close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Candi Bajang Ratu di Trowulan, Jawa Timur, peninggalan Kerajaan Majapahit. /wikitravel.org.
icon caption
Candi Bajang Ratu di Trowulan, Jawa Timur, peninggalan Kerajaan Majapahit. /wikitravel.org.
Politik
Jumat, 01 Maret 2019 16:31

Politik silsilah trah Majapahit yang usang

Hingga saat ini, para elite pemimpin negara kerap mengasosiasikan diri mereka segaris silsilah dengan salah satu Kerajaan Majapahit.
swipe

“Semua raja di Nusantara terngiang-ngiang terhadap Majapahit, sehingga kerapkali memanfaatkannya sebagai alat pengukuhan kekuasaan,” tutur Ketua Lembaga Seniman Budayawan Indonesia (Lesbumi) Kota Depok, Romo Donny S Ranoewidjojo, dalam diskusi sejarah bertajuk “Cikal Bakal Berdirinya Kerajaan Mataram Islam” di Perpustakaan Nasional, Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (28/2).

Apa yang disampaikan Donny bukan isapan jempol. Bahkan, hingga saat ini, para elite pemimpin negara kerap mengasosiasikan diri mereka segaris silsilah dengan salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara itu.

Di Indonesia politik silsilah tergolong strategi lama. Namun, strategi tersebut seringkali efektif membuat sejumlah orang percaya, dan menarik simpati.

Pada 25 Februari 2018 lalu, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief mengunggah silsilah Susilo Bambang Yudhoyono di akun Twitternya, yang garisnya bisa dirunut dari pendiri Kerajaan Majapahit, Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya.

Bukan hanya Yudhoyono, Sukarno, Soeharto, Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, Prabowo Subianto, bahkan Joko Widodo pernah ada yang mengaitkannya dengan silsilah para penguasa besar di masa silam.

Situs Kanzunqalam.com pernah memaparkan garis silsilah calon presiden dan calon wakil presiden mendatang. Situs tersebut menulis, leluhur dari ke-4 capres-cawapres itu bermuara pada pendiri Kesultanan Demak, Raden Patah.

“Jokowi dan Prabowo Subianto merupakan keturunan putra Raden Patah bernama Pangeran Hadipati Trenggono, sedangkan Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno merupakan keturunan dari putri Raden Patah yang bernama Ratu Ayu Kiran,” tulis situs tersebut.

Bahkan, menjelang Pemilu 2014 lalu, Jokowi sempat dikaitkan dengan Majapahit. Hal itu terjadi ketika seniman, budayawan, dan masyarakat menggelar Kirab Jogja Istimewa untuk Jokowi-JK di Alun-alun Utara, Yogyakarta, pada 24 Juni 2014.

“Jokowi itu cucu Prabu Brawijaya ke-5, beliau bilang nanti di masa depan 600 tahun dari sekarang trah Majapahit akan mengambil lagi kekuasaannya,” kata budayawan Mohammad Sobari saat itu.

Politik klaim

Surya Majapahit, lambang yang banyak ditemui di kuil dan reruntuhan peninggalan zaman Majapahit. (Gunkarta Gunawan Kartapranata/commons.wikimedia.org).

Klaim keturunan disinyalir bisa memberikan pengukuhan keabsahan sebagai pemimpin rakyat. Oleh karena itu, muncul kecenderungan mengesahkan kekuasaan melalui klaim adanya hubungan darah. Dahulu, raja-raja Mataram pun mengklaim sebagai pewaris trah Majapahit.

Menurut Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam bukunya Nusantara: Sejarah Indonesia (2016) klaim pengesahan itu didukung pujangga raja, penyair istana yang menulis kisah ajaib silsilah raja, yang turun dari penguasa-penguasa sakti dan terkenal dengan kekuatan gaibnya.

“Fakta-fakta sejarah dirajut bersama kepercayaan tradisional yang punya makna gaib, menjadi cerita yang sesungguhnya hanyalah versi baru dari cerita lama,” tulis Vlekke.

Lebih lanjut, Vlekke menulis, tidak baik bagi seorang raja atau penguasa baru untuk menyatakan memperoleh kekuasaannya dengan mengkudeta pendahulunya—mungkin sekali mengklaim sebagai keturunan, atau paling tidak pewaris sah dinasti yang ada persis sebelum pendahulunya itu. Dengan demikian, tulis Bernard, naiknya ke takhta bisa diklaim sebagai pemulihan pemerintah yang sah.

