Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saiful Mujani menyebut, ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold (PT) yang berdasarkan pada hasil pemilihan anggota DPR menyimpang dari prinsip presidensialisme.
Saiful Mujani menjelaskan, dalam sistem presidensial yang sebenarnya, tidak ada hubungan antara hasil pemilu legislatif dengan syarat pencalonan presiden dan tidak ada ambang batas pencalonan presiden atas dasar hasil pemilu legislatif, sehingga seharusnya ada lebih banyak figur yang bisa masuk dalam pemilihan presiden.
Saiful mencontohkan pada pemilihan presiden di Prancis yang baru selesai, jumlah calon presidennya 12 pasangan. Padahal Prancis tidak menganut sistem presidensial murni, mereka menganut sistem semi presidensial, campuran antara parlementarisme dengan presidensialisme. Itu pun pencalonan presidennya cukup terbuka.
"Tidak ada threshold yang besar seperti di Indonesia. Walaupun yang dimuat oleh media hanya Macron dan Le Pen, tetapi sebenarnya ada 12 pasangan calon," kata Saiful dalam keterangan pers, Kamis (12/5).
Di Amerika Serikat, lanjutnya, negara yang menjadi model sistem presidensialisme dunia, syarat untuk menjadi calon presiden cukup sederhana. Yakni, yang penting dia kelahiran Amerika, tinggal tetap di Amerika minimal 14 tahun, berumur minimal 34 tahun, dan tidak melakukan tindakan kriminal.
"Tidak ada syarat lain, misalnya harus dari partai politik, apalagi partai politik dengan jumlah kursi tertentu di Kongres atau DPR seperti di Indonesia. Bisa begitu saja seseorang menyatakan diri sebagai calon presiden. Kalau dia menghabiskan dana lebih dari 5.000 dollar dalam kampanye, maka ia diharuskan daftar ke KPU. Begitu sederhana," ucap Saiful.
"Pada pemilihan Presiden Amerika Serikat terakhir, pada 2020, yang banyak diketahui hanya Trump melawan Biden, padahal calon yang maju ada 36 pasangan," sambung dia.
Guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri ini menyatakan, secara konstitusional, peluang untuk memperluas pencalonan presiden ada. Alasannya threshold 20%, 15%, 4%, atau 0% tidak tercantum di dalam konstitusi.
"Itu adalah aturan dalam undang-undang. Itu merupakan tafsiran politik DPR terhadap konstitusi. Dalam konstitusi, hanya ada pernyataan bahwa calon presiden diusulkan oleh partai politik. Partai politik pengusul harus sebesar apa, tidak ada ketentuannya di konstitusi," kata dia.
Menurut Saiful, kata-kata "diusulkan oleh partai politik" diterjemahkan oleh partai-partai politik di DPR menjadi harus 20%, sebelumnya pernah lebih kecil, 15% pada Pilpres 2004. Saiful melanjutkan bahwa akibat tingginya presidential threshold, 20%, maka peluang untuk mendapatkan calon-calon yang lebih "fresh" atau yang lebih diharapkan menjadi terbatas.
Lebih jauh, Saiful Mujani ini menjelaskan bahwa dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), calon independen dibolehkan. Pangkalnya, konstitusi menyatakan bahwa gubernur, wali kota, dan bupati dipilih secara demokratis. Tidak ada kata-kata diajukan oleh partai. Sementara untuk presiden, konstitusi menyebut secara spesifik harus diajukan oleh partai politik.
Menurut dia, fakta bahwa pilkada membolehkan calon independen, pada pilpres harusnya lebih boleh lagi. Kata Saiful, hirarki atau tingkat pentingnya mestinya pada pemilihan presiden lebih tinggi dibanding pada pemilihan kepala daerah. Mestinya inklusivitas pemilihan presiden lebih kuat dibanding pilkada hingga punya legitimasi demokratik lebih kuat. Kenyataannya tidak. Di situ ada persoalan dalam konstitusi kita.
"Okelah sebagai sebuah kompromi, calon presiden diajukan oleh partai politik, tapi jangan dengan ambang batas 20 persen, dong," tegasnya.
Menurut Saiful, karena tidak ada aturan yang eksplisit di konstitusi tentang keharusan threshold, calon presiden cukup diajukan oleh partai politik, yakni partai manapun yang diakui oleh negara, yang terdaftar di Menkumham. Bahkan partai-partai yang tidak lolos ke Senayan pun seharusnya punya hak untuk mencalonkan seseorang jadi presiden seperti di negara-negara lain yang menganut sistem presidensial yang normal.
Indonesia menganut sistem presidensialisme, tetapi didikte oleh parlemen atau partai politik. Dalam sistem presidensial seperti yang dianut Indonesia atau Amerika Serikat, eksistensi presiden itu independen dari parlemen sejak ia menjadi calon.
"Tidak boleh tunduk pada parlemen. Presiden seperti parlemen secara langsung bertumpu pada rakyat, dipilih langsung oleh rakyat, mendapat mandat langsung dari rakyat," pungkas dia.