Reformasi dikorupsi: Saat mahasiswa kembali ke pusaran aksi
Didampingi perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Manik Marganamahendra memasuki ruang audiensi di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (22/9) malam. Di ruangan itu, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas, anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu telah menunggu mereka.
Audiensi tersebut buah aksi unjuk rasa ribuan mahasiswa di depan gedung DPR, sejak pagi. Mereka menuntut DPR membatalkan rencana mengesahkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sejumlah RUU kontroversial lainnya. Mereka juga memprotes langkah DPR mengesahkan revisi UU KPK.
Di pertemuan itu, Manik 'mengamuk'. Ia geram karena surat berisi tuntutan mahasiswa yang telah berada di tangan Sekretaris Jenderal DPR tak sampai ke anggota DPR. Mewakili para mahasiswa, ia menyatakan mosi tidak percaya kepada anggota DPR.
Dengan lantang, ia bahkan menyebut DPR sebagai Dewan Pengkhianat Rakyat. "Kami layangkan mosi tidak percaya kepada DPR. Kami akan menurunkan massa yang jauh lebih besar besok," kata pria kelahiran 11 Desember 1996 itu.
Manik tak mengada-ada. Esoknya, aksi unjuk rasa yang jauh lebih besar digelar di depan gedung DPR. Ribuan mahasiswa turun ke jalan. Hingga tengah malam, warna-warni jaket almamater mahasiswa mewarnai kawasan Senayan.
Aksi protes terhadap revisi KUHP dan RUU kontroversial lainnya juga terjadi di berbagai daerah di Tanah Air, semisal di Makassar, Medan, Yogyakarta, dan Surabaya. Seperti di Jakarta, kericuhan sempat mewarnai aksi protes massal tersebut.
Pengamat hukum Erdianto Effendi mengatakan, aksi unjuk rasa besar-besaran mahasiswa di seluruh Indonesia tidak boleh dianggap enteng. Apalagi, aksi tersebut murni diinisiasi kalangan mahasiswa dan tidak dimodali pihak-pihak tertentu.
"Sebab demo mahasiswa berbeda dengan demo kelompok masyarakat yang lain karena dianggap objektif dan nonpartisan. Mereka dianggap mewakili kepentingan publik dan diperjuangkan adalah nilai moral," kata Erdianto seperti dikutip Antara.
Pada era Reformasi, tak banyak aksi unjuk rasa besar yang digelar mahasiswa untuk memprotes kebijakan DPR dan pemerintah. Salah satu unjuk rasa yang cukup besar pernah digelar mahasiswa menolak kebijakan politik pemerintah dan DPR pada 2014.
Ketika itu, mahasiswa dan kelompok masyarakat memprotes langkah DPR mengesahkan Undang-Undang Pilkada. UU itu mengembalikan proses pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD. Merespons tuntutan publik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) buru-buru mengeluarkan Perppu untuk membatalkannya.
Saat ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menanggapi sebagian tuntutan mahasiswa dengan meminta DPR menunda pengesahan revisi KUHP dan RUU lainnya. Namun, Jokowi masih 'bungkam' terkait tuntutan pembatalan revisi UU KPK.
"Jika merespon tuntutan mahasiswa, sejauh ini Presiden sudah memutuskan (menunda) pengesahan RUU KUHP. Namun, Presiden belum bersikap soal UU KPK. Ini akan terbaca oleh mahasiswa sebagai sikap tidak mendukung pemberantasan korupsi yang menjadi spirit reformasi itu," ujar Erdianto.
Selamatkan reformasi
Mantan aktivis 1998 Nezar Patria menilai ada kesinambungan antara gerakan mahasiswa saat ini dengan gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya. Menurut dia, secara esensi, isu yang diperjuangkan mahasiswa saat ini tak jauh berbeda dengan gerakan mahasiswa pada era Orde Baru dan menjelang kejatuhan rezim Soeharto.
"Mahasiswa 1998 bergerak untuk menghilangkan defisit demokrasi di bawah rezim otoriter, sedangkan pergerakan mahasiswa sekarang cenderung lebih pada mempertahankan demokrasi tersebut dan menentang potensi oligarki yang ada," ujarnya saat dihubungi Alinea.id, Rabu (26/9) lalu.
