Wacana penundaan pemilu terus bergulir. Keinginan untuk memperpanjang masa pemerintahan saat ini bisa saja dicari jalannya agar konstitusional, namun hal itu akan menimbulkan persoalan legitimasi di kemudian hari. Pembangkangan rakyat.
Sebenarnya, usulan penundaan pemilu atau pun penambahan masa jabatan presiden saat ini akan menemui jalan buntu. Konstitusi UUD 1945, secara tegas di Pasal 22E UUD 45 secara imperatif menyatakan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Namun begitu, penundaan pemilu juga bukan hal yang mustahil.
“Meskipun terhalang oleh konstitusi, namun hal itu (penundaan Pemilu) juga bukan hal yang mustahil. Sebab, pada dasarnya UUD 1945 pun merupakan konstitusi yang terbuka terhadap perubahan. Ingat Pasal 37 UUD 1945 secara umum membahas tentang perubahan UUD,” ujar Sekretaris Jenderal Rumah Gerakan 98 (Sekjen RG 98), Arif Bawono, dalam keterangannya, Minggu (27/3).
Arif menambahkan, dalam pasal tersebut, UUD dapat diubah jika sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR. Usul perubahan pasal dapat disampaikan dalam sidang MPR.
Setiap usulan perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan. Usulan perubahan ini wajib disertai dengan alasan. Perubahan dapat dilakukan terhadap pasal-pasal yang UUD 1945, kecuali pasal yang mengatur tentang bentuk negara.
"Jadi, secara teknis, mengubah UUD 1945 melalui proses amandemen bisa saja dilakukan untuk menindaklanjuti wacana penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden dan penambahan periodesasi masa jabatan presiden," katanya.
Namun, ia mengingatkan bahwa usulan penundaan pemilu berkaitan langsung dengan ketentuan-ketentuan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, presiden dan wakil presiden. Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya. Dengan penundaan Pemilu, artinya mereka akan memperpanjang masa jabatan mereka sendiri.
"Ini berarti, akan ada konflik kepentingan dalam pengajuan usul amandemen. Sebab, hasil amandemen itu bisa dipastikan akan menguntungkan para pengusul dan pembahas," ujar pria yang akrab disapa Boy ini.
Jika, dipaksakan untuk melakukan amandemen untuk perpanjangan masa jabatan dan penundaan Pemilu, kata Arif, maka akan membawa dua dampak langsung. Pertama, secara hukum produk UU yang rawan konflik kepentingan ini bisa dimasukan dalam delik korupsi.
"Setidaknya merupakan persekongkolan jahat. Kedua, amandemen tidak akan memiliki dasar legitimasi yang cukup. Apakah konstitusi yang tidak legitimate akan mampu bertahan lama?," ujarnya. "Maka risiko terbesarnya adalah, pembangkangan rakyat untuk mematuhi mereka," imbuh dia.
Rakyat akan jalan sendiri-sendiri, menurut maunya sendiri. Rakyat memiliki alasan membangkang kepada presiden, wakil presiden, para menteri, membangkang kepada DPR, DPD dan juga kepada MPR.
"Rakyat memiliki alasan menolak keputusan apapun yang mereka buat karena keputusan itu tidak sah dan bahkan ilegal. Solusi paling memungkinkan adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat sebagai pemilik sah republik ini. Maka, tanyakan langsung ke rakyat maunya bagaimana? Hidupkan kembali beleid referendum,” ujar Arif.
Menurutnya, kita pernah memiliki UU No. 5 tahun 1985 tentang Referendum. Dalam Pasal 1 huruf a UU tersebut disebutkan referendum adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945.
“Sayangnya, UU ini dihapuskan melalui UU No. 6 tahun 1999. Semangat reformasi yang diperjuangkan mahasiswa, telah dibajak di pekan pertama oleh orang tua di parlemen dengan menghapus UU Referendum dan memperkosa konstitusi seenaknya. Saat ini, sebagian mereka berteriak amandemen UUD 1945 terlalu liberal,” ujarnya.
Polemik masa jabatan presiden dan penundaan pemilu ini merupakan saat tepat untuk menghidupkan kembali UU Referendum. "Hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan dan konstitusi hanya bisa diputuskan oleh rakyat selaku pemilik sah republik ini. Pemerintah dan parlemen hanyalah penyelenggara negara. Jangan sampai ini keterusan, apalagi kita semua mahfum bagaimana oligarki bekerja di eksekutif, legislatif dan bahkan yudikatif. Jika, semua hal termasuk kedaulatan kita percayakan pada mereka. Negara dan bangsa ini akan semakin tergadai,” pungkasnya.
Polemik penundaan pemilu menurut Arif jangan sampai berkepanjangan karena menurutnya berpotensi membuat rakyat terpolarisasi tajam.
"Bisa dikatakan (bisa) lebih buruk dibanding polarisasi masa Pilpres 2019 lalu," pungkasnya.