“Semua raja di Nusantara terngiang-ngiang terhadap Majapahit, sehingga kerapkali memanfaatkannya sebagai alat pengukuhan kekuasaan,” tutur Ketua Lembaga Seniman Budayawan Indonesia (Lesbumi) Kota Depok, Romo Donny S Ranoewidjojo, dalam diskusi sejarah bertajuk “Cikal Bakal Berdirinya Kerajaan Mataram Islam” di Perpustakaan Nasional, Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (28/2).

Apa yang disampaikan Donny bukan isapan jempol. Bahkan, hingga saat ini, para elite pemimpin negara kerap mengasosiasikan diri mereka segaris silsilah dengan salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara itu.

Di Indonesia politik silsilah tergolong strategi lama. Namun, strategi tersebut seringkali efektif membuat sejumlah orang percaya, dan menarik simpati.

Pada 25 Februari 2018 lalu, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief mengunggah silsilah Susilo Bambang Yudhoyono di akun Twitternya, yang garisnya bisa dirunut dari pendiri Kerajaan Majapahit, Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya.

Bukan hanya Yudhoyono, Sukarno, Soeharto, Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, Prabowo Subianto, bahkan Joko Widodo pernah ada yang mengaitkannya dengan silsilah para penguasa besar di masa silam.

Situs Kanzunqalam.com pernah memaparkan garis silsilah calon presiden dan calon wakil presiden mendatang. Situs tersebut menulis, leluhur dari ke-4 capres-cawapres itu bermuara pada pendiri Kesultanan Demak, Raden Patah.

“Jokowi dan Prabowo Subianto merupakan keturunan putra Raden Patah bernama Pangeran Hadipati Trenggono, sedangkan Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno merupakan keturunan dari putri Raden Patah yang bernama Ratu Ayu Kiran,” tulis situs tersebut.

Bahkan, menjelang Pemilu 2014 lalu, Jokowi sempat dikaitkan dengan Majapahit. Hal itu terjadi ketika seniman, budayawan, dan masyarakat menggelar Kirab Jogja Istimewa untuk Jokowi-JK di Alun-alun Utara, Yogyakarta, pada 24 Juni 2014.

“Jokowi itu cucu Prabu Brawijaya ke-5, beliau bilang nanti di masa depan 600 tahun dari sekarang trah Majapahit akan mengambil lagi kekuasaannya,” kata budayawan Mohammad Sobari saat itu.

Politik klaim

Surya Majapahit, lambang yang banyak ditemui di kuil dan reruntuhan peninggalan zaman Majapahit. (Gunkarta Gunawan Kartapranata/commons.wikimedia.org).

Klaim keturunan disinyalir bisa memberikan pengukuhan keabsahan sebagai pemimpin rakyat. Oleh karena itu, muncul kecenderungan mengesahkan kekuasaan melalui klaim adanya hubungan darah. Dahulu, raja-raja Mataram pun mengklaim sebagai pewaris trah Majapahit.

Menurut Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam bukunya Nusantara: Sejarah Indonesia (2016) klaim pengesahan itu didukung pujangga raja, penyair istana yang menulis kisah ajaib silsilah raja, yang turun dari penguasa-penguasa sakti dan terkenal dengan kekuatan gaibnya.

“Fakta-fakta sejarah dirajut bersama kepercayaan tradisional yang punya makna gaib, menjadi cerita yang sesungguhnya hanyalah versi baru dari cerita lama,” tulis Vlekke.

Lebih lanjut, Vlekke menulis, tidak baik bagi seorang raja atau penguasa baru untuk menyatakan memperoleh kekuasaannya dengan mengkudeta pendahulunya—mungkin sekali mengklaim sebagai keturunan, atau paling tidak pewaris sah dinasti yang ada persis sebelum pendahulunya itu. Dengan demikian, tulis Bernard, naiknya ke takhta bisa diklaim sebagai pemulihan pemerintah yang sah.

Namun, Romo Donny S Ranoewidjojo, yang meraih gelar doktor Sastra Jawa dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia mengatakan, mustahil pada masa silam seseorang yang tak punya trah bisa menjadi raja. Sebab, katanya, rakyat tak akan mendukung tokoh yang tak punya garis keturunan raja.

Sementara itu, di Babad Tanah Jawa, menurut Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2009), Demak digambarkan sebagai penerus langsung dinasti Majapahit. Sultan pertama Demak, Raden Patah, digambarkan sebagai putra raja terakhir Majapahit dari putri China keturunan Campa.

