Putusan MK: Runtuhnya dominasi KIM Plus di Pilgub Jakarta?
Lewat putusan nomor 60/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah ambang batas atau threshold pencalonan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. MK menyatakan, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah, meski tidak punya kursi DPRD. Perhitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon, hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah masing-masing.
Putusan tersebut berasal dari permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora. Saat membacakan amar putusan di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta, Selasa (20/8), Ketua MK Suhartoyo menyampaikan, MK menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon, jika telah memenuhi persyaratan untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap hingga 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut.
Lalu, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut.
Kemudian, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi itu.
Terakhir, provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi itu.
Dalam kesempatan yang sama, hakim MK Enny Nurbaningsih mengatakan, norma Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada bisa dibilang sebagai desain pengaturan ambang batas untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai olitik peserta pemilu dengan model alternatif.
Pertama, apakah bisa memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD. Kedua, apakah dapat memenuhi 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah terkait.
Sebagai informasi, syarat jumlah perolehan suara itu sudah bisa dipenuhi PDI-P untuk mengusung pasangan calon di Pilgub DKI Jakarta, tanpa mesti berkoalisi dengan partai politik lain. PDI-P sendiri mendapatkan 850.174 suara atau 14,01% di Jakarta berdasar Pileg 2024.
Dalam video yang beredar, juru bicara Anies Baswedan, Angga Putra Fidrian mengaku bersyukur atas putusan itu. Menurutnya, dengan keputusan MK tersebut, Anies punya langkah yang lebh baik lagi untuk maju pada Pilgub DKI Jakarta 2024.
“Semoga setelah putusan MK ini, KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta) segera mengubah aturan yang berlaku agar warga Jakarta bisa memilih pasangan terbaik untuk Pilkada DKI Jakarta,” ujar Angga dalam video yang beredar, Selasa (20/8).
Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul memandang, putusan MK tersebut merupakan angin segar terhadap demokrasi. Bukan hanya bagi Anies, tetapi juga calon lain, seperti Airin Rachmi Diany di Banten, yang “terkatung-katung” akibat monopoli elite partai politik. Bahkan, pengusungan calon kepala daerah, yang tiketnya kerap dimiliki elite partai politik, kini bisa dilakukan partai politik kecil.
“Pada akhirnya, ini jadi perlawanan terhadap hegemoni dan absolutisme elite politik, seperti Anies dan Airin yang ditinggalkan,” ujar Adib kepada Alinea.id, Selasa (20/8).
Selain itu, kata Adib, MK juga membuktikan mereka tidak berpihak kepada pemerintah maupun kubu Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang terdiri dari 12 partai politik besar. Sebab, kondisi pilkada seperti di Jakarta, dengan Ridwan Kamil tanpa Anies diduga skenario KIM Plus. Ridwan Kamil sendiri sudah dipasangkan dengan politikus PKS, Suswono untuk maju Pilgub DKI Jakarta.
“MK itu sebenarnya tidak mengeluarkan putusan ini, jika berpihak (pada) kepentingan Istana,” ujar dia.
“Karena ini ‘mengacak-acak’ kepentingan Istana. MK sesuai koridornya, tidak ada campur tangan Istana dan KIM (Plus) itu sendiri.”
Terpisah, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai, secara umum konstelasi politik bisa berubah karena putusan MK ini. Masyarakat yang tadinya berpikir akan terjadi fenomena kotak kosong di beberapa daerah, masih ada peluang menjagokan calon pilihan mereka.
Sayangnya, waktu sudah sempit untuk pendaftaran calon kepala daerah. Dia pesimis bakal terjadi konsolidasi partai politik untuk mencapai kesepakatan mendukung salah satu calon, dalam beberapa hari menjelang pendaftaran.
“Pak Anies popularitasnya tinggi, tapi partainya gimana buat negosiasi?” kata Wasisto, Selasa (20/8).
“Mungkin masih ada PDI-P yang di luar KIM Plus. Masih memungkinkan PDI-P mendukung Pak Anies, tapi ini sulit untuk menarik partai lain karena KIM Plus sudah terbentuk.”
Sementara itu, pengamat politik Arifki Chaniago melihat, PDI-P akan bergerak sendirian untuk maju, bila tetap mendukung Anies. Namun, menurutnya, koalisi gemuk di KIM Plus akan terurai untuk kembali mendukung Anies. Walau kemungkinan itu sangat kecil. Menurutnya, dampak putusan MK ini bakal lebih besar pada daerah lain, selain Jakarta.
“Saya rasa putusan MK ini tidak dibaca banyak orang, (padahal) akan berdampak ke pilkada di Indonesia,” tutur dia.