Penyelesaian sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), dinilai hanya mengadili dugaan kecurangan pada proses perhitungan suara. Tidak memeriksa pelanggaran penyelenggaraan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Pengamat politik yang juga Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti, mendorong adanya hak angket untuk menyelidiki dugaan pelanggaran pemilu, khususnya Pilpres 2024.
Hak angket ini, merupakan hak konstitusional yang dapat diajukan sejumlah partai politik (parpol) melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
"Penyelidikan dugaan pelanggaran pemilu dapat diselesaikan melalui jalur politik lewat hak angket DPR," ujar Ray dalam tayangan YouTube di Metro TV, Selasa (27/2).
Ray mengingatkan, hak angket ini bukan dalam konteks mengubah hasil pemilu yang merupakan wilayah Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Hak angket itu bukan apa hasilnya. Tetapi, bagaimana pelaksanaannya dan ditujukan kepada presiden. Enggak mungkin DPR meng-angket Komisi Pemilihan Umum atau Bawaslu. Keduanya lembaga independen, bukan eksekutif," jelas dia.
Menurut Ray, penyelidikan pelaksanaan pemilu bukan pada angka-angka hasil pemilu. Tetapi, mempertanyakan dugaan keterlibatan Presiden Jokowi terkait dukungan kepada paslon tertentu.
"Misalnya, bisa dipertanyakan soal kelemahan pemilu sekarang, dan apakah bansos yang dibagi-bagikan Presiden Jokowi berhubungan dengan kenaikan elektabilitas salah satu paslon," jelasnya.
Alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu, menambahkan, secara administratif PDIP, Nasdem, dan PKB itu, masih bagian koalisi pemerintah. "Itu koalisi administratif. Tetapi secara faktual tidak. Makanya, mereka mendorong hak angket," tegas dia.
Menurut Ray, PDIP, Nasdem, dan PKB sudah merasa bukan bagian pemerintah. Lantas bagaimana dengan nasib para menteri parpol-parpol tersebut di kabinet Pemerintahan Jokowi? "Itu terserah Presiden Jokowi. Kalau mau presiden bisa me-reshuffle mereka. Kenapa bukan parpol yang menarik menterinya? Itu sama saja seperti Jokowi tidak mengembalikan KTA ke PDIP. Padahal, tak mendukung paslon dari PDIP. Politik di Indonesia, ya begitu," ucap dia.
Di mana-mana di dunia, lanjut Ray, pihak yang kalah yang menuntut keadilan. Sehingga di Indonesia, dibentuklah Bawaslu dan MK. "Lucunya yang membentuk pengadilan itu pihak yang menang, karena itulah perlunya didorong hak angket," tegasnya.
Adapun pertemuan Jokowi-Surya Paloh pada 18 Februari, dapat dinilai sebagai langkah untuk memadamkan ide Hak Angket di DPR. Sebab, jika Surya Paloh tidak mendukung, maka kekuatan pendukung hak angket dari parpol-parpol pendukung calon presiden (capres) 01 dan 03 akan kehilangan momentum. Ini berisiko membuat gerakan di DPR menjadi prematur.
Ray menilai, langkah tersebut perlu dicegah. Atas dasar itu, ia menyarankan segera diadakan pertemuan antara pimpinan parpol-parpol Koalisi 01 dan 03 untuk membicarakan hak angket Pemilu 2024.
"Sebab, ide tersebut sudah mulai dibahas pimpinan Koalisi 01. Tampaknya PDIP masih melakukan konsolidasi paska pilpres, seraya menunggu pengumuman hasil final perhitungan suara oleh KPU," ungkap dia.
Oleh sebab itu, sambung Ray, pimpinan partai Koalisi 01 perlu untuk segera mengajak PDIP dan PPP dari Koalisi 02 untuk menggulirkan ide hak angket secara bersama. Agar proses pelaksanaan pileg dan pilpres bersih dari pelanggaran konstitusi dan etika, dua hal yang merupakan agenda utama era reformasi.