Menurut Nezar, nuansa oligarki itu kental dalam keputusan DPR dan pemerintah dalam pengesahan revisi UU KPK dan rencana mengesahkan revisi KUHP yang ramai diprotes publik. Khusus untuk UU KPK, pemerintah dan DPR bahkan berkukuh merevisi UU KPK tanpa meminta pendapat dari para petinggi lembaga antirasuah.
Tak hanya itu, fraksi-fraksi di DPR juga sepakat meloloskan pasal-pasal bermasalah di draf revisi KUHP. Bahkan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (MenkumHAM) Yasonna Laoly sudah membubuhkan tanda tangannya di dalam draf tersebut.
UU KPK ditengarai melemahkan KPK yang notabene merupakan lembaga yang lahir pada era reformasi. Di sisi lain, draf KUHP berisi pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan berekspresi dan era kebebasan yang kini dinikmati generasi muda pasca-Orde Baru.
"Jadi mereka adalah generasi yang melimpah dalam hal kebebasan. Tapi ketika ada korupsi ini, isu UU KPK yang dilemahkan, mereka tergerak. Dan, (mereka) lebih tergerak lagi ketika ada rencana pengesahan RUU KUHP itu, di mana ada pasal yang termaktub di dalamnya telah mencederai kebebasan-kebebasan yang mereka telah rasakan," jelas dia.
Namun demikian, menurut Nezar, gerakan mahasiswa kali ini berbeda dengan gerakan mahasiswa pada 1998 dari tingkat 'keseriusan' dan tekanan politik. Jika dilihat dari poster-poster tuntutan yang dibentangkan, gerakan mahasiswa kali ini terkesan lebih jenaka.
“Nah, Anda bisa bandingkan misalnya pada poster-poster di 1998 dengan poster yang muncul di tahun 2019 ini. Poster sekarang itu tuntutannya seperti sedang bermain-main. Agak menggemaskan dan sebetulnya...tetapi, memuat hal yang sangat esensial, bahwa ada sesuatu yang terancam dari kebebasan mereka ini," ucap dia.
Poster-poster berisi humor lokal dan kalimat sinis memang mewarnai aksi unjuk rasa mahasiswa di berbagai daerah. Namun demikian, seolah sudah disepakati, frasa "Reformasi Dikorupsi" kerap muncul dalam poster-poster yang dibentangkan di berbagai aksi.
Independen dan tak lagi apolitis
Meskipun diwarnai aksi vandalisme, mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Rakyat Demokratik (PRD) Petrus Hariyanto mengapresiasi gerakan mahasiswa kali ini. Terlebih, berbagai RUU yang diprotes para mahasiswa saat ini memang menjadi perhatian publik.
"Saya jatuh cinta terhadap rangkaian perlawanan mahasiswa beberapa hari ini. Sangat mengapresiasi. Dari segi isu sangat keren. Mereka bisa mengkritisi isu yang terdapat dalam RUU. Bahkan lebih dari satu. Tidak hanya tentang KPK, tapi juga soal hukum dan pertanahan," tutur Petrus.
Petrus juga memuji corak pergerakan mahasiswa milenial yang independen. Menurut mantan aktivis 1998 itu, mahasiswa yang turun ke jalan tidak disokong pemodal, bukan sebagai pendukung Jokowi, kelompok oposisi, dan kelompok intoleran.
Karena itu, Petrus berharap gerakan mahasiswa tidak dibonsai. "Gerakan tersebut terlihat murni karena panggilan hati nurani. Mereka sadar diri tidak mau ditunggangi oleh kelompok lain. Mahasiswa ini adalah harapan masa depan setelah banyak kekhawatiran Jokowi sulit mendapat kritik," kata Petrus.
Novelis dan mantan aktivis Linda Christanty menilai, aksi unjuk rasa mahasiswa menolak revisi KUHP dan RUU kontroversial lainnya menepis anggapan bahwa generasi milenial cenderung apolitis. Menurut dia, mahasiswa pada era apa pun akan bergerak jika negara sedang 'tidak sehat'.
"Saya rasa momentumnya memang pas. Pemicu dari ini semua adalah ketika mahasiswa atau masyarakat memandang ada yang salah di negara ini sekarang, dari segi hukum, hak asasi manusia, dan ketidakadilan," ujar Linda.