Munculnya poros ketiga, menurut hitungan di atas kertas memang dirasa memungkinkan. Namun yang jadi persoalan, menurut Kepala Departemen Ilmu Komunikasi (FISIP UGM), Kuskridho Ambardi, adalah hitungan kans kemenangan.
"Apakah mereka akan mengajukan poros ketiga, yang prospek elektoralnya rendah? Logika awal dari partai, mereka mestinya punya kans menang. Karena mereka mengharap ada political spoil," urainya.
Melihat hitungan itu, poros ketiga dibentuk bukan demi keinginan murni untuk mengajukan calon, akan tetapi untuk menaikkan posisi tawar terhadap poros yang lain. "Tetapi para kandidat sepertinya menginginkan hanya dua calon," katanya.
Seandainya poros ketiga terbentuk, lanjutnya, publik perlu membedakan jumlah suara ataupun jumlah dukungan yang dihimpun partai. Sebab perolehan suara itu tak bisa dijadikan landasan tunggal untuk mengusung capres atau cawapres sesuai instruksi partai.
Sebab faktanya, hanya beberapa partai saja yang bisa membawa mayoritas pemilihnya untuk memilih calon pemimpin. Ketiga partai tersebut yaitu PDI Perjuangan, PKS, dan Gerindra yang bisa membawa mayoritas pendukungnya, selebihnya tidak. "Di luar itu goyang semua," selorohnya kepada Alinea.
Pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J. Kristiadi pun angkat bicara terkait kemungkinan munculnya poros ketiga. Menurutnya poros ketiga mustahil ada pada perhelatan pilpres 2019. Ia meyakini hanya akan ada dua calon saja yang bertarung. Mereka adalah kubu dari pihak incumbent Jokowi dan rivalnya di pilpres 2014, Prabowo Subianto.
Menurutnya, Partai Demokrat yang digadang-gadang menjadi "King Maker" akan merasa lebih nyaman berada bersama Joko Widodo, sehingga kemungkinan akan merapat padanya.
Apalagi, lanjutnya, Ketua MPR Zulkifli Hasan juga sudah menandaskan poros ketiga mustahil muncul. Tidak hanya itu, poros ketiga yang rencananya dibentuk, hingga saat ini masih kesulitan dalam mencari figur yang sesuai dengan kriteria ideal capres.