close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Indonesia Joko Widodo masih memiliki utang di bidang hukum, terutama dikaitkan dengan sejumlah janji yang ia buat dalam Nawacita./ Antarafoto
icon caption
Presiden Indonesia Joko Widodo masih memiliki utang di bidang hukum, terutama dikaitkan dengan sejumlah janji yang ia buat dalam Nawacita./ Antarafoto
Politik
Selasa, 15 Mei 2018 17:48

Ramai-ramai menagih Nawacita Jokowi

Empat tahun Jokowi memimpin, pencapaian Jokowi di bidang hukum masih menjadi catatan.
swipe

Seperti pagi yang biasa, Maria Katarina Sumarsih menyiapkan hidangan untuk suaminya Arief Priyadi dan anak lelakinya Wawan. Hari itu, Jumat, 13 November 1998 ia memasak empal dan sayur asem kesukaan Wawan. “Memang sayur asem ini favorit Wawan, pasangannya ya dengan empal,” ujar perempuan kelahiran Susukan, Kabupaten Semarang tersebut.

Namun alih-alih menyantap makanan sang ibu, pemilik nama lengkap Bernardinus Realino Norma Irawan justru ambruk di pelataran kampus Atmajaya Jakarta, tempat ia kuliah. Wawan yang sehari-hari aktif sebagai aktivis Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) ini tewas, usai sebutir timah panas menembus dada kirinya. Ia menjadi korban dalam tragedi Semanggi I. Sebuah aksi yang dilakukan untuk menagih janji reformasi pascakejatuhan Soeharto di medio Mei 1998.

Setelah anaknya berpulang, Sumarsih berusaha menjalani pagi seperti biasa. Ritual sarapan bersama tetap ia lakukan, dengan menaruh satu piring kosong di atas meja makan. Seolah Wawan ada di situ dan larut dalam keriaan pagi, seperti pagi yang sudah-sudah.

Adegan tersebut tertuang dalam dalam film “W” (2017) besutan sutradara muda Yohanes Theo. Film yang memang berangkat dari realitas Wawan dan Sumarsih ini berusaha mendudukkan peristiwa keruntuhan rezim, kehilangan, serta perjuangan warga pro demokrasi, dari kacamata Sumarsih dan suaminya.

Dalam film itu juga tergambar perjuangan Sumarsih mengikuti acara Kamisan, untuk mengingatkan pemerintah supaya mengusut tuntas kasus yang menewaskan putranya dan keempat korban mahasiswa lainnya, yang juga gugur bersama Wawan.

Saat Jokowi terpilih menjadi Presiden RI pada 2014 lalu, ia berjanji akan membantu Sumarsih dan penyintas pelanggaran HAM lainnya untuk mengurai benang kusut kasus-kasus itu. Janji Jokowi terekam dalam sembilan program Nawacita. Salah satu poinnya adalah menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

LSM yang bergiat di isu HAM Elsam kemudian mencoba mengurai poin tersebut lewat beragam turunan, dan dikaitkan dengan RPJMN yang digulirkan Bappenas. Penegakan hukum untuk kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang mangkrak, jadi salah satu turunan. Di samping turunan lain seperti pendidikan HAM dalam kurikulum resmi sekolah.

Di sisi lain, empat tahun Jokowi memimpin, janji itu masih relatif belum terpenuhi. Pada 2017, Amnesty International Indonesia bahkan sempat memberi catatan kritis pada kasus-kasus penegakan HAM dan kasus hukum lain yang menuju peti es di era Jokowi. ICW juga tak segan memberi rapor merah pada Jokowi di bidang hukum baru-baru ini.

Penilaian dua lembaga itu berangkat dari sejumlah pencapaian yang masih jauh panggang dari api. Menurut aktivis ICW Donal Fariz, Jokowi lebih banyak menggenjot pembangunan infrastruktur dan penerbitan paket kebijakan ekonomi, namun alpa terhadap upaya penegakan hukum dan demokrasi. Dari segi laju pembangunan, tercatat sejumlah proyek berhasil dirampungkan. Ia juga memangkas sejumlah birokrasi untuk kemudahan berinvestasi para investor. Namun tidak untuk penegakan hukum.

Berdasarkan survei Poltracking Indonesia Februari 2018, tingkat kepuasan publik terhadap pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan serta pelayanan kesehatan yang terjangkau melebihi 50%. Perinciannya, tingkat kepuasan terhadap pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan 66,5%, sedang pelayanan kesehatan 61,2%. Sementara dalam bidang penegakan hukum hanya berkisar 53,1%. Menurut Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, Hanta Yuda, hal tersebut mengindikasikan kepuasan publik cukup rendah karena masih di bawah 60%.

Donal menambahkan, ketimpangan antara bidang ekonomi dan hukum jelas terasa, terutama dalam pembangunan sektor penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan pembangunan tiang-tiang demokrasi. Pernyataan Donal bukan tanpa alasan, sebab berdasarkan catatan ICW, angka Corruption Perception Index (CPI) di Indonesia mengalami stagnasi. "Angkanya tidak meningkat sejak dua tahun yang lalu," katanya pada Alinea.

Imbas lemahnya penegakan hukum juga tampak dari terbengkalainya sejumlah kasus, seperti penyiraman air keras pada Novel Baswedan, kasus buruh Marsinah, dan lainnya. Kasus korupsi juga kian menjamur, menyandera sejumlah tokoh termasuk kepala daerah petahana.

Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute Zihan Syahayani dalam artikelnya “Reformasi Hukum di Era Jokowi-JK” (2017) menyebutkan, pemenuhan janji Jokowi di bidang hukum hanya berhenti di level substantif saja.

Dalam laporan capaian dua tahun pemerintahan Jokowi-JK, agenda reformasi hukum difokuskan pada upaya pemulihan kepercayaan publik terhadap keadilan dan kepastian hukum. Hal itu dilakukan melalui beberapa langkah kebijakan antara lain: (1) penataan regulasi berkualitas; (2) pembenahan kelembagaan penegakan hukum profesional; dan (3) pembangunan budaya hukum kuat. Langkah-langkah kebijakan tersebut selanjutnya diwujudkan dalam beberapa program kerja nyata meliputi: pelayanan publik, penyelesaian kasus, penataan regulasi, pembenahan manajemen perkara, penguatan SDM, penguatan kelembagaan, dan pembangunan budaya hukum.

Sementara dalam laporan tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK, agenda reformasi hukum difokuskan pada perwujudan birokrasi pemerintah yang bersih dan melayani serta penegakan keadilan dan perlindungan hukum untuk masyarakat. Untuk mewujudkan birokrasi bersih dan melayani, bahkan membentuk institusi/Tim Saber Pungli pada 2016 lalu. Setahun kiprahnya, Saber Pungli telah melakukan 1002 kali operasi tangkap tangan (OTT) dengan jumlah tersangka mencapai 1800 orang. Pada 2018, belum ada lagi gaung dari tim yang digadang-gadang mampu menyapu bersih aksi pungli itu.

Zihan dalam artikelnya juga menyebut, agenda reformasi hukum kaitannya dengan pemberantasan korupsi. Pada 2015, mantan Gubernur DKI Jakarta itu telah meneken dokumen Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Aksi PPK) Lalu di tahun ketiga pemerintahannya, ia menerbitkan Inpres Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi PPK 2016 dan 2017.

Upaya bersih-bersih birokrasi dari korupsi dan pungli juga tak menuai peningkatan yang signifikan. Belakangan Ombudsman RI justru menemukan pungli di kalangan aparat penegak hukum. Tak sedikit pula pejabat yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Direktur Riset Komunikasi dan Isu Politik Dedi Kurnia Syah menyebut lambannya pemenuhan janji Nawacita Jokowi, lantaran ia dan kabinetnya gagal membangun roadmap kerja bersama. “Bukan Nawacita yang perlu dikritisi tapi terjemahan Nawacita itu dalam konsep, program, dan implementasi yang hingga kini belum memiliki wujud jelas,” ujarnya.

Kegagalan itu, imbuhnya, membuat janji Jokowi tak ubahnya seperti diskursus semata. Sebab sejak dulu pun, tanpa Nawacita, hukum dan kasus penuntasan pelanggaran HAM di Indonesia tetap berjalan di koridor yang sama. “Hematnya, Nawacita tidak berkontribusi dalam hal ini,” tandasnya.

Pengamat Hukum UII Mudzakir merangkum pencapaian hukum Jokowi di level praktis, dalam dua kelompok, yakni umum dan khusus—di dalamnya mencakup kasus tipikor dan terorisme. Terhadap penindakan umum yang bersinggungan dengan agama dan politik, komitmen Jokowi terganjal upaya tebang pilih para penegak hukumnya. Proses hukum dalam kasus ujaran kebencian misalnya, banyak diinterpretasikan dalam ruang yang keliru. “Contoh paling utama ketika Gubernur NTB dihina, akan tetapi tidak ada penegakan hukum di dalamnya,” jelas Mudzakir lagi.

Kedua, terkait korupsi, menurutnya hanya orang bernasib sial yang terkena penindakan. Sementara bagi mereka yang melakukan kejahatan beramai-ramai, sebagian besar justru selamat. Misal, imbuhnya, dalam pengusutan korupsi Century, kasus tersebut dilanjutkan semata-mata karena kritik sudah memuncak. Demikian halnya dengan kasus megakorupsi E-KTP yang mana satu per satu orang yang terseret, “hilang”. Hal ini menurutnya jadi indikasi adanya praktik hukum yang tidak equal dan adil—sebuah cacatan pekerjaan rumah Jokowi di bidang hukum.

Berikutnya terkait terorisme dan narkotika, ia menilai, Jokowi keliru jika mengobarkan perang atas keduanya. Dalam aspek hukum di Indonesia, terorisme hanya bisa diselesaikan lewat penanganan hukum yang tepat. Hal ini untuk menghindari eksekusi yang membabi buta terhadap terduga teroris, seperti yang sempat terjadi berulang kali di Poso dan Solo.

Mengingat PR yang masih menumpuk tersebut, pakar demokrasi Haryono Wibowo mengatakan Nawacita bisa terealisasi jika ada kerjasama yang solid dari Presiden RI dan anasir terkait.

"Tidak bisa Nawacita itu diserahkan pada Jokowi sendiri, karena visi Nawacita itu akan melibatkan banyak pihak," katanya.

Anggota Komisi I DPR Supiadin Aries Saputera menyebut, kendala pemenuhan janji Nawacita terkendala kepatuhan dan mental para pejabat terkait. Oleh sebab itu, evaluasi secara berkala patut dilakukan, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, hingga pelaksanaan.

“Secara umum saya melihat hukum ini sudah berjalan kalau belum sempurna iya lah kan masih berjalan tapi secara politik jelas,” tuturnya.

img
Ayu mumpuni
Reporter
img
Robi Ardianto
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan