close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Elite-elite parpol mulai mewacanakan rencana mengembalikan sistem proporsional tertutup. Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Elite-elite parpol mulai mewacanakan rencana mengembalikan sistem proporsional tertutup. Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan
Politik
Kamis, 12 Desember 2019 19:58

Proporsional tertutup: Renggut daulat rakyat, tumbuhkan oligarki

PDI-P dan Gerindra diyakini bakalan paling getol mengampanyekan sistem pemilu peninggalan Orde Baru itu.
swipe

Wacana mengembalikan pemilihan umum (pemilu) menggunakan sistem proporsional tertutup kembali mengemuka. Duet PDI-Perjuangan (PDI-P) dan Golkar menjadi motor wacana mengembalikan sistem pemilu era Orde Baru itu di parlemen. Belakangan, rencana itu juga didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan sejumlah parpol lainnya. 

Anggota Komisi II DPR dari fraksi PDI-P Komarudin Watubun mengatakan, rencana mengembalikan sistem pemilu ke proporsional tertutup disepakati internal partai berlambang moncong putih itu pada Kongres V PDI-P di Bali, Agustus lalu.

"Pemilu yang terbuka dan liberal seperti ini jadi persoalan. Di satu sisi, rakyat menuntut anggota DPR harus berkualitas. Tapi, karena pemilihannya siapa yang duitnya banyak yang menang, itu menyulitkan kami di partai politik," ujarnya kepada Alinea.id di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/12).

Dalam sistem proporsional tertutup, calon anggota legislatif (caleg) ditentukan berdasarkan nomor urut yang disusun partai politik. Semakin kecil nomor urut yang dimiliki caleg, makin besar peluangnya menjadi anggota dewan. 

Adapun pada sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini, sistem nomor urut tidak berlaku. Semua kader yang tercantum namanya dalam surat suara memiliki peluang yang sama untuk melenggang ke Senayan atau Gedung DPRD setempat. 

Meskipun telah diadopsi sejak 2004, menurut Komarudin, sistem proporsional terbuka memiliki berbagai kekurangan, semisal melahirkan politik uang dan persaingan politik yang tidak sehat antarkader di parpol yang sama. "Akibatnya kader partai yang bagus, tapi karena tidak punya biaya susah lolos ke DPR," imbuh dia. 

Namun demikian, diakui Komarudin, sistem proporsional tertutup juga tak luput dari kekurangan. Salah satu yang dikhawatirkan ialah nomor-nomor cantik dialokasikan kepada kader-kader kesayangan pimpinan parpol. 

Karena itu, ia mengatakan, PDI-P akan membidik revisi Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) terlebih dahulu. Revisi diarahkan untuk membangun proses kaderisasi dan rekrutmen yang transparan di parpol. "Termasuk nanti yang proporsional tertutup itu di situ perdebatannya," kata dia. 

Anggota Komisi II dari fraksi PKS Mardani Ali Sera mengatakan, PKS bakal mendorong sistem pemilu dikembalikan ke model proporsional tertutup. Menurut dia, sistem proporsional terbuka yang dijalankan selama ini melemahkan peran partai politik. 

"Proporsional tertutup (bakal) menguatkan peran parpol. Selama ini pelaksana utama dalam proporsional terbuka adalah para caleg. Padahal, UUD (1945) kita menyatakan peserta pemilu adalah partai politik," ujar Mardani. 

Mardani juga sepakat perubahan sistem pemilu diawali revisi UU Parpol. Menurut dia, revisi UU Parpol penting untuk penguatan kelembagaan parpol dan membangun mekanisme rekrutmen caleg yang mumpuni. "Termasuk (mendorong) dilaksanakan pemilu internal di partai," ujar dia.

Jika PKS dan PDI-P membidik UU Parpol, Golkar justru tengah mengkaji penerapan mekanisme proporsional tertutup via revisi Undang-undang Nomor 7 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). 

