Reforma agraria dan tanah HGU Prabowo
“Kemudian, saya juga minta izin. Tadi disinggung, tanah yang katanya saya kuasai ratusan ribu (hektare) di berbagai tempat. Itu benar, tapi HGU (hak guna usaha). Itu hak negara. Jadi, setiap saat negara bisa mengambil kembali. Dan, kalau untuk negara, saya rela mengembalikan. Tapi, daripada jatuh ke orang asing, lebih baik saya yang kelola, karena saya orangnya nasionalis dan patriot,” kata calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto, saat memberikan kata pamungkas di debat kedua Pilpres di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2).
Pernyataan tersebut dilontarkan Prabowo, menanggapi ucapan Joko Widodo yang mengatakan bahwa Prabowo memiliki tanah ratusan ribu hektare di Aceh Tengah dan Kalimantan Timur.
Bisa diambil kembali
Mengenai keberadaan tanah HGU tersebut di dalam tata hukum pertanahan, sejarawan agraria Ahmad Nashih Luthfi mengatakan, benar bahwa status tanah itu tetap tanah negara. Perseorangan maupun perusahaan atau badan hukum, diberi hak guna oleh negara. Jika telah habis atau disebabkan hal lain, tanah itu bisa diambil kembali oleh negara.
“Ini dijelaskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960,” kata Luthfi ketika dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (19/2).
Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah (PP 40) Pasal 5 ayat 2 menyebut, luas maksimum tanah yang dapat diberikan hak guna usaha kepada perorangan adalah 25 hektare.
Sayangnya, UUPA dan PP 40 tidak menentukan secara definitif batas maksimum luas HGU yang bisa diberikan kepada perusahaan atau badan hukum. Akibatnya, pemberian HGU yang luas selama sekian dekade berkontribusi pada ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.
Menurutnya, ketentuan luas penguasaan HGU ini harus diatur dalam RUU Pertanahan yang sekarang sedang digodok di parlemen.
Mengenai lahan seluas 120.000 hektare di Aceh Tengah dan 220.000 hektare di Kalimantan Timur, yang dimiliki Prabowo, Luthfi menjelaskan, jika mengacu pada PP 40, lebih dari luas 25 hektare yang bisa diberikan maka harus ditentukan oleh menteri.
“Jika luas puluhan bahkan ratusan ribu (hektare) itu, sudah tentu dikeluarkan oleh menteri atau bahkan dugaan saya, persetujuan presiden. Cek saja pada era menteri siapa surat keputusan (SK) HGU itu diberikan,” kata Luthfi.
Luthfi melanjutkan, menteri punya pertimbangan tertentu. Bisa administratif, bisa politis, dan ekonomi, untuk menyetujui penggunaan tanah HGU hingga ratusan ribu hektare tersebut.
“Frase ‘dengan mengingat luasan yang diperlukan’ dan ‘satuan usaha yang paling berdaya guna’ dalam Pasal 5 PP Nomor 40 Tahun 1996 ini ukurannya apa? Ini yang enggak dijelaskan, sehingga bisa sangat politis, sarat kepentingan, dan berbagai motif,” ujar Luthfi.
Akibat ketidakjelasan frase itu, lanjut dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) tersebut, tak jarang lahan HGU kemudian ditelantarkan, jadi konflik, ataupun diagunkan ke bank agar dapat dana segar untuk memulai bisnis lain.
Luthfi mengatakan, penerima HGU dilekati dengan hak dan kewajiban, sesuai dengan surat keputusan yang diberikan. Bila dalam SK HGU hanya menyebut peruntukan perkebunan karet atau sawit, hal itu harus sesuai dengan peruntukan dan pemanfaatannya.
Menyinggung pernyataan juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak, yang mengatakan, lahan milik Prabowo di Aceh Tengah dikelola mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), secara normatif Luthfi mengatakan, dengan diberikannya HGU itu melekat segenap kewajiban, dan tak boleh sampai diberikan kepada pihak lain di luar ketentuan yang ada, dan tanpa sepengetahuan negara sebagai pemegang mandat hak bangsa atas tanah.
“Dia diberikan SK kan karena diberi kepercayaan, tapi kok malah diberikan ke orang lain. Itu kan sudah salah. Kalau dialihkan itu ada ketentuan macam-macam, tapi harus sepengetahuan negara,” katanya.
Tanah HGU bisa dicabut kepemilikannya, bila tak sesuai dengan peruntukan, atau ditelantarkan secara yuridis dan fisik. Secara yuridis artinya, tidak sesuai pemanfaatannya dengan mengganti komoditas tanam atau disebabkan hal lain.
Reforma agraria dan keterbukaan data
Sementara itu, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menilai, kedua capres punya itikad baik menjalankan reforma agraria. Menurut Iwan, masalah reforma agraria sudah tertera dalam visi-misi kedua capres.
