close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
PAN kembali menjajaki kemungkinan masuk ke koalisi parpol pendukung Jokowi-Ma'ruf. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
PAN kembali menjajaki kemungkinan masuk ke koalisi parpol pendukung Jokowi-Ma'ruf. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
Politik
Kamis, 20 Februari 2020 17:30

Plintat-plintut PAN dan potensi friksi di koalisi Jokowi

PAN kembali mewacanakan bergabung dengan koalisi parpol pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
swipe

Isu Partai Amanat Nasional (PAN) bakal bergabung dengan koalisi parpol pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf kembali merebak. Usai memastikan kursi Ketum PAN tetap di tangannya dalam Kongres V PAN di Kendari, Sulawesi Tengah, pekan lalu, Zulkifli Hasan mengatakan, niatnya untuk merapat.

Kepada wartawan, pria yang akrab disapa Zulhas itu menyebut PAN akan merugi jika berada di kubu oposisi bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Senayan. 

"Kalau kita ikut masuk ke situ, isu oposisi yang sudah diambil oleh teman kita partai itu. Jadi, itu akan sangat merugikan kita," ujar Zulhas di Kendari. 

Sejak Pilpres 2019 usai, Zulhas memang tak pernah menyatakan bakal berada di barisan oposisi. Mantan Ketua MPR itu malah terang-terangan bakal mendukung kebijakan Jokowi-Ma'ruf. Itulah sebabnya rumor PAN bakal merapat ke koalisi santer terdengar usai pilpres.

Ketika itu, Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan sempat menyebut peluang PAN untuk bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf cukup besar. Apalagi, sejak didirikan pada 1998, PAN memang selalu berada di pusaran kekuasaan. 

"Dan memang kemungkinan untuk bergabung dengan pemerintahan itu memang besar sekali. Jadi, memang itu sudah menjadi pola, sudah menjadi tradisi dari PAN untuk berada dalam pemerintahan," ujar loyalis Zulhas itu. 

Namun demikian, manuver Zulhas dan loyalisnya diadang dedengkot PAN Amien Rais. Saat isu PAN bakal pindah gerbong menghangat, Amien bahkan pernah menulis sebuah surat yang isinya menolak tegas rencana PAN bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf. 

Surat itu dibacakan kader senior PAN, Icu Zukafril dalam diskusi bertajuk "Oposisi Tugas Suci Amanat Rakyat 2019" di Padepokan Pencak Silat, Jakarta Timur, awal Agustus 2019. 

"Alangkah aib dan malu, serta hina dina PAN di hadapan Allah YME. Kita gadaikan akidah dan politik kita untuk kepentingan sesaat, sedangkan masa depan PAN sungguh tragis dan tidak ada lagi jalan kembali," tulis Amien.

Kini, sikap Amien sepertinya belum berubah. Itu setidaknya terlihat dari absennya Amien dalam penutupan Kongres V PAN di Kendari. Setali tiga uang, calon ketua umum PAN Mulfachri Harahap pun tidak hadir dalam acara tersebut.

Di Kongres V PAN, Mulfachri didukung Amien untuk maju mendongkel Zulhas. Namun, Mulfachri hanya mampu mengantongi 225 suara dukungan dari peserta kongres. Zulhas unggul cukup telak dengan raupan 331 suara. 

Sumber Alinea.id di internal PAN mengatakan, partainya masih panas pascakongres yang diwarnai lempar-melempar kursi itu. Menurut dia, polarisasi antarkader akibat beda jagoan di kongres masih terasa hingga kini. 

"Lagi hot di internal. Ekses lanjutan polarisasi dukungan kongres. Kan kongres ini terbelah dua kubu," kata sumber itu kepada Alinea.id, Jakarta, Selasa (18/2).

Meski begitu, Wakil Ketua Umum PAN Bima Arya mengatakan, partainya serius menjajaki kemungkinan bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf. Ia bahkan menyebut PAN hanya tinggal menunggu anggukan dari Jokowi. 

"PAN kan tidak masuk ke gerbong koalisi. Jadi, ketika undangan belum datang, kita tidak akan menawarkan (masuk kabinet). Akan tetapi, ketika undangan itu datang dan ada ruang politik, pasti akan kami diskusikan secara internal," tutur dia. 

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kanan) memberikan sambutan saat pembukaan Kongres V PAN di MTQ Square, Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (10/2). /Foto Antara

Bergabung tanpa jatah menteri? 

Dengan tambahan Gerindra yang bergabung belakangan, saat ini sudah ada enam parpol yang mengisi koalisi Jokowi-Ma'ruf. Meski begitu, Sekretaris Fraksi NasDem di DPR Saan Mustopa mengatakan partainya tidak keberatan jika PAN bergabung. 

