Meski diapresiasi sebagai langkah progresif, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi penghapusan ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memunculkan beragam persoalan turunan. Salah satunya ialah potensi maraknya kandidat di Pilpres 2029.
Tanpa ambang batas pencalonan presiden, semua parpol yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta pemilu bisa mengusung kandidat mereka sendiri di Pilpres 2029. Walhasil, biaya pemilu potensial membengkak dan publik bakal "kewalahan" menghadapi terlalu banyak pilihan.
Saat membacakan putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1) lalu, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengingatkan pembuat UU melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) untuk mencegah pilpres diikuti terlalu banyak calon, tetapi tetap mempertimbangkan hak semua parpol untuk mengusung kandidat mereka sendiri.
Dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden, menurut Saldi, parpol peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol tersebut tidak menyebabkan dominasi sehingga menyebabkan terbatasnya jumlah kandidat serta terbatasnya pilihan pemilih.
"Parpol yang tidak mengusulkan pasangan calon dalam pilpres dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya. Pertimbangan kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu," ujar Saldi.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai rekayasa konstitusional sangat mungkin dijalankan via revisi UU Pemilu dan peraturan KPU sejalan dengan putusan MK. Yang mesti diperhatikan ialah rekayasa konstitusional tersebut dimaksudkan untuk mencegah munculnya koalisi dominan.
"Refleksi di Pilkada 2024, meskipun sudah ada putusan MK, tetapi masih terdapat calon tunggal di 37 daerah dan terjadi koalisi besar. Sangat disayangkan jika partai-partai tidak memanfaatkan putusan nomor 60/2024 tersebut," kata Neni kepada Alinea.id, Sabtu (11/1).
Neni berpendapat putusan MK bakal jadi ujian bagi parpol untuk menghadirkan kandidat-kandidat yang layak dicalonkan jadi pemimpin bangsa pada Pilpres 2024. Parpol harus berbenah untuk memastikan fungsi kelembagaan partai politik berjalan baik dan rekrutmen harus dilakukan secara demokratis dan terbuka.
"Sekarang ini partai diberi kesempatan. Ayo dong majukan kadernya! Ini punya waktu. Apalagi, ini jaraknya lumayan lama, sekitar tiga tahun. Makanya, partainya perlu berbenah. Ini ada waktu yang cukup," kata Neni.
Parpol dan perwakilan mereka di DPR juga mesti merumuskan aturan teknis yang tepat demi memastikan Pilpres 2029 berjalan demokratis tanpa didominasi koalisi gemuk dan kandidat bisa tersaring secara efektif. Yang tak kalah penting ialah menekan biaya pemilu dari sisi penyelenggaraan.
"Konvensi bisa saja, tetapi bagaimana aturan teknisnya agar mendorong pemilihan yang demokratis karena di Indonesia sudah ada aturan main saja banyak yang kemudian diakal-akali. Apalagi jika tidak ada. Perlu juga diatur bagaimana agar keuangan partai politik transparan dan akuntabel untuk menekan biaya politik yang mahal," kata Neni.
Direktur Pusat Studi Konstitusi, Demokrasi dan Masyarakat (SIDEKA) Fakultas Syariah UIN Samarinda, Suwardi Sagama mengusulkan agar DPR fokus memperketat persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden saat merevisi UU. Tujuannya untuk menghadirkan kandidat yang berkualitas sekaligus memangkas jumlah calon yang bakal bertarung di Pilpres 2029.
"Sejatinya ketentuan kualitas dapat dilakukan oleh DPR RI melalui norma hukum tentang pemilihan menyesuaikan putusan MK, DPR yang membentuk undang-undang dan mereka juga yang akan melaksanakannya," kata Suwardi kepada Alinea.id.
Dengan pemberlakuan persyaratan ketat, menurut Suwardi, calon-calon yang tak berkualitas bisa langsung tereliminasi. Dalam menentukan norma regulasi, DPR perlu menyusun kriteria calon presiden dan wakil berbasis sejumlah faktor, semisal mempertimbangkan keadilan bagi partai politik dan berlangsungnya pemilihan yang berkualitas.
"Serta tanpa gejolak yang terjadi, mempertegas partai yang bisa mengusung dalam batang tubuh dan tidak membuat kabur atau multitafsir," kata Suwardi.
Seleksi kandidat juga bisa dijalankan di internal parpol. Suwardi mengusulkan agar para kandidat menjalani seleksi dari sisi akademis, uji integritas, dan profesionalisme sebelum diusung jadi kandidat. Popularitas tak semata jadi pertimbangan utama.
Di luar rekayasa konstitusional, Suwardi menilai perlu ada penyelerasan sejumlah aturan terkait dengan putusan MK nomor 62. "Misalnya aturan terkait partai politik dan sebagainya diharmonisasi agar peraturan tidak bertentangan dan tidak menimbulkan masalah baru," kata Suwardi.