Upaya itu, sebut Iwan, akan mempercepat pelaksanaan reforma agraria yang sudah dimulai dengan peningkatan peningkatan pengelolaan pertanahan.
“Sudah ada pengubahan kewenangan dari lembaga Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang,” ujar Iwan saat dihubungi, Rabu (20/2).
Sedangkan Luthfi mengatakan, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, dari segi regulasi terkait program reforma agraria, sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018.
Namun, Luthfi mengingatkan, reforma agraria harus benar-benar melakukan tata ulang ketimpangan penguasaan tanah, sebagaimana ilustrasi mengenai HGU tersebut. Ia harus menciptakan “hak atas tanah yang baru”, dan bukan hanya melegalkan tanah yang sudah dipunya masyarakat.
“Sertifikat penting, tapi tidak cukup. Ia memiliki arti reforma agraria tatkala sertifikat tanah atas tanah yang memang sebelumnya tidak dipunyai rakyat,” kata dia.
Reforma agraria, menurut Luthfi, tidak hanya soal distribusi tanah, tapi juga redistribusi tanah. Yang dimaksud dengan redistribusi, negara mengambil tanah-tanah kelebihan, HGU yang luas, atau tanah yang dikelola tidak benar, yang bisa melahirkan konflik dan ketimpangan.
“Negara harus berani bagaimana mengambil tanah dari orang-orang kuat dan oligarkis secara politik dan ekonomi itu,” kata Luthfi.
Luthfi pun berkomentar jika Jokowi jangan hanya membuka data untuk kepentingan debat capres semata. “Tetapi, berani enggak buka HGU yang diberikan pemerintah. Membuka data HGU, sesuai putusan MA pada 6 Maret 2017 dengan nomor register 121 K/TUN/2017 yang menetapkan bahwa pemerintah wajib membuka dokumen-dokumen perizinan HGU terutama lahan kelapa sawit,” kata Luthfi.
HGU tersebut, menurut Luthfi, menimbulkan pertanyaan, kenapa pemerintah selama ini memberikan HGU sedemikian luasnya. Membuka data HGU, ujar Luthfi, merupakan kewajiban pemerintah karena hal tersebut merupakan informasi publik.
“Dua-duanya (calon presiden) harus didorong. Untuk Jokowi membuka data HGU sebagai informasi publik. Terhadap calon kedua harus didorong, ditantang. Pertama kalau diberikan HGU harus benar peruntukannya. Kedua kalau peruntukannya tak benar harus siap dicabut,” ujar Luthfi.
“Kemudian, saya juga minta izin. Tadi disinggung, tanah yang katanya saya kuasai ratusan ribu (hektare) di berbagai tempat. Itu benar, tapi HGU (hak guna usaha). Itu hak negara. Jadi, setiap saat negara bisa mengambil kembali. Dan, kalau untuk negara, saya rela mengembalikan. Tapi, daripada jatuh ke orang asing, lebih baik saya yang kelola, karena saya orangnya nasionalis dan patriot,” kata calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto, saat memberikan kata pamungkas di debat kedua Pilpres di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2).
Pernyataan tersebut dilontarkan Prabowo, menanggapi ucapan Joko Widodo yang mengatakan bahwa Prabowo memiliki tanah ratusan ribu hektare di Aceh Tengah dan Kalimantan Timur.
Bisa diambil kembali
Mengenai keberadaan tanah HGU tersebut di dalam tata hukum pertanahan, sejarawan agraria Ahmad Nashih Luthfi mengatakan, benar bahwa status tanah itu tetap tanah negara. Perseorangan maupun perusahaan atau badan hukum, diberi hak guna oleh negara. Jika telah habis atau disebabkan hal lain, tanah itu bisa diambil kembali oleh negara.
“Ini dijelaskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960,” kata Luthfi ketika dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (19/2).
Sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah (PP 40) Pasal 5 ayat 2 menyebut, luas maksimum tanah yang dapat diberikan hak guna usaha kepada perorangan adalah 25 hektare.
Sayangnya, UUPA dan PP 40 tidak menentukan secara definitif batas maksimum luas HGU yang bisa diberikan kepada perusahaan atau badan hukum. Akibatnya, pemberian HGU yang luas selama sekian dekade berkontribusi pada ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.
Menurutnya, ketentuan luas penguasaan HGU ini harus diatur dalam RUU Pertanahan yang sekarang sedang digodok di parlemen.
Mengenai lahan seluas 120.000 hektare di Aceh Tengah dan 220.000 hektare di Kalimantan Timur, yang dimiliki Prabowo, Luthfi menjelaskan, jika mengacu pada PP 40, lebih dari luas 25 hektare yang bisa diberikan maka harus ditentukan oleh menteri.