“Legenda semacam itu tidak banyak memberi tahu peristiwa aktual, tetapi mereka banyak bercerita tentang keprihatinan pengadilan di kemudian hari untuk melihat kesinambungan dan upaya mengukuhkan dinasti sebagai elemen yang melampaui islamisasi,” tulis Ricklefs.

Kerajaan Pajang pun mengklaim sebagai penerus Majapahit, melalui garis Demak. Legenda menuturkan, Jaka Tingkir yang sakti mandraguna adalah menantu Sultan Trenggana, yang berasal dari Pajang. Pada periode akhir Kerajaan Demak, setelah kematian Trenggana, Jaka Tingkir memperluas kekuasaannya di Jawa Tengah.

Ricklefs menulis, Jaka Tingkir dibaiat sebagai sultan dari Pajang pada 1503 oleh Sunan Giri. Ia merupakan satu-satunya penguasa Pajang yang ditulis dalam Babad Tanah Jawa.

Selanjutnya, tampuk kekuasaan seolah-olah diambil alih Mataram. Legenda Jawa menjelaskan Kiai Gedhe Pamanahan yang mengabdi kepada Jaka Tingkir, berhasil membuhun musuh bebuyutan Pajang, Arya Penangsang dari Jipang.

Pamanahan dijanjikan tanah Mataram sebagai hadiah. Akan tetapi, Jaka Tingkir gagal memenuhi janjinya karena campur tangan dan rayuan Sunan Kalijaga. Sehingga, ia menyerbu Mataram dan menguasainya.

“Pamanahan mungkin telah mati sekitar tahun 1584. Pamanahan, tertulis dalam kronik Mataram telah menjadi keturunan raja terakhir Majapahit, tetapi ini mencerminkan upaya untuk mengukuhkan kekuasaan daripada mencatat silsilah yang benar,” tulis Ricklefs.

Bahkan, tulis Peter Carey dalam bukunya Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2011), Pangeran Diponegoro berupaya memperkuat pengukuhan kekuasaannya dengan mengibarkan panji negara Islam, yang akan memperluas wilayah penaklukannya ke luar Jawa, dan menghidupkan kembali kejayaan Majapahit.

Peta kekuasaan Kerajaan Majapahit. (Gunawan Kartapranata/Commons.wikimedia.org).

Kekuatan gaib dan pengakuan ulama

Tak ketinggalan, Raden Trunojoyo dari Madura, tulis H.J de Graaf dan Theodore G.Th. Pigeud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1985) juga mengaku penerus trah Majapahit.

Dalam mengukuhkan kekuasaannya, para pangeran dan raja yang sudah disebutkan tadi, bukan hanya mengasosiasikan diri dengan trah Majapahit saja, tetapi juga dengan kekuatan gaib dan pengakuan dari seorang ulama Muslim.

Donny mencontohkan nama Ki Ageng Mangir Wanabaya—musuh sekaligus menantu Raja Mataram Panembahan Senopati—yang kesaktiannya sempat menggoyahkan sang mertua.

Donny mengatakan, Panembahan Senopati gentar kalau Ki Ageng Mangir memberontak. Sebab, Ki Ageng Mangir hanya membutuhkan klaim pewaris sah trah Majapahit untuk menghimpun dukungan rakyat, yang juga dilakukan Senopati.

Kekuatan gaib pun masih dipercaya hanya dimiliki orang-orang istimewa. Lazim jika ada upaya mengaitkan para presiden di Indonesia, ataupun calon presiden yang akan bertarung pada pemilu April 2019 nanti, dengan berbagai kekuatan gaib.

Sementara itu, meminta restu dalam mengukuhkan kekuasaan pun tercermin ketika Jokowi memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presidennya. Dan, calon wakil presiden nomor urut 02 Sandiaga Salahuddin Uno diberi gelar santri era post-Islamisme oleh Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sohibul Iman.

Donny mengatakan, di masa lalu raja-raja Muslim di Asia Tenggara juga meminta gelar nama ke Syarif Makkah, serta meminta restu kepada Sunan Giri.

“Raja-raja tersebut mengambil gelar nama dari Syarif Makkah, ini pengkuan de jure. Sedangkan pengakuan de facto-nya dari Sunan Giri, bisa berupa kekuatan ajaib maupun kekuatan religi,” ujar Donny dalam diskusi di Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Mengutip M.C. Ricklefs dalam Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi, 1749-1792: Sejarah Pembangian Jawa (2002), Donny menyebut, Sunan Giri sebagai Paus Jawa. Lantas, Sultan Agung dari Mataram menggempur wilayah Giri Kedaton, menaklukannya, kemudian menurunkan derajat Sunan Giri sebagai ulama biasa.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan