Publik sejak Mei 2021 hingga kini masih menolak wacana perpanjangan maupun penambahan periodisasi masa jabatan presiden. Ini tecermin dalam beberapa riset yang digelar Saiful Muhani Research and Consulting (SMRC).
"Gagasan penundaan pemilihan umum dan perpanjangan jabatan presiden bertentangan dengan aspirasi rakyat Indonesia," ujar Direktur Eksekutif SMRC, Saiful Mujani, dalam paparannya, Kamis (29/12).
Dirinya menerangkan, SMRC telah menggelar serangkaian survei pada Mei 2021, September 2021, Maret 2022, dan Oktober 2022. Dalam riset tersebut, salah satu pertanyaan yang diajukan tentang masa jabatan presiden.
Hasilnya, mayoritas publik ingin ketentuan masa jabatan presiden 2 periode dan masing-masing selama 2 tahun dipertahankan. Jika dirata-rata, maka 77% responden ingin aturan tersebut dipertahankan dan 13% lainnya mendorong perubahan.
Opsi perubahan yang didorong pun beragam. Sebanyak 43% di antaranya mau menjadi 1 periode dengan masa bakti 5 tahun, 1 periode selama 8 tahun 7%, 1 periode selama 10 tahun 4%, 3 periode dan masing-masing 5 tahun 27%, dan lebih dari 3 periode dengan masing-masing 5 tahun 17%, dan 2% lainnya tak menjawab.
Dengan demikian, menurut Saiful, mayoritas responden yang mendorong perubahan justru menginginkan masa jabatan presiden dipersempit.
Dalam survei tersebut juga didapati hasil sebanyak 59% responden menolak Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali maju pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Yang setuju hanya 36% dan 6% lainnya tidak menjawab.
Sebagai informasi, wacana Jokowi tiga periode hingga perpanjangan masa jabatan beberapa kali dilontarkan para menteri dan pendukungnya. Bahkan, beberapa pimpinan lembaga negara, seperti Ketua MPR, Bambang Soesatyo, dan Ketua DPD, LaNyalla Mattalitti.