada kondisi BRIN yang amburadul. Eksperimentasi kelembagaan riset seperti ini dipandang berbahaya dan bisa memakan banyak korban.
"Peleburan kelembagaan Iptek ini gagal. Konsolidasi lebih dari dua tahun tidak membuahkan hasil. Sebaiknya kita kembalikan kelembagaan riset dan inovasi seperti sedia kala," tandasnya.