Peraturan KPU soal larangan eks narapidana korupsi maju sebagai calon legislatif belum disetujui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham). Padahal, PKPU tersebut telah ditandatangani dan disahkan KPU.
Kondisi itu tidak terlepas dari belum berubahnya pendapat maupun argumen dari kedua belah pihak. KPU masih menginginkan larangan mantan terpidana korupsi nyaleg tetap ada. Sementara, Menkumham berada pada posisi sebaliknya.
Praktisi Hukum Pemilu, Ahmad Irawan, mengatakan, Menkumham memiliki alasan sendiri untuk menolak melakukan pengundangan terhadap PKPU yang disusun KPU. Salah satunya, PKPU tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kini pertanyaannya apakah Peraturan KPU yang telah disahkan dan ditetapkan tersebut berlaku meskipun belum diundangkan?," katan Irawan melalui siaran pers yang diterima alinea.id.
Pria yang berprofesi sebagai advokat tersebut berpandangan, dari segi hukum ada beberapa pendapat mengenai hal tersebut.
Pengundangan merupakan bagian akhir dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Posisi Peraturan KPU mengenai larangan mantan terpidana korupsi untuk nyaleg, baru sampai pada tahapan pengesahan atau penetapan KPU selaku pembuat regulasi. Sekaligus memiliki wewenang menyusun peraturan teknis penyelenggaraan.
Peraturan KPU merupakan salah satu kategori peraturan perundang-undangan yang harus diundangkan dalam lembaran negara Republik Indonesia. "KPU sebagai badan/lembaga/komisi yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 dan undang-undang," tegasnya.
Pengundangan peraturan KPU merupakan wewenang Menteri Hukum dan HAM untuk menempatkan peraturan tersebut dalam lembaran negara dan berita negara. Pelaksanaan pengundangan harus dilakukan karena setiap peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat saat diundangkan.
Selanjutnya, pengundangan dari aspek normatif dan filosofis memiliki konsekuensi hukum bagi setiap warga negara dianggap telah mengetahui berlakunya suatu peraturan (fiksi hukum).
Itu artinya, semua orang dianggap mengetahui hukum yang disahkan dan ditetapkan oleh KPU (presumptio iures de iure). Jika tidak ada pengundangan, maka warga negara atau peserta pemilu yang terikat dengan peraturan KPU tersebut, tidak dapat diberi sanksi atas suatu aturan yang tidak diketahuinya.
Maka, tidak tepat dan keliru jika ada yang mengatakan Peraturan KPU yang tidak diundangkan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. "Itu merupakan pendapat hukum yang keliru," jelasnya.
Mengingat kalender ketatanegaraan yang telah diatur dalam Undang-Undang Pemilu terus jalan dan berganti. Maka, kebuntuan tersebut harus segera diakhiri. Salah satunya, meminta Mahkamah Agung melakukan pengujian PKPU tersebut. Sisi yang lainnya, KPU sebaiknya memundurkan jadwal pelaksanaan pendaftaran calon legislatif untuk menunggu putusan Mahkamah Agung.
Dengan demikian, wajah masing-masing lembaga negara bisa tetap terselamatkan, lebih penting lagi kepastian hukum yang adil dapat diwujudkan.