close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Prabowo Subianto berfoto bersama para menteri Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/10). /Foto Instagram @prabowo
icon caption
Presiden Prabowo Subianto berfoto bersama para menteri Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Senin (21/10). /Foto Instagram @prabowo
Politik
Selasa, 22 Oktober 2024 11:56

Problem koordinasi dan anggaran di kementerian gemuk Prabowo

Prabowo bakal direpotkan dengan urusan menyiapkan anggaran, membagi kantor, menyusun struktur kementerian baru, dan merampingkan birokrasi.
swipe

Bermodal revisi No. 39/2008 tentang Kementerian Negara, Presiden terpilih Prabowo Subianto akhirnya menambah sejumlah kementerian baru di pemerintahannya.Total ada 48 kementerian baru di Kabinet Merah Putih. Tujuh di antaranya ialah kementerian koordinator (kemenko) dan sisanya kementerian teknis. 

Sebagian besar kementerian baru itu lahir dari pemekaran kementerian sebelumnya. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, misalnya, dipecah menjadi Kementerian Pariwisata dan Kementerian Ekonomi Kreatif. Pada level kemenko, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) kini dibelah menjadi Kemenko Politik dan Keamanan, serta Kemenko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Kemasyarakatan.

Eks Wasekjen Partai Golkar Sebastian Salang mengatakan keputusan Prabowo menambah jumlah memiliki beragam konsekuensi yang serius. Selain anggaran operasional pemerintah pusat yang akan membengkak signifikan, Prabowo juga bakal direpotkan dengan urusan membagi kantor, menyusun struktur kementerian baru, dan birokrasi.

Persoalan-persoalan itu, kata Sebastian, tidak bisa selesai dalam waktu singkat. Di lain sisi, pelayanan terhadap publik juga bakal terganggu karena memanjangnya rantai birokrasi. Pembuatan keputusan di tingkat kementerian juga bisa pelik karena problem koordinasi antarmenteri. 

“Meskipun dengan pemekaran kementerian ini, ada argumentasi yang mengatakan bahwa pekerjaannya akan lebih terfokus dan lebih cepat direspons serta diselesaikan,” kata Sebastian kepada Alinea.id, Sabtu (19/10).

Sebastian pesimistis kementerian-kementerian baru itu bisa bekerja cepat. Kinerja kementerian hanya bisa efektif dan efisien jika Prabowo memiliki kemampuan untuk mengontrol para menterinya dan ego sektoral kementerian bisa dikesampingkan. 

"Faktanya, dengan jumlah kementerian yg terbatas saja, proses koordinasi lintas kementerian sangat sulit menyebabkan sejumlah kebijakan strategis nasional tidak berjalan," kata eks Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) itu. 

Lebih jauh, Sebastian mengakui bahwa pembengkakan jumlah menteri merupakan upaya Prabowo mengakomodasi partai pengusung dan tim yang mendukung. Masyarakat pun dianggap hanya bisa berharap agar kabinet yang gemuk ini bisa bergerak cepat.

"Semoga kabinet yang gemuk ini bisa mengeksekusi pikiran dan program yang dijanjikan Prabowo. Satu tahun pertama ini merupakan ujian awal baginya. Jika ia tidak bisa membuktikannya, Prabowo akan di-bully oleh pendukungnya sendiri dan publik umumnya,” ujarnya.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan tak yakin pemecahan kementerian berbasis kebutuhan negara sebagaimana dalih Prabowo. Menurut dia, ada banyak kementerian yang semestinya tak perlu dipecah. 

Ia mencontohkan Kemenparekraf. Di luar negeri, kementerian yang mengurusi pariwisata dan ekonomi kreatif lazimnya dipecah. Namun, pemecahan semacam itu belum perlu dilakukan di Indonesia lantaran ekonomi kreatif masih belum berkembang pesat. 

“Di luar negeri juga seharusnya bisa terpisah. Tetapi, karena kita punya (ekonomi kreatif) tidak begitu besar. Jadi, apakah itu memang perlu kementerian tersendiri? Kan gitu,” kata Anthony saat ditemui Alinea.id di kawasan Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Anthony meragukan kemampuan APBN untuk mengakomodasi program-program maupun kebutuhan dari kementerian yang gemuk seperti itu. Ruang gerak APBN saat ini, kata Anthony, sangat sempit karena komposisi belanja rutin sangat besar mencapai sekitar 86-88% dari total anggaran pengeluaran pemerintah pusat. 

"Misalnya, belanja pegawai, belanja barang termasuk biaya pemeliharaan, pembayaran bunga utang, subsidi, hingga bantuan sosial.  Itu pun sudah termasuk utang dari defisit anggaran yang pada tahun 2023 mencapai sekitar Rp337 triliun atau sekitar 15% dari total pengeluaran pemerintah pusat," jelasnya. 

Dibebani kementerian yang gemuk, Anthony pesimistis Prabowo bisa mengeksekusi program-program yang ia janjikan selama kampanye, termasuk di antaranya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan.

Bukan tidak mungkin, kata Anthony, pemerintahan Prabowo mengorbankan anggaran untuk bantuan sosial. “Bahkan kondisi sosial selama lima tahun belakangan ini malah memburuk. Belanja subsidi dan bantuan sosial seharusnya naik di era pemerintahan Jokowi saja malah dipangkas,” ujar Anthony. 


 

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan