Potensi dan risiko jika Polri berpihak pada Pemilu 2024
Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, memastikan institusinya netral pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Bahkan, kebijakan dan pedoman tersebut diatur dalam beberapa surat telegram (ST) yang diterbitkannya, salah satunya ST Nomor 2407/X/2023.
Guna memastikan arahan ini berjalan, Sigit mengklaim, telah mengerahkan Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri membuka layanan pengaduan bagi masyarakat yang menemukan pelanggaran netralitas oleh polisi. Selain itu, membuat video sosialisasi, deteksi dini, patroli siber, hingga pengawasan kepada seluruh personel.
"Pengamanan yang melaksanakan pengamanan pemilu [adalah] timsus (tim khusus), [yang] terdiri dari Paminal (Pengamanan Internal Polri)-Provos," ujarnya, Rabu (27/12). Ketentuan tentang netralitas Polri juga tertuang dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
"Jika ada personel yang terbukti tidak netral, silakan dilaporkan melalui berbagai pengaduan yang ada beserta bukti-buktinya," imbuh Sigit. "Pasti akan kami tindak lanjuti sesuai prosedur."
Ini adalah penekanan Kapolri yang kesekian kalinya tentang netralitas Polri pada Pemilu 2024. Untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran, Komisi III DPR sempat mewacanakan pembentukan Panitia Kerja (Panja) Netralitas Polri.
"Nanti akan dibentuk panja pengawasan pemilu, khusus karena pemilu itu adalah sebuah kegiatan yang 'mengguncang' seluruh rakyat Republik. Enggak ada kegiatan lain kecuali pemilu nasional," ujar Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto, dalam rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, 15 November lalu.
Potensi Polri berpihak
Akademisi Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad, menilai, potensi kepolisian melakukan penyimpangan, termasuk berpihak pada Pemilu 2024, sangat besar. Ia meyakini hal ini setelah menyaksikan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh Kadiv Propam Polri kala itu, Ferdy Sambo.
"Setelah peristiwa Sambo, tuh, kelihatan sekali bahwa kepolisian, oknum-oknumnya punya potensi untuk melakukan penyimpangan," tegasnya. Atas perbuatannya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memvonis hukuman mati kepada Sambo.
Menurutnya, kekhawatiran publik atas ketidaknetralan Polri pada Pemilu 2024 cukup beralasan. Pangkalnya, "Korps Bhayangkara" memiliki posisi strategis, apalagi posisinya berada di bawah presiden sebagaimana yang diterapkan di China.
"Dengan posisi kapolri pusat yang sangat besar dan strukturnya di bawah presiden itu lebih tinggi dari TNI dan juga lebih tinggi dari jaksa agung-mendagri karena dia punya posisi yang sangat kunci," jelasnya.
Alasan kedua, putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, menjadi kontestan dan berpasangan dengan Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Akibatnya, peluang kepolisian untuk berpihak memungkinkan.
Kemudian, nilai-nilai sipil yang digaungkan sejak reformasi belum terinternalisasi dengan baik di tubuh kepolisian. Masyarakat pun beranggapan polisi masih bersikap represif bahkan militeristik dalam kehidupan sosial politik.
Bagi Herdi, komitmen untuk netral tidak cukup hanya disampaikan melalui kata-kata. Namun, dibuktikan di lapangan. "Supaya kepercayaan publik tetap terjaga."
Ia mengingatkan, pembelahan sosial ekses Pemilu 2024 dapat dieliminasi jika kepolisian dan aparatur negara netral. Dengan begitu, tidak mengulang sejarah kelam pada 2019.
Pengamat kepolisian, Sidratahta Mukhtar, menambahkan, upaya mendemokratisasi Polri yang berlangsung sejak reformasi dilakukan karena termasuk institusi yang sukar dikontrol. Ia mencontohkan dengan fenomena di negara lain, sekalipun memiliki sistem yang berbeda dengan Indonesia, kepolisian setempat sulit diatur.
"Apakah itu kepolisian KGB (Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti) di sistem komunis (Uni Soviet, red), atau sistem yang meletakkan sistem kepolisian dalam satu wadah bersama sebagai unsur criminal justice dan keamanan seperti kepolisian di Jepang, atau dalam model di Amerika Serikat, di mana Amerika menganut the most decentralized police di dunia karena dia ada lebih dari 2.000 jenis polisi: ada polisi kriminalnya sendiri, kemudian ada kepolisian-kepolisian yang didesain di kongres, congressional police, di kota ada polisi yang diletakkan dalam kerangka keamanan dalam negeri, di bidang hukumnya sendiri," tuturnya.
Kedua, kepolisian termasuk lembaga yang agak rumit dalam ketatanegaraan. Karena ia berada di bawah presiden, maka masuk rumpun eksekutif di bidang keamanan dan hukum. "Tapi, kalau dilihat dari fungsi-fungsi, bagian dari criminal justice system," ujar akademisi Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini.
Upaya menjaga netralitas
Sidratahta melanjutkan, perlu meningkatkan akuntabilitas dan pengawasan terhadap peran kepolisian guna memastikan wibawa institusi terjaga, termasuk netral pada pemilu. Katanya, sekitar 70% dari total peran kepolisian di Indonesia saat ini cenderung pada pelayanan. Artinya, mengalami perluasan atau melebar dari tugas utamanya. "Di situlah letak objektivikasi tingkat pengawasan yang ditingkatkan menjadi lebih penting."
Seperti Herdi, bagi Sidratahta, perlu tindakanya nyata untuk membuktikan polisi tidak berpihak pada kontestasi politik. Apalagi, jika peran pengawasan publik tidak efektif.
"Kalau masyarakat sipil tidak punya fungsi opposite yang efektif atau bahkan berpotensi untuk membiarkan, maka peningkatan ancaman pemilu dalam pengertian eskalasi problem kejahatan atau pelanggaran hukum pemilu itu akan [besar] seiring dengan semakin berkurangnya kontrol masyarakat terhadap kontrol lembaga-lembaga aparatur keamanaan, yang di dalam perspektif Weberian, harus mengedepankan netralitas dan netralitas memiliki ukuran-ukuran berdasarkan prinsip hukum atau konstitusi yang kita anut," ulasnya.
Selain itu, perlu komitmen kuat dari pimpinan kepolisian untuk tetap netral. Dengan begitu, meminimalisasi adanya penyimpangan kekuasaan (abuse of power).