Rancangan Undang-Undang (RUU) atas Perubahan Ketiga Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk mendapat izin mengelola tambang mineral logam. Hal itu terungkap dalam rapat pembahasan RUU yang dipimpin oleh Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (20/1).
Dalam rapat yang dihadiri sejumlah tim ahli tersebut, setidaknya ada 11 poin penting yang menjadi topik pembahasan para anggota Baleg. Pada salah satu poin, tertulis rencana prioritas pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi. Selain perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan juga bakal diberikan izin mengelola WIUP.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai pemberian izin pengelolaan WIUP pada perguruan tinggi patut dipertanyakan. Apalagi, revisi UU Minerba digelar secara mendadak dan terkesan terburu-buru.
"Berbisnis tambang itu bukan tugas perguruan tinggi. Domain kampus adalah tri dharma perguruan tinggi. Dalam aktivitas tambang itu, input dan outputnya itu pasti merusak lingkungan," kata Fahmy kepada Alinea.id, Senin (20/1).
Bukan hanya tidak tepat, menurut Fahmy, pengelolaan WIUP oleh perguruan tinggi justru merugikan bagi pihak kampus. Jika menerima konsensi, perguruan tinggi bisa dianggap mengamini kerusakan lingkungan yang diakibatkan tambang.
"Belum lagi semisal terjadi ada konflik horizontal dengan konflik masyarakat sekitarnya. Masa perguruan tinggi akan terlibat dalam konflik tadi? Jadi, menurut saya, tidak tepat sekali. Jadi, menurut saya, harus di-drop atau digagalkan rencana ini," kata Fahmy.
Fahmy mengaku kager Baleg DPR tiba-tiba mengebut pembahasan RUU Minerba. Terlebih, RUU Minerba juga tidak termasuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025. Di lain sisi, ada RUU yang lebih penting untuk dibahas, yakni RUU Energi Baru dan Terbarukan.
Fahmy menduga ada skenario dari pemerintah dan DPR untuk mengkooptasi perguruan tinggi melalui agenda pemberian izin mengelola tambang. Tujuannya supaya civitas akademika tidak lagi kritis terhadap kebijkan pemerintah yang merugikan rakyat.
"Kalau nanti terjadi kerusakan lingkungan, maka perguruan tinggi akan bisa disalahkan dan tertuduh dalam kerusakan akibat tambang. Kampus bisa dituduh berkontribusi (dalam kerusakan) atau bertannggung jawab (ketika) terjadi konflik dengan masyarakat adat. Perguruan tinggi akan tertuduh juga," kata Fahmy.
Fahmy meyakini perguruan yang kritis akan menolak pemberian konsensi WIUP. "Terutama perguruan tinggi yang masih mengutamakan nurani dan kepentingan masyarakat. Saya yakin perguruan tinggi akan melawan," imbuh dia.
Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muhammad Jamil sepakat rencana pemberian konsensi tambang kepada perguruan tinggi berbau amis. Ia menduga DPR dan pemerintah sedang berupaya memanfaatkan perguruan tinggi untuk melegitimasi aktivitas tambang yang merusak lingkungan.
Pemberian konsensi, lanjut Jamil, merupakan bentuk pelecehan terhadap institusi perguruan tinggi yang seharusnya berpihak kepada masyarakat yang menjadi korban aktivitas tambang. Pemerintah juga terkesan seolah berupaya melepas tanggung jawab meningkatkan kesejahteraan para akademikus dengan "menghadiahkan" izin kelola WIUP kepada kampus.
"Ketidakbecusan negara (pemerintah) dalam menjamin kesejahteraan para akademikus hendak diselesaikan dengan cara culas, yakni membiarkan kampus menghidupi dirinya sendiri dengan cara menambang," kata Jamil kepada Alinea.id.
Jamil berpendapat revisi UU Minerba ini tidak bisa hanya dimaknai sebagai langkah mengeksekusi tiga putusan MK semata, yakni putusan tersebut yaitu putusan nomor 59/PUU-XVIII/2020, 60/PUU-XVII/2020 (pengujian formil), dan putusan nomor 64/PUU-XVIII/2020 (pengujian materiil).
Jauh dari itu, menurut Jamil, revisi UU Minerba justru terkesan sebagai bentuk siasat anggota DPR untuk mencari peluang bancakan kekayaan alam, terutama mineral tambang secara berjamaah, sistematis dan legal.
"Pembancakan kekayaan alam itu tak terlepas dari latar belakang dan kepentingan elite politik istana dan parlemen yang mayoritas di antaranya datang dari latar belakang pebisnis," kata Jamil.
Berdasarkan penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 354 anggota DPR periode 2024–2029 yang berlatar belakang pengusaha. Adapun di Kabinet Merah Putih, dari 48 menteri, sebanyak 34 berlatar belakang pebisnis. Sebanyak 15 di antaranya punya bisnis ekstraktif, termasuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang memiliki gurita bisnis nikel di Maluku Utara.
"Persoalan lainnya, para pencoleng tersebut terkesan mendompleng pasal 33 UUD 1945 demi memoles citra semata saat memprioritaskan pemberian WIUP kepada perguruan tinggi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)," kata Jamil.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai revisi UU Minerba yang saat dikebut DPR tidak urgen serta tidak tepat secara formil maupun materil. Apalagi, revisi UU Minerba tidak masuk dalam Prolegnas 2025.
"Jadi, tidak ada dasar pembahasan RUU ini. Jika menggunakan alasan kumulatif terbuka karena adanya putusan MK juga tidak tepat karena judicial review (uji materi) UU Minerba pada Desember 2024 lalu itu ditolak. Jadi, tidak ada alasan mendesak untuk revisi UU Minerba," kata Bisman kepada Alinea.id.
Bisman sepakat pemberian izin konsensi tambang kepada perguruan tinggi juga tidak tepat. "Kecuali untuk riset atau sekadar pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi. Mencampuradukan pendidikan dengan bisnis tambang jelas tidak baik bagi perguruan tinggi maupun tata kelola tambang," jelasnya.