close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid/Foto Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin.
icon caption
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid/Foto Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin.
Politik
Selasa, 01 September 2020 17:13

PKS kritik sanksi pidana terhadap pesantren dalam RUU Ciptaker

RUU Ciptaker pada Klaster Pendidikan berpotensi mempidana kiai atau ustaz.
swipe

Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritik ketentuan pemberian sanksi pidana pada pesantren dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) pada Klaster Pendidikan. Aturan tersebut dinilai akan menghambat pendidikan di Pesantren.

“Ada beberapa ketentuan dalam RUU Omnibus law Cipta Kerja yang harus diwaspadai bersama, agar kehadirannya tidak kontraproduktif, mempidana para kiai atau ustaz yang menyelenggarakan pendidikan via pesantren, baik modern maupun tradisional, karena hanya persoalan perizinan yang belum beres,” kata HNW dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (1/9).

Dia kemudian membeberkan beberapa ketentuan yang bermasalah dalam RUU Ciptaker Klaster Pendidikan. RUU tersebut, lanjut dia, mengubah beberapa ketentuan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni Pasal 51 ayat (1), Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 71 ayat (1).

Inti dari ketentuan itu adalah penyelenggara satuan pendidikan formal dan nonformal (termasuk pesantren) harus berbentuk badan hukum pendidikan, dan wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.

Bila satuan pendidikan tersebut didirikan tanpa perizinan, maka penyelenggara dapat dipidana penjara, paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 1 miliar rupiah.

Wakil Ketua MPR ini menilai ketentuan tersebut berbahaya. Apalagi, jelas dia, pesantren sudah memiliki UU tersendiri, yakni UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang sama sekali tidak mencantumkan sanksi pidana, melainkan pembinaan dan sangsi administratif.

“Jadi RUU Ciptaker ini tak sesuai dengan ketentuan dalam UU Pesantren,” ujarnya.

Dia menjelaskan, jumlah pondok di Indonesia mencapai lebih dari 28.000 lembaga. Angka ini dinilai cukup besar, apalagi sebagian sudah berdiri sebelum Indonesia Merdeka. 

“Ada beberapa yang didirikan tanpa mengurus perizinan secara lengkap, karena memang sejak zaman Indonesia merdeka tidak pernah ada aturan yang mewajibkan perizinan dan sanksi pidana bila tidak penuhi aturan pendirian,” pungkasnya.

img
Fathor Rasi
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan