Lembaga Kajian Demokrasi dan Aktivisme Masyarakat Sipil Public Virtue Research Institute (PVRI) mengecam penundaan Pemilu 2024 yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Pihak pengadilan mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan menghukum KPU untuk menunda Pemilu hingga Juli 2025.
Peneliti PVRI, Andri Nugraha mengatakan, dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 dianggap sudah cukup jelas untuk menyatakan perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan bukanlah kewenangan PN tetapi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal itu terlihat dalam pasal 10, sementara pada pasal 11 terlihat adanya ketidakwenangan PN.
"Sehingga PN harus menyatakan tidak berwenang mengadili (seperti pada pasal 11),” kata Andri dalam keterangan, Kamis (2/3).
Andri menyebutkan, putusan ini semakin menunjukan adanya kemunduran demokrasi. Apalagi sebelumnya penundaan pemilu denganperpanjangan masa jabatan presiden diwacanakan pembantu presiden dalam jajaran eksekutif, kemudian anggota DPR sebagai legislatif.
"Dan kini dilegitimasi oleh yudikatif melalui Putusan Pengadilan," ujarnya.
Terkait hal ini, Direktur eksekutif PVRI, Miya Irawati mengatakan, upaya perpanjangan kekuasaan adalah bentuk usaha pengulangan yang di orkestrasi oleh trias politika dan partai politik.
“Upaya pengulangan perpanjangan masa jabatan ini dapat terjadi karena juga didukung oleh turunnya mutu integritas elektoral di yudikatif melalui peradilan,” ujar Miya.
Menurutnya, penyelenggaraan pemilu didesain berkala 5 tahun berdasarkan UUD 1945. Kemunduran penyelenggaraan pemilu diatur dengan rigid dan ketat oleh Undang-Undang Pemilu No 7 Tahun 2017. Dengan demikian, PN Japkpus menentang ketentuan konstitusi dan Undang-Undang Pemilu ini.
“Pelanggaran/penentangan konstitusi dan UU sebagai usaha bersama yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif, yudikatif dan partai politik ini menjadi catatan sejarah kemunduran demokrasi Indonesia sejak 1998,” ujarnya.
Sementara itu, Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva mengaku kaget mendengar putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menunda Pemilu 2024 selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari.
Zoelva menyebut, kendati putusan tersebut bisa dibanding, namun perlu dipertanyakan kompetensi sang hakim dalam memutuskannya.
"Karena bukan kompotensinya (sang hakim). Jelas bisa salah faham atas objek gugatan," kata Zoelva dalam cuitannya di akun media sosial Twitter @hamdanzoelva, Kamis (2/3).
Menurutnya sengketa ini harus dipahami sebagai masalah verifikasi peserta pemilu adalah kompotensi peradilan sendiri, yaitu Bawaslu dan PTUN atau mengenai sengketa hasil di MK. Maka dari itu, tidak ada kewenangan pengadilan untuk memutuskan masalah sengketa pemilu, termasuk masalah verfikasi dan bukan kompotensinya, karena itu putusannya dianggap menjadi salah.
"Tidak bisa dibawa ke ranah perdata dengan dasar PMH," ujarnya.
Sebagai informasi, pada Kamis 2 Maret 2023, PN Jakpus mengabulkan gugatan Partai Prima yang dilayangkan pada 8 Desember 2022 terhadap KPU dengan nomor registrasi 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Melalui Putusan PN Jakpus No. 757, PN Jakpus menghukum KPU sesuai gugatan Partai Prima atas kerugian Immaterial yang dialaminya berupa pengunduran Pemilu hingga Juli 2025.