“Jika luas puluhan bahkan ratusan ribu (hektare) itu, sudah tentu dikeluarkan oleh menteri atau bahkan dugaan saya, persetujuan presiden. Cek saja pada era menteri siapa surat keputusan (SK) HGU itu diberikan,” kata Luthfi.
Luthfi melanjutkan, menteri punya pertimbangan tertentu. Bisa administratif, bisa politis, dan ekonomi, untuk menyetujui penggunaan tanah HGU hingga ratusan ribu hektare tersebut.
“Frase ‘dengan mengingat luasan yang diperlukan’ dan ‘satuan usaha yang paling berdaya guna’ dalam Pasal 5 PP Nomor 40 Tahun 1996 ini ukurannya apa? Ini yang enggak dijelaskan, sehingga bisa sangat politis, sarat kepentingan, dan berbagai motif,” ujar Luthfi.
Akibat ketidakjelasan frase itu, lanjut dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) tersebut, tak jarang lahan HGU kemudian ditelantarkan, jadi konflik, ataupun diagunkan ke bank agar dapat dana segar untuk memulai bisnis lain.
Luthfi mengatakan, penerima HGU dilekati dengan hak dan kewajiban, sesuai dengan surat keputusan yang diberikan. Bila dalam SK HGU hanya menyebut peruntukan perkebunan karet atau sawit, hal itu harus sesuai dengan peruntukan dan pemanfaatannya.
Menyinggung pernyataan juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak, yang mengatakan, lahan milik Prabowo di Aceh Tengah dikelola mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), secara normatif Luthfi mengatakan, dengan diberikannya HGU itu melekat segenap kewajiban, dan tak boleh sampai diberikan kepada pihak lain di luar ketentuan yang ada, dan tanpa sepengetahuan negara sebagai pemegang mandat hak bangsa atas tanah.
“Dia diberikan SK kan karena diberi kepercayaan, tapi kok malah diberikan ke orang lain. Itu kan sudah salah. Kalau dialihkan itu ada ketentuan macam-macam, tapi harus sepengetahuan negara,” katanya.
Tanah HGU bisa dicabut kepemilikannya, bila tak sesuai dengan peruntukan, atau ditelantarkan secara yuridis dan fisik. Secara yuridis artinya, tidak sesuai pemanfaatannya dengan mengganti komoditas tanam atau disebabkan hal lain.
Reforma agraria dan keterbukaan data
Sementara itu, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menilai, kedua capres punya itikad baik menjalankan reforma agraria. Menurut Iwan, masalah reforma agraria sudah tertera dalam visi-misi kedua capres.
Upaya itu, sebut Iwan, akan mempercepat pelaksanaan reforma agraria yang sudah dimulai dengan peningkatan peningkatan pengelolaan pertanahan.
“Sudah ada pengubahan kewenangan dari lembaga Badan Pertanahan Nasional (BPN) menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang,” ujar Iwan saat dihubungi, Rabu (20/2).
Sedangkan Luthfi mengatakan, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, dari segi regulasi terkait program reforma agraria, sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018.
Namun, Luthfi mengingatkan, reforma agraria harus benar-benar melakukan tata ulang ketimpangan penguasaan tanah, sebagaimana ilustrasi mengenai HGU tersebut. Ia harus menciptakan “hak atas tanah yang baru”, dan bukan hanya melegalkan tanah yang sudah dipunya masyarakat.
“Sertifikat penting, tapi tidak cukup. Ia memiliki arti reforma agraria tatkala sertifikat tanah atas tanah yang memang sebelumnya tidak dipunyai rakyat,” kata dia.
Reforma agraria, menurut Luthfi, tidak hanya soal distribusi tanah, tapi juga redistribusi tanah. Yang dimaksud dengan redistribusi, negara mengambil tanah-tanah kelebihan, HGU yang luas, atau tanah yang dikelola tidak benar, yang bisa melahirkan konflik dan ketimpangan.
“Negara harus berani bagaimana mengambil tanah dari orang-orang kuat dan oligarkis secara politik dan ekonomi itu,” kata Luthfi.
Luthfi pun berkomentar jika Jokowi jangan hanya membuka data untuk kepentingan debat capres semata. “Tetapi, berani enggak buka HGU yang diberikan pemerintah. Membuka data HGU, sesuai putusan MA pada 6 Maret 2017 dengan nomor register 121 K/TUN/2017 yang menetapkan bahwa pemerintah wajib membuka dokumen-dokumen perizinan HGU terutama lahan kelapa sawit,” kata Luthfi.
HGU tersebut, menurut Luthfi, menimbulkan pertanyaan, kenapa pemerintah selama ini memberikan HGU sedemikian luasnya. Membuka data HGU, ujar Luthfi, merupakan kewajiban pemerintah karena hal tersebut merupakan informasi publik.
