Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai NasDem hampir pasti bergabung koalisi parpol pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran) di Pilpres 2024. Tanpa merinci, Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo mengungkap sudah ada jatah menteri bagi dua parpol itu jika resmi bergabung.
"Sama sekali enggak ada (kekhawatiran jatah menteri berkurang karena bergabungnya PKB dan NasDem) karena kita-kita sudah dapat gambaran dari Prak Prabowo. Jadi, katakanlah kuota kita enggak akan terganggu," kata Dradjad seperti dikutip dari Kompas.id, Jumat (26/4) lalu.
Tak hanya PKB dan NasDem, Koalisi Indonesia Maju (KIM) juga membidik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PDI-Perjuangan untuk bergabung di pemerintahan Prabowo-Gibran. Lobi-lobi dilancarkan elite-elite politik dari KIM untuk merayu kedua parpol itu.
Meski begitu, tak semua petinggi KIM setuju dengan upaya membentuk koalisi tambun di pemerintahan Prabowo-Gibran. Ketua Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengingatkan agar Prabowo memperhatikan kesolidan koalisi sebelum mengajak parpol-parpol lain bergabung.
"Bukan hanya besar-besaran koalisi, tapi juga setia. Karena dalam perjalanannya, kita tahu awalnya kompak, tetapi kemudian di tengah jalan bisa rontok satu per satu," kata AHY kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (24/4).
Di Pilpres 2024, PKB, NasDem, dan PKS adalah parpol pengusung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN). Demokrat punya riwayat buruk dengan NasDem dan PKB. Di menit-menit akhir pendaftaran calon presiden, jatah cawapres buat AHY dibajak oleh Cak Imin.
Sebelum PKB masuk, Anies didukung NasDem, Demokrat, dan PKS. Pede bakal digandeng sebagai cawapres Anies, Demokrat sempat memajang baliho Anies-AHY di berbagai daerah. Namun, Anies malah menggandeng Cak Imin yang baru bergabung. Drama "pengkhianatan" itu disebut-sebut diorkestrasi Ketum NasDem Surya Paloh.
Usai dikhianati, Demokrat hengkang dari koalisi dan berbabung dengan KIM. Baliho-baliho Anies-AHY diturunkan. Sebagai gantinya, Demokrat memajang baliho Prabowo dengan AHY atau Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam sejumlah kesempatan, SBY juga turun gunung untuk mengampanyekan Prabowo.
Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak menganggap wajar jika Demokrat tak begitu senang menyambut kehadiran Nasdem dan PKB di KIM. Pasalnya, Nasdem dan PKB tidak berkeringat memenangkan Prabowo-Gibran.
"Sehingga tidak punya dasar moral untuk bergabung dalam pemerintahan. Apalagi, minta jatah menteri. Ini (kehadiran PKB dan NasDem) potensial meletupkan konflik di internal pemerintahan," kata Zaki kepada Alinea.id di Jakarta, Jumat (26/4).
Meskipun potensial menimbulkan friksi, menurut Zaki, Prabowo punya pertimbangan khusus dengan menarik Nasdem dan PKB. Kedua parpol itu diharapkan menjadi penyeimbang Golkar yang terlihat dominan di lingkaran kekuasaan.
"Mungkin saja Prabowo punya kalkulasi politik lain yang pragmatis. Masuknya Nasdem dan PKB berguna sebagai penyeimbang Golkar yang tampak sangat dominan. Apalagi, jika Jokowi nantinya benar gabung ke Golkar," ucap Zaki.
Lebih jauh, Zaki berharap PDI-P dan PKS tak tergoda bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran dan setia di barisan oposisi. Menurut Zaki, pemerintahan tanpa oposisi potensial marak diwarnai penyelewengan kekuasaan dan koruptif.
"Parpol yang tersisa, PDIP dan PKS, istiqomah mengambil jalan oposisi. Dengan cara itu, keduanya telah berkontribusi besar menyelamatkan demokrasi dari sesat pikir politik bernuansa fasistik yang dapat mematikan api demokrasi,"ucap Zaki.
Analis politik dari Universitas Brawijaya (Unibraw) George Towar Ikbal Tawakkal berpendapat Prabowo sudah punya kalkulasi risiko saat menarik Nasdem dan PKB ke pusaran kekuasan. Meskipun paham Demokrat kecewa, menurut Ikbal, Prabowo paham friksi antara ketiga parpol itu tak akan berujung pecah kongsi.
"Sebagai contoh, ketika Partai Golkar menduduki Ketua DPR RI pada 2014 yang lazimnya milik PDI-P sebagai pemenang pemilu, itu tampak menghadirkan kekecewaan bagi PDI-P. Toh, mereka kemudian duduk bersama dalam koalisi pemerintahan Jokowi di periode pertama," kata Ikbal kepada Alinea.id.
Sepanjang era Reformasi, menurut Ikbal, tak ada perselisihan antar parpol di koalisi pemerintahan yang akhirnya menimbulkan perpecahan besar. Ia meyakini pertikaian antarparpol di tubuh koalisi tidak akan mengganggu jalannya pemerintahan ke depan. Meskipun sakit hati, Demokrat akan bertahan di dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Kabinet akan baik-baik saja dengan Demokrat, Nasdem, dan PKB di dalamnya. Partai Demokrat tidak akan keluar dari koalisi. Ketegangan antar partai akan mengisi di luar ruang kabinet. Artinya, mereka tidak akan menjadikan koalisi dan kabinet sebagai ring tinju," jelas Ikbal.