Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menganggap elektabilitas Jokowi yang jalan di tempat, berkaitan dengan tugas Jokowi saat ini sebagai Presiden. Khususnya terkait dengan adanya program pemerintahan Jokowi yang belum rampung. Hal itu dianggap menjadi salah satu faktor tidak kunjung naiknya elektabilitas Jokowi.
Caleg PSI Rian Ernest mengatakan, meningkatkan elektabilitas Jokowi menjadi tugas yang tidak mudah bagi Tim Kampanye Nasional (TKN). “Berdasarkan survei diketahui masih ada PR yang harus dikerjakan,” ujar Rian dia Gedung Parlemen, Jumat (7/12).
Apalagi selama masa kampanye ini beredar banyak hoaks di masyarakat. Maraknya hoaks dianggap sebagai suatu yang memengaruhi elektabilitas Jokowi karena memberikan imbas kepada kepercayaan masyarakat.
Kendati begitu, dia optimistis dalam waktu empat bulan sebelum pencoblosan, elektabilitas Jokowi sudah melesat. Bahkan bisa memperoleh 18% suara swing voters.
TKN selalu menghindari menciptakan suasana penuh sensasi untuk merebut suara masyarakat. Pasalnya swing voters selalu bersikap kritis dan tidak mudah terpengaruh sensasi atau gimick politik.
“Kami optimis, swing voters itu meskipun sekarang belum bisa menentukan, dalam prediksi kami, sebulan menjelang Pemilu, teman-teman swing voters sudah menentukan pilihannya,” katanya.
Sementara Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio menilai, gaya komunikasi calon presiden nomor urut satu, Joko Widodo harus diubah agar elektabilitasnya tidak menurun menjelang pelaksanaan Pilpres 2019.
"Jokowi beberapa kali melontarkan ucapan yang cenderung menyerang. Kalau ini terus dilakukan, maka elektabilitas Jokowi vs Prabowo akan sama pada Februari 2019, yakni 50:50," kata Hendri.
Para calon presiden, khususnya Jokowi harus memanfaatkan juru bicara (jubir) untuk mengurangi "blunder". Harusnya Jokowi menggunakan juru bicara, sehingga kalau salah bisa di-'counter'.
Para capres menanggapi suatu peristiwa di akhir sedangkan para jubir menanggapi di awal, dengan demikian maka akan mengurangi kesalahan. Capres harus lebih hati-hati dalam menyampaikan pendapat.
Menurut dia, pertarungan Pilpres 2019 berbeda dengan 2014. Dia mencontohkan pada 2014 Jokowi memiliki banyak relawan. Namun, di Pilpres 2019, para relawannya itu sudah banyak menjadi komisaris.
"2014 Pak Jokowi memiliki relawan yang sedemikian banyak yang bisa diandalkan untuk meraih suara, nah kalau 2019 ini kan relawannya banyak yang sudah menjadi komisisaris jadi memang beliau sulit juga mengharapkan relawan itu. Makanya kasian juga Pak Jokowi," kata Hendri.
Faktor kedua adalah sosok Jusuf Kalla yang sudah tidak menjadi cawapresnya. Hendri mengatakan, Jusuf Kalla dipandang sebagai teknokrat yang secara tidak langsung bisa memberi nasihat kepada Jokowi.
Sementara itu, kemampuan Ma'ruf Amin untuk menyampaikan isu masih diragukan. Dia menilai Jokowi seperti bertarung sendiri mempertahankan prestasinya.