Menurut Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, kajian itu merupakan langkah konkret merealisasikan rekomendasi perubahan sistem pemilu yang disepakati dalam Musyawarah Nasional (Munas) X Golkar di Jakarta, pekan lalu. 

"Di Komisi II juga sebetulnya itu (wacana mengembalikan mekanisme proporsional tertutup) menjadi alternatif yang akan dikaji," kata politikus Golkar itu.  

Suasana kampanye akbar pasangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019. /Antara Foto

Yang menolak dan yang masih gamang

Sikap berbeda ditunjukan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai NasDem menanggapi wacana tersebut. Politikus PAN Guspardi Gaus menyatakan, PAN menolak kembali ke sistem proporsional tertutup.

"PAN melihat mesti suara terbanyak yang harus dinilai. Itu sangat demokratis. Jadi, masyarakat menentukan pilihannya sesuai dengan aspirasinya. Kalau seandainya tertutup, berarti sama saja mengembalikan ke belakang," ujar dia. 

Ia pun tak sepakat jika isu politik uang dijadikan dalih untuk mengembalikan sistem pemilu ke proporsional tertutup. Menurut dia, sistem lama pun tak terbebas dari politik uang. "Money politic bakal pindah ke pimpinan partai," ujarnya.

Lebih jauh, Guspardi memaparkan sejumlah ekses buruk dari sistem proporsional tertutup. Sistem itu, kata dia, dapat membuat caleg bernomor urut buncit enggan turun ke akar rumput dan potensial membuat para konstituen pindah ke 'lain hati'. 

"Ketika jagoannya ada di nomor urut besar, seperti nomor urut 4,5,6, pemilih akan pasif dan bisa juga pindah ke partai lain. (Partai) yang lebih menjanjikan dan aspirasinya itu bisa sesuai dengan harapan mereka," jelas dia.  

Hal senada juga disampaikan anggota Komisi II dari fraksi Nasdem, Aminurokhman. Meskipun mengakui sistem proporsional terbuka lebih rawan politik uang, ia mengatakan, NasDem kurang setuju bila mekanisme pemilu kembali ke era Orde Baru. 

"Memang harus dikaji lebih dalam plus-minusnya terbuka dan tertutup. Tapi, bagi Nasdem pola terbuka jauh lebih berkualitas dalam membangun demokrasi sebab masyarakat punya ruang yang lebih leluasa untuk menentukan pilihan," ujarnya.

Terkait wacana perubahan mekanisme pemilu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bersikap lebih hati-hati. Kedua parpol pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin itu bakal mengkaji lebih dahulu wacana yang berkembang di masyarakat terkait isu itu. 

"Saya melihatnya sistem proporsional terbuka ini memang cenderung liar bahkan rantan terjadi kanibalisme calon dalam partai yang sama dalam satu dapil," ujar anggota Komisi II dari fraksi PKB Yaqut Cholil. 

Namun demikian, Yaqut mengatakan, mayoritas kader PKB tak ingin sistem pemilu diubah. "Mereka ingin tetap pada proporsional terbuka. Agar kader memiliki kesempatan yang sama duduk di lembaga perwakilan. Jadi, wakil rakyat yang benar-benar dekat dan menjadi pilihan rakyat. Bukan semata kedekatan dengan pengurus partai," tuturnya.

Dari sisi teknis, menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari, sistem proporsional tertutup bakal mengurangi kerumitan penyelengaraan pemilu. Pasalnya, KPU hanya akan mendesain surat suara sesuai logo dan nomor urut partai saja. 

Surat suara itu, kata Hasyim, berlaku untuk semua dapil, baik tingkat nasional maupun lokal. Selain mengurangi beban kerja KPU, sistem proporsional tertutup juga bakal memangkas biaya penyelenggaraan pemilu. 

"Sedangkan bila menggunakan sistem proporsional terbuka, KPU mesti mencetak surat suara meliputi tanda gambar, nama partai, nomor urut, dan nama calon serta nomor urutnya," jelas Hasyim. 

Warga melintasi mural bertema pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 di Sondakan, Solo, Jawa Tengah, Selasa (10/12). /Antara Foto

Oligarki elite 

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai elite-elite parpol bakal kian otoriter jika sistem proporsional tertutup kembali berlaku. Terlebih, kasus-kasus arogansi elite parpol masih marak terjadi pada era sistem proporsional terbuka.

Ia mencontohkan kasus pemecatan dua caleg Gerindra pemenang Pileg 2019 Ervin Luthfi dan Fahrul Rozi. Kedua caleg yang bertarung di dapil XI Jabar itu dipecat Gerindra tanpa alasan jelas, September lalu. Posisi mereka sebagai peraup suara terbesar ketiga dan keempat di dapil itu digantikan penyanyi kondang Mulan Jameela. 

"Kasus Mulan itu mengekspresikan semangat partai yang ingin menentukan siapa yang layak melenggang menuju Senayan. Ini persis proporsional tertutup di mana partai yang menentukan caleg terpilih menjadi anggota parlemen. Mulan terpilih sebagai anggota legislatif karena keputusan partai walaupun hitungan suara mestinya dia gagal," jelas Lucius. 

Mekanisme proporsional tertutup, lanjut Lucius, bakal membuat suara konstituen tidak lagi 'dihargai'. "Jumlah suara jadi tak bermakna ketika dengan kekuasaannya partai bisa meloloskan orang pilihannya sekaligus menyingkirkan figur yang meraih suara lebih banyak pada saat pemilu," ujarnya.

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor, menilai sistem pemilu proporsional tertutup bakal menumbuhkan budaya oligarki di parpol. Apalagi, ketua umum bakal berkuasa penuh menentukan susunan caleg. "Suasananya (akan) sangat sentralistik dan elitisme menjadi sangat kuat," imbuh dia. 

Lebih jauh, Firman memandang, sistem itu bakal menghambat regenerasi kepemimpinan di tubuh parpol. Bukan tidak mungkin, lanjut dia, kader-kader senior bakal diutamakan lolos ke parlemen meskipun minim kapabilitas.

"Karena nantinya bakal dikendalikan oleh ketua umum partai. Ekses-ekses representasi keterwakilan dan aspek kedekatan antara masyarakat dengan wakil rakyatnya akan semakin jauh. Pada dasarnya, masyarakat itu tidak tahu siapa yang menjadi wakil mereka nantinya," ujar dia.

Menilik lanskap politik nasional saat ini, Firman menduga, PDI-P dan Gerindra bakal menjadi dua parpol utama pengusung wacana perubahan sistem pemilu tersebut. "Pasalnya, (dua) partai ini bersifat sentralistik," jelas Firman.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Ninis Khoirunisa Agustyati menilai rencana mengembalikan mekanisme proporsional tertutup merupakan langkah mundur. Ia bahkan menyebut politik uang potensial makin menggila jika pemilu menggunakan sistem lawas. 

"Apakah dengan sistem proporsional tertutup lantas kita bisa memastikan tak ada politik uang di internal partai politik? Sebab, dengan proporsional tertutup kewenangan partai besar sekali dalam menyusun daftar calon," jelas dia. 

Menurut Ninis, sistem proporsional tertutup bukan cara ideal untuk menjaring legislator yang berintegritas. Pasalnya, sulit untuk memastikan parpol bakal transparan dan objektif dalam memilih kader-kader yang mereka usung di pileg. 

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari menilai sistem proporsional tertutup tidak cocok diterapkan di Indonesia. 

"Menerapkannya tentu membuat partai tidak berjalan demokratis. Padahal, penting bagi partai untuk tetap menerapkan gagasan demokrasi di tubuh partai," kata dia. 

Feri mengatakan, tak elok jika sistem pemilu terus diubah sesuai kepentingan segelintir elite. "Harus ada komitmen dalam sistem agar penyelenggara pemilu, peserta, pemilih, dan penegak hukum memahami sistem pemilu dengan baik. Itu semua agar juga proses demokrasi pemilu dapat berjalan dengan baik," jelasnya. 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan