Tingkat keterpilihan perempuan di Pilkada Serentak 2018 masih rendah. Dari 342 kepala dan wakil kepala daerah terpilih, hanya ada 31 kandidat perempuan yang berhasil meraih kemenangan, atau hanya 9,06% saja.
Deputi Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Agustyati mengatakan, dari total jumlah itu, sekitar 14 di antaranya terpilih sebagai kepala daerah. Adapun 17 perempuan lainnya terpilih sebagai wakil kepala daerah.
"Mereka terpilih dengan rata-rata kemenangan 46,84%," kata perempuan yang akrab disapa Nisa saat diskusi "Potret Keterpilihan Perempuan pada Pilkada 2018" di Media Center KPU RI, Jakarta, Rabu (1/8).
Dia merinci, 31 kandidat perempuan itu menang di 31 daerah atau 18,13% dari seluruh daerah yang menggelar Pilkada. Tiga orang meraih kemenangan di tingkat Provinsi, dengan rincian satu orang gubernur dan dua orang wakil gubernur.
Sekitar 19 orang terpilih di tingkat Kabupaten, yaitu 10 orang menjadi Bupati, dan 9 lainnya Wakil Bupati. Di tingkat kota, ada 9 orang perempuan yang terpilih, tiga orang menjadi Wali Kota, sementara enam lainnya Wakil Wali Kota.
Nisa mengatakan, jumlah keterpilihan kandidat perempuan ini cenderung stagnan, jika dibanding dengan hasil Pilkada sebelumnya. Pada pelaksanaan Pilkada 2015, hanya ada 8,7% perempuan yang meraih kemenangan. Sementara pada 2017, ada sekitar 5,9% perempuan yang menang.
Jika dibandingkan dengan 101 perempuan yang mendaftar sebagai calon kepala daerah, hanya 30,69% perempuan yang bisa memenangkan Pilkada.
Angka keterpilihan tersebut juga cenderung stagnan dari pilkada sebelumnya. Di Pilkada 2015, angka keterpilihannya 37,1% dan di Pilkada 2017 angka keterpilihannya 26,67%.
Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menjadi partai yang terbanyak meraih kemenangan dari kandidat perempuan yang diusung.
Para perempuan yang terpilih, didominasi oleh mereka yang mempunyai jaringan kekerabatan, kader partai, mantan dan anggota legislator, serta petahana.
"Empat hal tersebut secara konsisten mendominasi latar belakang perempuan kepala dan wakil kepala daerah terpilih dari pilkada ke pilkada," kata Nisa.
Menurutnya, hal ini menunjukkan sempitnya basis rekrutmen partai politik, karena partai tak memiliki suplai kader perempuan yang memadai.
Bagi Nisa, kecenderungan tersebut terjadi karena partai tak punya mekanisme perekrutan anggota yang inklusif dan terbuka. Partai tidak memilih kadernya sebagai calon kepala dan wakil kepala daerah berdasarkan pertimbangan ideologis, tetapi lebih mementingkan pertimbangan popularitas dan elektabilitas calon. Akhirnya, partai hanya menempatkan perempuan dengan elektabilitas tinggi untuk diusung ke Pilkada.