adan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah berencana mengebut pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan RUU Kementerian Negara. Jika tidak ada aral melintang, dua RUU kontroversial itu bakal diketok di rapat paripurna DPR pekan depan.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengatakan DPR berniat mengesahkan dua RUU itu berbarengan dengan RUU Keimigrasian. Ia mengungkap kemungkinan ketiga RUU itu tak disahkan jika mayoritas anggota DPR tak setuju.
"Meskipun kita sudah bikin bagus-bagus, kuncinya nanti di paripurna. Kalau ternyata paripurna tidak menyetujui, ya, tidak disetujui semua. Atau paripurnanya batal, ya, tidak jadi undang-undang," ujar Awiek, sapaan akrab Baidowi, kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9).
Revisi RUU Wantimpres dan RUU Kementerian Negara sebelumnya banjir kritik. Dalam draf revisi, nomenklatur Wantimpres diganti menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). RUU Wantimpres membolehkan presiden dalam menentukan jumlah anggota DPA tanpa ada pembatasan. Presiden juga berwenang untuk memilih ketua dewan tersebut dan menggantinya sewaktu-waktu.
Adapun dalam RUU Kementerian Negara yang baru, presiden diberi wewenang menentukan jumlah kementerian sesuai dengan kebutuhan. Aturan tersebut dinilai untuk mengakomodasi bagi-bagi kue kekuasaan oleh Prabowo Subianto selaku presiden terpilih.
Saat ini, Prabowo-Gibran didukung Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang terdiri dari Gerindra, Golkar, Demokrat, Partai Amanat Nasional dan sejumlah parpon nonparlemen. Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga diisukan bakal segera bergabung di KIM.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto menyebut kedua RUU itu tak urgen untuk segera disahkan. Menurut dia, substansi kedua RUU itu tak berhubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak.
"Akan lebih banyak negatifnya kalau dibentuk atau dijadikan pada akhir periode masa jabatan DPR maupun presiden. Kan 20 Oktober (masa jabatan Jokowi) sudah selesai. Ya, jadi mereka akan tergesa-gesa. Meaningful participation-nya akan sangat minim, ya,” kata Aan kepada Alinea.id, Kamis (12/9).
Kejar tayang kedua RUU itu, kata Aan, mengindikasikan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk turut mempengaruhi jalannya pemerintahan. Jokowi disebut-sebut bakal menduduki posisi terhormat di DPA nanti.
Jika situasi itu terjadi, menurut Aan, akan ada dua matahari kembar di pemerintahan. Dari sisi anggaran, pemerintah juga bakal kewalahan untuk mengakomodasi membengkaknya jumlah anggota DPA dan kementerian negara.
“Seharusnya ini perdebatan antara DPR dan presiden yang baru, bukan yang lama ini ikut-ikutan begitu. Akan lebih bijak kalau begitu. Nah apa dampak yang mungkin terjadi pada pemerintahan? Pertama, budgeting. Anggaran akan terhambur-hamburkan," kata dia.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Wicipto Setiadi punya pendapat lain. RUU Wantimpres, misalnya, bisa bermanfaat jika tujuannya memang untuk meningkatkan peran Wantimpres di pemerintahan.
"Selama ini kan Wantimpres tidak punya sumbangan atau kontribusi besar terhadap presiden karena memang itu namanya Dewan Pertimbangan Presiden, jadi (rekomendasinya) tidak mengikat. Pertimbangan bisa diambil boleh tidak,” ucap Wicipto kepada Alinea.id, Kamis (12/9).
Adapun RUU Kementerian Negara, menurut Wicipto, bisa efektif jika nantinya kementerian-kementerian baru didirikan sesuai dengan program-program yang direncanakan Prabowo-Gibran. Dengan catatan, kementerian-kementerian itu diisi oleh orang-orang yang profesional.
Tak seperti era Jokowi, menurut Wicipto, para ketua umum sebaiknya "dikumpulkan" di DPA. Dengan begitu, tidak terbangun persepsi Prabowo memberikan peluang bagi para ketua umum mencari dana operasinal di kementerian-kementerian. Apalagi, banyak menteri dengan latar belakang kader partai yang terjerat korupsi.
“Ketua partai itu harusnya di Wantimpres, jangan dijadikan menteri-menteri. Jadi, bisa lebih efektif untuk kasih masukan karena bisa langsung koordinasi. Dibandingkan hanya sekadar jadi menteri yang akhirnya hanya mencari dana. Jadi, menteri diisi oleh profesional,
sementara ketua partai isi Wantimpres,” ujarnya.