close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Anggota Fraksi PKS DPR, Bukhori Yusuf. Dokumentasi DPR
icon caption
Anggota Fraksi PKS DPR, Bukhori Yusuf. Dokumentasi DPR
Politik
Kamis, 11 Maret 2021 08:48

PKS paparkan mudarat UU Pemilu existing

Mayoritas fraksi di DPR dan pemerintah sepakat mengeluarkan UU Pemilu dari daftar Prolegnas Prioritas 2021.
swipe

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bukhori Yusuf, melayangkan catatan kritis tentang keputusan pemerintah dan mayoritas fraksi yang sepakat mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

"Pertama, kondisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan yang diametral berpotensi melemahkan kesatuan NKRI dan kerukunan masyarakat," katanya dalam keterangannya, Kamis (11/3).

Selain itu, menurutnya, sistem ambang batas presiden (presidential threshold) dengan angka tinggi dinilai tidak sesuai dengan maksud asli (original intent) UUD 1945. Pasalnya, sistem itu menghalangi kesempatan partai politik (parpol) untuk memilih kader terbaik lantaran kontestasi akhirnya terbatas pada 2 pasangan calon (paslon).

"Konsekuensinya, pembelahan sosial rentan terjadi, bahkan nuansa ketegangan itu masih bisa kita rasakan sampai sekarang sebagai ekses dari Pemilu 2019 silam," tutur Bukhori.

"Oleh karena itu, dibutuhkan penyempurnaan mendasar terhadap sistem pemilu existing melalui revisi karena secara sosiologis sangat tidak sehat untuk memelihara iklim kerukunan bangsa," imbuh politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Kedua, Bukhori menilai, sistem pemilu juga turut menentukan desain kepemimpinan nasional. Baginya, penurunan presidential threshold melalui RUU Pemilu akan membuka ruang lebih luas untuk melahirkan banyak pemimpin segar. Ini diklaim senada dengan kehendak masyarakat yang menginginkan pemimpin berkualitas dan demokratis.

"Kita memiliki banyak tokoh negarawan yang layak menjadi pemimpin di tingkat nasional. Mulai dari ulama, cendekiawan, hingga kepala daerah. Sebab itu, kami ingin mendorong demokratisasi yang lebih substantif dalam proses pemilihan presiden untuk memutus rantai oligarki. Salah satunya, melalui ikhtiar revisi ini," tegasnya.

Dia berpendapat, sistem pemilu yang lebih inklusif memungkinkan setiap lapisan bangsa berhak untuk bisa dipilih sebagai presiden.

Jika tetap memberlakukan ambang batas yang tinggi, dikhawatirkan memunculkan banyak kursi kosong di level kepemimpinan daerah hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Dengan demikian, pilkada turut membawa konsekuensi politis berupa kekosongan legitimasi kepala daerah di 271 daerah lantaran masa bakti petahana akan selesai pada 2022 ataupun 2023.

"Masa kepemimpinan para kepala daerah existing akan selesai masa jabatannya pada rentang 2022-2023. Artinya, akan ada krisis legitimasi selama kurun 1 sampai 2 tahun karena yang memimpin adalah pelaksana tugas (plt.) kepala daerah seraya menanti kepala daerah terpilih hasil pemilihan serentak nasional tahun 2024," tegas Bukhori.

Padahal, sambungnya, kewenangan plt. terbatas, khususnya dalam mengambil keputusan atau tindakan strategis. "Mereka tidak memiliki keleluasaan mengambil langkah cepat apabila harus dihadapkan dalam situasi kritis," katanya.

img
Achmad Al Fiqri
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan