Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Achmad Baidowi, berkeberatan jika DPR dicap lembaga terkorup di Indonesia. Asumsinya, penilaian tersebut berdasarkan persepsi publik yang terekam dalam survei, sementara pandangan itu acapkali bertolak belakang dengan realitas.
"Ya, memang namanya hasil survei, kan, tidak bisa dari lepas siapa yang melatarbelakangi. Sekarang seringkali menyatakan lembaga terkorup adalah DPR," katanya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (26/8).
Hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) oleh Transparency International Indonesia (TII) pada Desember 2020 menyimpulkan, DPR menjadi lembaga terkorup di Tanah Air dengan 51%. Temuan ini diklaim sejalan dengan tren di Asia, di mana parlemen menjadi institusi publik yang paling korup.
Pejabat pemerintah daerah (pemda) berada di urutan kedua sebagai pihak yang dianggap korup dengan 48%, disusul pejabat pemerintahan (45%), polisi (33%), pebisnis 25%, hakim/pengadilan (24%). Berikutnya, presiden/menteri (20%), LSM (19%), bankir (17%), TNI (8%), dan pemuka agama (7%).
Awiek, sapaan akrab Baidowi, mengaku, menyangsikan persepsi publik yang menyebut DPR lembaga terkorup. Menurutnya, harus ditegaskan apa itu defenisi korupsi agar publik tahu sejauh mana kerugian yang ditimbulkan.
"Kita mengorupsi uang rakyatnya, terus definisi korupsi itu apa? Kan, ada unsur kerugian negara di situ," jelasnya. "Di aspek mana DPR merugikan keuangan negara, kok, diambil kesimpulan DPR sebagai lembaga terkorup?"
Baginya, juga harus ada indikator yang jelas untuk mengukur DPR sebagai lembaga terkorup. Ketimbang parlemen, jumlah pejabat eksekutif yang terlibat perkara korupsi dan kerugian yang ditimbulkan disebutnya jauh lebih besar.
"Mengukur lembaga DPR sebagai lembaga terkorup itu dari apa? Berapa uang yang dicuri DPR? Apakah mengukur dari banyaknya jumlah anggota DPR yang terjerat kasus korupsi? Dibandingkan orang di ekesekutif, lebih banyak mana? Termasuk jumlah kerugian yang ditimbulkan, lebih banyak mana? Itu kan harus fair," tuturnya.
"Karena apa? Yang diteropong itu persepsi publik bukan kenyataan di lapangan. Mengukur indikatornya saya belum ketemu sampai sekarang," tandas Awiek.