Munculnya kelompok relawan menjadi fenomena tersendiri dalam beberapa pelaksanaan pemilu ataupun pilkada beberapa tahun terakhir.
Menjelang Pemilu 2019 mendatang, beberapa kelompok telah mendeklarasikan diri untuk mendukung calon presiden ataupun calon wakil presiden. Misalkan saja Gatot Nurmantyo untuk Rakyat (GNR), Relawan Cinta (Cak Imin untuk Indonesia), Joss (Jokowi-Susi), Relawan Anis Matta For President (AM4RI-1), dan lainnya.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin mengatakan, fenomena munculnya kelompok yang mengatasnamakan relawan pendukung tokoh wajar terjadi. Apalagi, demokrasi memberi ruang untuk memunculkan calon pemimpin. "Rakyat berhak memunculkan calon pemimpin," kata Ujang kepada Alinea.id, Senin (23/4).
Tetapi yang menjadi persoalan adalah, apakah calon yang diusung tersebut layak atau tidak untuk didukung rakyat. Kemudian apakah calon tersebut berkapasitas atau tidak. Hal lain yang harus diperhatikan adalah rasionalitas. Misalkan tidak mungkin mencalonkan seseorang yang hanya memiliki ijazah SMP karena UU mensyaratkan minimal menjadi calon wapres dan capres berijazah SMA.
Dalam tahun politik ini semua orang ingin memiliki peran. Apalagi, pelaksanaannya tinggal setahun lagi. Tidak heran kalau banyak pihak yang ingin unjuk gigi dan mengambil posisi sebagai alat tawar. Itulah sebabnya mereka tidak bisa dikatakan sebagai independen. Sebab jika berbicara politik, bukan hanya berbicara yang tampak di depan, namun juga percakapan di panggung belakang.
Mengenai hal itu, Koordinator Nasional Jokowi-Susi (Joss) Akbar Setiawan mengklaim kelompoknya independen. Dia mengatakan relawan JOSS berasal dari kalangan mahasiswa dan anak muda dan merupakan representasi berbagai daerah di Tanah Air.
Menanti Mendapatkan Kue
Sosiolog Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Musni Umar menjelaskan, fenomena munculnya relawan yang kemudian mendeklarasikan calon tertentu, lebih karena ingin mendapatkan 'kue' dari perhelatan politik.
Apalagi, pada pertarungan tersebut, peserta pemilu mengeluarkan dana yang diharapaan mereka dilibatkan di dalamnya. "Kalau telah memenangkan pertarungan, para relawan bisa mendapatkan 'kue' dari kemenangan. Sebenarnya sesederhana itu saja," katanya.
Jadi tidak mungkin para relawan tersebut tidak memiliki motif tertentu. Apalagi jika kegiatan tersebut sampai menghabiskan waktu. Sebagai contoh pada saat pertarungan pilgub DKI, pada saat itu juga banyak relawan yang hadir. Jika benar mereka melakukannya berlandaskan ideologi, perjuangan yang dilakukan tentunya akan dilakukan dengan sebenar-benarnya. Hanya saja, saat ini tidak banyak idealisme yang seperti itu. Tidak banyak cita-cita besar yang diperjuangkan. Sebagian besar hanya berupaya bagaimana bisa mendapatkan 'kue' dari pesta tersebut.
Sementara sosiolog Universitas Indonesia Nadia Yovani menjelaskan, kemunculan relawan wajar terjadi. Apalagi dari sudut pandang sosiologis, orang Indonesia memiliki sifat gotong royong. "Dalam hal membantu sudah ada sejak turun menurun," katanya kepada alinea.id. Jiwa dan semangat itulah yang dikedepankan kelompok tertentu untuk memenangkan kepentingannya dalam arena politik.
"(Meskipun) saya tidak percaya adanya jiwa sosial jika telah masuk dalam ranah politik. Sebenarnya itu hanya bentuk komoditas yang agak lebih ramah untuk menjual dalam perhelatan politik. Komoditas tersebut dibungkus dengan kata relawan," tuturnya. Apalagi, imbuhnya, dalam dunia politik selalu ada transaksi yang bertujuan untuk memenangkan kepentingan.