"Tentu kita sambut baik. Tapi, keputusan kita serahkan kepada Presiden. Yang menentukan semuanya kan Presiden. Kalau partai (NasDem), tidak ada masalah," kata Saan kepada Alinea.id

Hal senada diungkap rekan separtai Saan, Muhammad Farhan. Menurut dia, fungsi pengawasan di DPR bakal tetap berjalan meskipun koalisi parpol pendukung pemerintah kian gemuk jika PAN diterima bergabung. 

"Toh, pada akhirnya di DPR ini punya posisi kritis yang baik terhadap kebijakan pemerintah. Fraksi NasDem memberikan keleluasan terhadap objektivitas kita terhadap program-program pemerintah, dari level presiden sampai level lembaga-lembaga yang kecil," kata dia. 

Catatan Farhan untuk PAN hanya satu, yakni partai berlambang matahari itu tidak meminta jatah menteri jika benar-benar ikut bergabung dengan koalisi. 

"Jangan menggunakan imbal balik politik sebagai dasar bergabung pada koalisi tersebut. Janganlah (tetapkan target-target tertentu). Kalau mau, bantu-bantu saja. Toh, buat bangsa dan negara juga," kata dia.

Ketua DPP PDI-Perjuangan Hendrawan Supratikno menyambut baik wacana bergabungnya PAN ke dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf. Ia menyebut pemerintah bakal diuntungkan dengan suntikan kekuatan baru dari kader-kader PAN di parlemen. 

"Ada plus-minusnya. Banyak yang sudah bicara. Namun, dalam perspektif politik gotong royong dan manajemen kebersamaan, mungkin positifnya lebih banyak. Tentu semua didasarkan atas pertimbangan yang rasional dan objektif," kata dia.

Namun demikian, pengamat politik Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan niat PAN bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf belum tentu mulus. 

"Apalagi, jika PAN harus mendapatkan kursi menteri di kabinet. Kecuali, partai-partai koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf dapat menerima dengan legawa," kata Karyono kepada Alinea.id

Pada 2015, PAN pernah bergabung dengan koalisi Jokowi-JK. Namun, PAN memutuskan keluar dari koalisi jelang Pilpres 2019. Saat berada di barisan koalisi, PAN pun kerap menunjukkan sikap politik yang berseberangan dengan Jokowi. 

Pada 2017 misalnya, PAN menjadi satu-satunya parpol koalisi Jokowi-JK yang menolak ambang batas pencalonan presiden sebesar 25%. Tak hanya itu, PAN juga sempat bergabung dengan PKS dan Gerindra menolak penerbitan Perppu Ormas.

Ketua Umum PAN periode 2020-2025 Zulkifli Hasan (kedua kanan), Ketua MPP PAN Hatta Rajasa (kedua kiri) dan sejumlah pengurus PAN memberi keterangan pers pada Kongres V PAN di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (12/2). /Foto Antara

PAN bisa bikin kisruh koalisi

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai, Zulhas berupaya merapat ke Jokowi demi meredam faksionalitas di tubuh PAN pascakongres. "Kalau misalnya berhasil, kisruh internal itu bisa diredam," kata Wasisto. 

Namun demikian, manuver tersebut potensial bikin PAN dicap sebagai partai yang inkonsisten. Apalagi, PAN sudah pernah "mengkhianati" Jokowi demi mengusung pasangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019.

"Wacana tersebut seolah menunjukkan inkonsistensi dalam berpolitik karena sebelumnya beroposisi sekali dengan Jokowi," ujar Wasisto. 

Tak hanya itu, Wasisto memprediksi, kehadiran PAN di koalisi Jokowi-Ma'ruf juga bakal beimplikasi negatif terhadap keharmonisan antarparpol pendukung pemerintah. Apalagi, potensi perpecahan di tubuh koalisi cenderung menguat setelah Gerindra bergabung. 

"Kalau PAN juga bergabung tentu malah berpotensi menimbulkan friksi antar partai anggota koalisi. Akhirnya, yang muncul adalah keretakan dan instabilitas pemerintahan," jelas dia. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan PAN justru dirugikan secara elektoral jika bergabung ke koalisi Jokowi-Ma'ruf. Menurut dia, masyarakat saat ini justru membutuhkan partai-partai yang bersikap kritis terhadap pemerintah.

"Dalam konteks demokrasi, diperlukan partai politik yang betul-betul memainkan peran penyeimbang atau check and balances pada koalisi pemerintahan yang sudah sangat gemuk ini," kata Titi saat berbincang dengan Alinea.id di Gedung DPR, Senayan, Selasa (18/2).

Sebagai salah satu partai yang lahir di era Reformasi, Titi menyarankan PAN tidak ikut-ikutan pindah gerbong seperti Gerindra. PAN, kata dia, dibutuhkan untuk memastikan demokrasi berjalan pada jalur yang benar. 

"Sehingga praktek demokrasi kita itu mempunyai kontrol yang memadai dengan keberadaan mereka sebagai bagian dari parpol yang berada di luar pemerintahan. Kekuasaan itu perlu penyeimbang," tegas Titi. 

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan