Rahasia di balik pertemuan ulama alumni 212 dengan Presiden
Ulama alumni 212 bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jawa Barat, pada akhir pekan lalu.
Presiden Jokowi mengakui pertemuannya dengan sejumlah alumni gerakan 212 bertujuan untuk menjalin silaturahim. "Menjalin persaudaraan, ukhuwah kita dalam rangka menjaga persaudaraan, persatuan di antara kita," kata Presiden ditemui di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada Rabu (25/4), seperti dilansir Antara, terkait pertemuannya dengan sejumlah ulama.
Foto Presiden Jokowi saat bertemu dengan pengurus Persaudaraan Alumni 212 di Masjid Istana Kepresidenan Bogor pada Minggu (22/4) bocor di media sosial. Dalam foto tersebut, tampak berjalan bersama Presiden di dalam masjid bersajadah hijau antara lain Sobri Lubis, Slamet Maarif, Al-Khaththath, dan Usamah Hisyam.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menyambut baik pertemuan antara Presiden Jokowi dengan petinggi PA 212 sebagai upaya mendapatkan dukungan sehingga seharusnya dilakukan sejak lama.
"Itu hal yang bagus, ada pertemuan dan saya mendapatkan informasi dari pertemuan itu PA 212 menanyakan apa yang menjadi janji Jokowi terutama terkait dengan akan menghentikan kriminalisasi terhadap ulama dan tokoh-tokoh yang terkait aktivis 212 itu," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Menurut Fadli, dialog yang terjadi dalam pertemuan itu sangat bagus terutama bisa disampaikan dan dijawab secara langsung. Namun, dia menilai langkah presiden itu agak telat karena dilihatnya sebagai usaha mendapatkan dukungan dari semua pihak.
Dia mengatakan para aktivis 212 mempertanyakan mengapa presiden dulu berjanji menghentikan kriminalisasi terhadap para aktivis tersebut namun kasus-kasusnya masih berlanjut Fadli mencontohkan seperti kasus yang dialami Alfian Tandjung, Jonru Ginting, Achmad Dhani, Rachmawati Soekarnoputri, dan Al Khathath.
Dia mengatakan Partai Gerindra selama ini menjalin komunikasi insentif dengan ulama, kiai dan para aktivis 212 sehingga sering mendapatkan masukan serta saran.
Akan tetapi, Fadli mengungkapkan tak menutup kemungkinan ada agenda lain yang juga dibahas. Dialog dua belah pihak bisa jadi adalah langkah politis Jokowi untuk meraup dukungan dari kantung Islam seperti 212. Mengingat momentum dialognya juga berdekatan dengan pemilu 2019.
Jadi wajar saja, lanjutnya, jika pertemuan Jokowi dan 212 diinterpretasikan sebagai wujud komunikasi politik. Meski begitu, selama itu dilakukan untuk membangun dialog bersama, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Tapi bila itu tujuannya (untuk berdialog), bagi saya memang agak terlambat, harusnya dari dulu. Jangan mau Pemilu baru mendekati dan berusaha untuk meyakinkan," tuturnya.
Dia membandingkan kubu Gerindra yang sudah intensif menjalin komunikasi dengan pengurus 212. Dialog itu harus diposisikan alih-alih sebagai ritual simbolis, namun juga wadah saling memberi masukan.
Ditanya tentang kekhawatiran massa 212 akan tersedot ke kubu Jokowi, Fadli langsung menampiknya. Menurutnya hal itu tidak menjadi ancaman untuk Gerindra. Pasalnya, pengurus 212 sudah sepakat menitikberatkan pertemuan untuk membahas janji Jokowi terkait penumpasan kriminalisasi ulama.
Sementara, Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia menilai pertemuan antara Presiden Jokowi dengan alumni PA 212 di Istana Bogor merupakan silaturahmi yang dapat menguatkan persatuan Indonesia.
"Pertemuan tersebut menunjukkan jiwa negarawan Presiden Jokowi untuk bertemu dan berdialog dengan semua elemen masyarakat di Indonesia," kata Sekretaris Umum PP Bamusi, Nasyirul Falah Amru, di Jakarta.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan itu menilai, sikap Presiden Joko Widodo yang menerima dan berdialog dengan PA 212 di Istana Bogor menunjukkan sikap adil dan terbuka kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia.
"Hal ini menjadi bukti bahwa Presiden Jokowi milik semua seluruh masyarakat Indonesia, bukan hanya kelompok tertentu," katanya.
Pada kesempatan lain, Ketua Umum DPP Partai Hanura Oesman Sapta Odang mengapresiasi pertemuan Presiden Jokowi dengan petinggi PA.
"Positif dong, seorang presiden untuk mendekati semua lapisan masyarakat termasuk organisasi resmi atau organisasi yang dianggap tidak resmi," kata Oesman di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Menurut dia, hal itu merupakan kewajiban seorang kepala negara untuk mendekati semua unsur masyarakat bangsa Indonesia. Dia tidak berani berspekulasi terkait alasan langkah Jokowi bertemu para ulama tersebut.
Tanggapan berbeda diungkapkan oleh Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan. Dia menilai terlalu dini mengaitkan pertemuan antara Presiden Jokowi dengan PA 212 untuk agenda dukungan Pilpres 2019.
"Artinya saat presiden bertemu masyarakat dan tokoh-tokoh, dan dinilai sebagai langkah faktor pendekatan mendekati Pilpres, itu terlalu dini," kata Taufik.
Taufik yang juga politisi PAN itu mengatakan presiden boleh bertemu dengan siapa saja dan masalah sikap politik dalam pilpres yang menentukan adalah rakyat.
Karena itu menurut dia tidak ada yang bisa menjamin siapapun dalam kaitannya menentukan pilihan masyarakat saat Pilpres 2019.
"Namun kalau pertemuan itu konteksnya agar tidak ada kegaduhan dan suhu politik tidak terlalu panas, maka sah-sah saja. Karena itu apakah mengarah pada upaya dukung mendukung, menurut saya terlalu dini," ujarnya.
Dia mengatakan, apakah ada sikap ke arah menuju dukungan politik di Pilpres setelah pertemuan itu, harus menunggu pernyataan sikap resmi PA 212.
Menurut dia pertemuan itu menjadi suatu pertimbangan ketika pertemuan itu dilaksanakan dalam rangka menjaga kondusivitas menjelang pelaksanaan Pilpres 2019.
Klarifikasi alumni 212
Setelah beredarnya foto pertemuan beberapa ulama dengan Presiden Jokowi di media sosial, tim 11 ulama alumni 212 memberikan klarifikasi terkait pertemuan di Istana Bogor itu.
Menurut salah satu anggota tim 11 ulama alumni 212, Yusuf Muhammad Martak, pertemuan tersebut hanya menyampaikan informasi terkait kasus-kasus kriminalisasi para ulama dan aktivis 212.
“Pertemuan kami hanya khusus mengenai masalah keadilan kriminalisasi yang dialami oleh ulama dan tokoh-tokoh umat islam,” katanya di salah satu restoran di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (25/4).
Dari pertemuan itu, mereka berharap Jokowi mengambil kebijakan untuk menghentikan kriminalisasi ulama dan aktivis 212. Selain itu, mereka juga meminta agar Jokowi mengembalikan hak-hak para ulama dan aktivis 212 yang menjadi korban kriminalisasi.
Sekertaris tim 11 ulama alumni 212, Muhammad Al Khaththath, mengaskan tidak adanya pembahasan yang berkaitan dengan Pemilu. Senada dengannya, Yusuf juga menampik pembahasan mengenai dukungan terhadap Jokowi untuk maju pada Pilpres mendatang.
“Jadi kita para tim 11 tidak pernah berpikir membicarakan para calon dan tidak ada keterkaitan dengan Pileg, Pilpres, maupun Pilkada,” tegas Yusuf.
Tim 11 ulama juga mengaku menyesal atas bocornya foto dan berita pertemuan yang digelar secara tertutup itu. Mereka meminta pihak istana mengusut tuntas kebocoran yang sebelumnya beredar.
“Menyesalkan bocornya foto dan berita tersebut yang ditengarai adanya pihak ketiga yang ingin mengadu domba antara presiden dan ulama serta umat Islam,” ujar Ketua tim 11 alumni 212, Misbahul Anam.
Yusuf juga menerangkan bahwa sebelum dimulainya pertemuan, seluruh telepon seluler milik ulama diamankan oleh petugas. Oleh sebab itu, kebocoran dianggap sebagai bentuk kelalaian aparat istana.
Dalam pertemuan tiga hari lalu tersebut ulama yang datang di antaranya Ketua Front Pembela Islam Shobri Lubis, Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam Muhammad Al-Khaththath, Ketua Persaudaraan Muslimin Indonesia Usamah Hisyam, Ketua tim 11 alumni 212 Misbahul Anam, Abdul Rasyid, Abah Roud Bahar, Slamet Maarif, Muhammad Husni Thamrin, Muhammad Nur Sukma, Yusuf Muhammad Martak, dan Aru Syeif Asadullah.