“Dua-duanya (calon presiden) harus didorong. Untuk Jokowi membuka data HGU sebagai informasi publik. Terhadap calon kedua harus didorong, ditantang. Pertama kalau diberikan HGU harus benar peruntukannya. Kedua kalau peruntukannya tak benar harus siap dicabut,” ujar Luthfi.
Dikuasai perusahaan besar
Iwan Nurdin mengatakan, selama ini memang ada kelemahan penerapan dan pengawasan hak penguasaan tanah. HGU, menurutnya, memang hanya dibatasi sebagai hak perseorangan untuk menguasai kepemilikan tanah paling banyak seluas 100 hektare.
Hak kepemilikan itu diterapkan bagi perseorangan yang memiliki badan usaha. Namun, menurut dia, ada masalah ketidakadilan pemberian tanah.
“Pemberian HGU lebih banyak hanya diperuntukkan bagi pengusaha yang punya perusahaan besar,” kata Iwan ketika dihubungi, Rabu (20/2).
Selain itu, kata Iwan, batasan jumlah kepemilikan tanah dengan mudah bisa diakali. “Bisa saja saya misalnya bikin sepuluh perusahaan, karena setiap orang dapat memiliki badan usaha. Lalu menguasai sejumlah besar tanah,” ujar Iwan memisalkan.
Oleh karena itu, menurutnya, pembatasan kepemilikan tanah untuk sebuah perusahaan harus diperketat. Apalagi, lanjut dia, dalam grup-grup perusahaan besar terdapat ratusan perusahaan lain yang berada di bawahnya. Kalau sudah seperti ini, penegakan aturan hukum semestinya dijalankan.
Iwan memandang, perlu peran lembaga publik yang secara tegas mengawasi pokok-pokok peraturan, yang terangkum dalam UUPA 1960. Beberapa aturan yang menurut Iwan wajib diperhatikan, antara lain penerbitan HGU dan pihak-pihak yang memperoleh HGU.
“Ini soal ketimpangan dalam keadilan hak agraria, soal keterbukaan penerbitan HGU, dan pengawasan HGU. Ketegasan pelaksanaan aturan harus dijalankan oleh lembaga publik dan pemerintah terkait pertanahan,” katanya.
Harus konsisten
Meski demikian, Iwan menggarisbawahi retorika Prabowo dalam debat kedua, yang berulang kali menyatakan soal ketimpangan, karena penguasaaan sumber daya alam oleh sebagian kecil penduduk.
Seperti dikatakan Prabowo, ada 1% penduduk yang menguasai lahan atau kekayaan sumber daya alam Indonesia. Hal ini, menurut Iwan, menjadi corak yang anomali dari gagasan yang dikemukakan Prabowo.
“Cara Prabowo menampilkan pernyataannya adalah secara demagogi, bersemangat, bahkan bisa berkesan memprovokasi soal itu. Tapi, dia sendiri juga bagian dari kelompok kecil masyarakat yang menguasai sumber daya alam itu,” ujar Iwan.
Lantaran pernyataan tadi, Prabowo seperti menelan ludahnya sendiri. Terlebih, jika pernyataan penutup debat kedua pada 17 Februari 2019 kemarin hanya pepesan kosong.
Bila Prabowo konsisten untuk mendukung reforma agraria, Iwan menyarankan untuk menepati janjinya mengembalikan tanah yang ia kuasai kepada negara.
“Prabowo harus siap dengan pembagian tanah dan secara sukarela melepasnya. Hal ini pun sudah diatur dalam UU Agraria,” kata Iwan.
Pengembalian hak kuasa tanah kepada negara itu cukup lazim terjadi. Iwan mengatakan, hal serupa telah dilakukan senator Filipina Beniqno Aquino Jr. Pada 2014, Beniqno melepaskan lahan perkebunan tebu miliknya, untuk dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat.
“Hal ini lalu diikuti oleh tuan-tuan tanah atau penguasa lahan yang lain. Itu berlaku sesuai dengan UU Agraria di Filipina,” ujar Iwan.
Namun, saran Iwan, tanah yang dikuasai Prabowo juga harus dicek statusnya. Sebab, kata dia, faktanya tanah milik Prabowo tak hanya perkebunan, tapi juga kehutanan.
“Maka itu bukan cuma HGU, tapi juga HTI (hutan tanaman industri). Prabowo jangan menggampangkan (status) HGU untuk tanah yang dimiliknya,” ujarnya.
Di sisi lain, menurut Ahmad Nashih Luthfi, bila tanah HGU milik Prabowo mau diredistribusi kepada masyarakat, tentu hal itu baik. Apalagi jika ditelantarkan oleh perusahaan. Negara, kata dia, bahkan wajib mencabutnya.
“Ada regulasi yang mengaturnya melalui PP 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Ia bisa dijadikan tanah objek reforma agraria, setelah lebih dahulu dikembalikan menjadi ‘tanah negara’,” ujar Luthfi.