close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi lokasi tambang. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi lokasi tambang. Alinea.id/Firgie Saputra
Politik
Rabu, 12 Februari 2025 12:18

Poin-poin krusial revisi UU Minerba yang dikritik LSM dan pengusaha

Revisi UU Minerba terus dikebut. Jika tidak ada aral melintang, DPR dan pemerintah berniat mengesahkan revisi UU Minerba pada 18 Februari 2025.
swipe

Rapat untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) atas Perubahan Ketiga Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) kembali digelar di ruang Badan Legislasi DPR, Senayan Jakarta, Selasa (11/2). Jika tidak ada aral melintang, DPR dan pemerintah berniat mengesahkan revisi UU Minerba pada 18 Februari 2025. 

Hadir dalam rapat di Baleg DPR RI, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan pemerintah siap mengikuti jadwal yang telah disepakati bersama DPR. Saat ini, pemerintah tengah menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) sebelum RUU tersebut resmi dibahas bersama DPR.

"Daftar inventarisasi masalah sebenarnya sudah, drafnya sebenarnya sudah selesai, tetapi kami masih harus berkoordinasi antara Kementerian ESDM, kemudian Mensesneg," kata Supratman kepada wartawan usai rapat. 

Meskipun tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, revisi UU Minerba telah mulai dibahas DPR dan pemerintah sejak Januari lalu. Ketua Baleg RI Bob Hasan berdalih revisi UU Minerba mendesak untuk mengisi "kekosongan" hukum setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK). 

"Undang-undang Minerba yang lama ini menimbulkan banyak ketidakpastian. Ketidakpastian pada level legal, bukan pada level implementasi," ujar Bob di sela-sela rapat pembahasan RUU Minerba, Januari lalu. 

UU Minerba sudah empat kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Dua pengujian dikabulkan bersyarat oleh MK, yaitu Putusan MK Nomor 64/PUU-XVIII/2020 dan Putusan MK Nomor 37/PUU-XIX/2021. MK menyatakan sejumlah pasal di UU Minerba bertentangan dengan bunyi Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. 

Namun, di luar pasal yang dipersoalkan MK, DPR juga menambahkan sejumlah pasal baru dalam revisi UU Minerba, semisal pemberian konsensi tambang kepada ormas, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), serta perguruan tinggi. Poin-poin itu dipersoalkan lembaga swadaya masyarakat, termasuk di antaranya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Apa saja poin-poin utama revisi UU Minerba? 

Dalam rapat teranyar,  DPR dan pemerintah menyepakati sejumlah poin pada revisi UU Minerba. Pertama, penyesuaian pada substansi Pasal 17, Pasal 17A, Pasal 22A, dan Pasal 31 A yang isinya terkait dengan pemanfaatan ruang supaya sesuai dengan putusan MK. 

Kedua, Pasal 51 mengatur penetapan wilayah izin umum pertambangan mineral, logam atau batu bara yang diberikan dengan cara prioritas kepada koperasi, badan usaha kecil dan menengah, dan badan usaha milik organisasi kemasyarakatan keagamaan yang menjalankan fungsi ekonomi untuk peningkatan perekonomian daerah.

Ketiga, Pasal 51 A yang isinya pemberian wilayah izin umum pertambangan mineral logam kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas, dengan pertimbangan luas wilayah izin pertambangan mineral logam, akreditasi perguruan tinggi, dan untuk meningkatkan akses layanan pendidikan bagi masyarakat.

Keempat, penambahan substansi Pasal 51 B. Bunyinya, "Wilayah izin umum pertambangan logam dan batu bara dalam rangka hilirisasi dapat diberikan kepada badan usaha swasta dengan cara prioritas."

Kelima, Pasal 75, yakni pemberian IUP PK pertambangan dengan cara prioritas kepada BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, badan usaha kecil dan menengah, badan usaha yang dimiliki organisasi kemasyarakatan keagamaan atau badan usaha milik perguruan tinggi.

Poin revisi krusial lainnya ialah pada Pasal 173B. Disebutkan pada pasal itu, IUP yang diterbitkan sebelum berlakunya undang-undang ini, dan terdapat permasalahan tumpang tindih sebagian atau seluruh wilayah izin umum pertambangannya berdasarkan hasil evaluasi pemerintah dicabut dan dikembalikan kepada negara.

Pimpinan serta anggota Badan Legislasi DPR RI berfoto usai rapat pleno pengambilan keputusan atas hasil penyusunan RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (20/1). Foto dok. DPR  

Kenapa revisi UU Minerba dipersoalkan masyarakat sipil? 

Perwakilan Koalisi Bersihkan Indonesia, Aryanto Nugroho menyebut revisi UU Minerba dikebut tak semata demi mematuhi putusan MK. Menurut dia, DPR dan pemerintah merevisi UU demi melegitimasi isi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang memberikan izin pengelolaan tambang bagi ormas keagamaan. 

"Langkah ini secara tidak langsung mengakui bahwa PP Nomor 25 Tahun 2024 melanggar UU. Namun, alih-alih mencabut PP tersebut, pemerintah dan DPR memilih merevisi UU Minerba. Ini akrobat konstitusi yang menunjukkan bahwa regulasi hanya diubah untuk membenarkan pelanggaran," ujar Aryanto dalam sebuah diskusi di Jakarta, belum lama ini.

Revisi UU Minerba, kata Aryanto, juga membuka jalan bagi badan usaha, koperasi, dan perusahaan perorangan untuk memperoleh wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) tanpa proses lelang. Dalam draf RUU, disebutkan bahwa wilayah pertambangan mineral logam dengan luas di bawah 2.500 hektare dapat diberikan berbasis prioritas tanpa melalui mekanisme lelang.

"Dulu, izin pertambangan wajib melewati proses lelang yang transparan. Kini, prioritas diberikan kepada ormas, perguruan tinggi, hingga koperasi. Ini mengindikasikan privatisasi sumber daya alam dengan skema yang minim akuntabilitas," jelas Aryanto. 

Bagaimana respons kalangan pengusaha tambang terhadap revisi UU?

Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menilai pemberian WIUP bagi perguruan tinggi, dan badan usaha swasta, dan UKM berbasis prioritas tak adil. Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey berpendapat sebaiknya pemberian WIUP tetap melalui mekanisme lelang.

"Kami merasa ini sangat-sangat nggak fair karena ada kata-kata prioritas," tutur Meidy dalam rapat pleno bersama Baleg DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Januari lalu. 

Menurut Meidy, pengusaha tambang mineral yang ada saat ini lebih punya pengalaman, kapabilitas, dan kemampuan finansial untuk mengelola WIUP. Ia ragu UMKM dan perguruan tinggi mampu mengelola bisnis tambang yang kompleks, termasuk di antaranya menghadapi protes dari masyarakat setempat, menjaga kelestarian alam, dan menyelesaikan perizinan yang tumpang tindih.

Dia mencontohkan perusahaaan tambang sudah memiliki IUP, tetapi tak diperbolehkan menambang lantaran tidak mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan. Perusahaan itu tidak bisa menambang, tetapi harus tetap membayar sewa lahan.

"Apakah mampu teman-teman UMKM atau perguruan tinggi menghadapi tantangan yang kami hadapi seperti saat ini?" ucap Meidy.
 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan