Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah mengubah konstelasi politik di pilkada sejumlah daerah. Jelang pendaftaran, sejumlah partai politik memutuskan keluar dari koalisi yang sudah terbangun dan mencalonkan kandidat sendiri.
Di Banten, misalnya, Golkar balik arah dan mengusung Airin Rachmi Diany sebagai kandidat gubernur. Elite-elite Golkar sempat mewacanakan bakal mendeklarasikan dukungan terhadap pasangan Andra Soni-Ahmad Dimyati yang juga disokong Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus.
Namun, sikap Golkar berubah setelah Airin resmi dideklarasikan sebagai kandidat Gubernur Banten oleh PDI-Perjuangan. Pascaputusan MK, PDI-P bisa mengusung sendiri kandidat gubernur meskipun hanya mengantongi 14 kursi. Airin "dikawinkan" dengan kader PDI-P Ade Sumardi.
Di Tangerang Selatan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga keluar dari KIM plus dan mencalonkan pasangan Ruhamaben-Shinta Wahyuni. Ruhamaben ialah Wakil Ketua DPRD Tangsel dan kader PKS. Sebelumnya, PKS bersama mayoritas anggota KIM mendukung pasangan petahana Benyamin Davnie-Pilar Saga Ichsan.
Gerindra--yang jelang pendaftaran membatalkan pencalonan Ahmad RIza Patria dan Marshel Widianto--kini juga mendukung pasangan Benyamin-Saga. Minus PKS, total ada 17 parpol yang mengusung pasangan tersebut di Pilwalkot Tangsel.
Kocok ulang atau perubahan peta koalisi akibat putusan MK juga terpentas di pilkada sejumlah daerah lainnya, semisal di Pilgub Jawa Barat, Pilgub Jawa Timur, Pilwalkot Tangerang, Pilwalkot Bukittinggi, dan Pilbup Bondowoso.
Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Kholidul Adib membenarkan putusan MK nomor 60 megubah peta koalisi di pilkada berbagai daerah. Putusan tersebut memaksa KIM plus hanya fokus di beberapa daerah strategis.
"KIM plus bisa terwujud sempurna itu terjadi pada Pilgub DKI, Jateng dan Sumut. Di Jateng sendiri, KIM plus hanya terbentuk sempurna di beberapa daerah saja, semisal Kota Semarang, Boyolali, Kota Surakarta dan Karanganyar. Untuk daerah lain, cenderung dinamis," kata Kholidul kepada Alinea.id, Sabtu (31/8).
Selain putusan MK, menurut Kholidul, KIM plus tak bisa terbentuk di semua daerah lantaran dinamika politik lokal yang cenderung berbeda dengan dinamika politik di pusat. Parpol-parpol anggota KIM, misalnya, punya kader sendiri yang cukup mumpuni untuk diusung sebagai kepala daerah.
"Jadi, tidak semua putusan dari pusat yang mengondisikan daerah. Tetapi, ada juga kondisi dinamika di daerah yang berdampak pada kebijakan elite partai di tingkat pusat. Ini mengakibatkan tidak di semua daerah KIM plus itu terbentuk sempurna," ucap Kholidul.
Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusak Farhan sepakat Putusan MK nomor 60 mampu membuyarkan rencana KIM memenangkan banyak pilkada dengan strategi borong partai. Berbasis putusan tersebut, banyak parpol kecil berani berkoalisi dan mengusung pasangan sendiri.
"Risikonya, tentu koalisi di tingkat nasional ini terganggu. Ke depan, pada Pilpres 2029, daerah-daerah ini tidak bisa diharapkan untuk membantu kerja-kerja elektoral kalau kepala daerah terpilihnya bukan dari pemenang pilpres. Tapi, masih ada harapan karena pilpres masih berlaku 20 persen," ucap Yusak kepada Alinea.id.
Yusak berpendapat putusan MK semestinya bisa lebih efektif mencegah strategi borong partai jika dikeluarkan jauh lebih cepat. Berbasis hitungan KPU, saat ini ada 43 daerah yang pilkadanya bakal digelar dengan calon tunggal atau pilkada lawan kotak kosong.
"Padahal, kalau bisa jauh-jauh hari akan banyak koalisi yang pecah kongsi dan banyak muncul calon alternatif di Pilkada 2024. Sayangnya, ceritanya tidak demikian," ucap Yusak.