Rentetan ‘borok’ KPU sebelum pemilu
Pemilu akan berlangsung sekitar setahun lagi. Namun, belum juga pesta demokrasi dimulai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) malah menuai sorotan.
Pada Desember 2022, KPU diduga meloloskan verifikasi faktual tiga partai politik, yakni Partai Gelora, Partai Garuda, dan Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dengan cara culas. Dugaan tersebut terungkap dari para petugas KPU di daerah, yang merasa diintimidasi demi melenggangkan tiga partai politik tersebut.
Diungkapkan kuasa hukum dari Themis Indonesia Law Firm, Ibnu Syamsu Hidayat—yang diunjuk petugas KPU daerah—di Gedung KPU, Jakarta pada 13 Desember 2022, kecurangan yang dilakukan adalah praktik mengubah data partai politik dalam sistem informasi, serta mengubah status tidak memenuhi syarat menjadi memenuhi syarat untuk tiga partai politik tadi.
Buntutnya, 10 penyelenggara pemilu diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), termasuk komisioner KPU Idham Holik. Dalam sidang putusan dugaan pelanggaran etik terkait manipulasi hasil verifikasi faktual partai politik itu di Jakarta, Senin (3/4), DKPP menetapkan enam dari 10 jajaran penyelenggara pemilu terbukti melanggar kode etik.
Enam orang itu, antara lain anggota KPU Kepulauan Sangihe, yakni Elsye Philby Sinadia, Tommy Mamuaya, dan Iklam Patonaung (sanksi peringatan keras); Sekretaris KPU Sulawesi Utara Lucky Firnandy Majanto dan Kepala Bagian Teknis Penyelenggaraan, Partisipasi Masyarakat, Hukum, dan SDM KPU Sulawesi Utara Carles Y Worotitijan (sanksi peringatan); serta Kepala Subbagian Teknis dan Hubungan Partisipasi Masyarakat KPU Sangihe Jelly Kantu (diberhentikan).
Empat teradu lainnya, yakni Idham Holik dan tiga anggota KPU Sulawesi Utara, yaitu Meidy Yafeth Tinangon, Salman Saelangi, dan Lanny Ointu dinilai tak terbukti melanggar etik.
Di balik segala masalah
Masalah dalam lingkaran KPU tak berhenti di situ. Saat memberi sambutan dalam “Catatan Akhir Tahun 2022 KPU” pada Kamis (29/12/2022) Ketua KPU Hasyim Asy’ari dianggap melanggar etik karena mengungkapkan kemungkinan penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Pada Senin (27/2), DKPP menjatuhkan sanksi peringatan kepada Hasyim.
Hasyim pun diadukan ke DKPP karena diduga melanggar kode etik lantaran melakukan perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta bersama Ketua Partai Republik Satu Mischa Hasnaeni Moein alias Wanita Emas pada 18 Agustus 2022.
Hasyim dan Hasnaeni melakukan ziarah ke sejumlah tempat di Yogyakarta. Padahal, pada 18-20 Agustus 2022, Hasyim punya agenda resmi, yaitu menghadiri penandatanganan MoU tujuh perguruan tinggi di Yogyakarta. Hasyim diadukan pula melakukan dugaan pelecehan seksual terhadap Hasnaeni.
Dalam sidang kode etik DKPP pada Rabu (3/4), Hasyim dianggap melanggar kode etik penyelenggara pemilu (KEPP). DKPP menilai, pertemuan tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, tidak patut, serta tak pantas dilakukan Hasyim selaku Ketua KPU.
DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim. Sedangkan pelecehan seksual yang dituduhkan, DKPP menilai Hasyim tak terbukti melakukannya.
Rentetan kasus yang menyasar ke KPU terkait pelanggaran kode etik, tak membuat komisioner KPU Idham Holik pesimis. Bagi Idham, KPU masih menjadi lembaga yang dipercaya publik. Pernyataannya didasarkan survei Populi Center dan Litbang Kompas.
Survei Populi Center pada Februari 2023 memang menempatkan KPU sebagai lembaga negara dengan tingkat kepercayaan masyarakat tertinggi ketiga, di bawah Presiden dan TNI. Skornya 67%. Sementara survei Litbang Kompas yang juga dirilis pada Februari 2023 pun menempatkan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di peringkat ketiga tertinggi, dengan 62%, di bawah TNI dan pemerintah daerah.
<div class="flourish-embed flourish-chart" data-src="visualisation/13573317"><script src="https://public.flourish.studio/resources/embed.js"></script></div>
"Kami berupaya meningkatkan kepercayaan publik. Kami sadar betul bahwa kepercayaan publik merupakan instrumen penting untuk meningkatkan partisipasi pemilih," ujar Idham kepada Alinea.id, Kamis (27/4).
"Kami meyakini ke depan kepercayaan publik, seiring perjalanan tahapan penyelenggaraan pemilu, terus meningkat dan publik dapat mencerna informasi dengan jernih dan rasional.”
Sementara itu, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menganggap, kontroversi dan pelanggaran etik anggota KPU adalah persoalan besar.
“Proses dan hasil pemilu itu menjadi berpotensi besar tidak akan dipercaya, diyakini, dan mendapat legitimasi karena penyelenggaranya sendiri bermasalah,” ucap Hadar, Rabu (26/4).
Baginya, pelanggaran etik membuat komisioner KPU gagal dan sepatutnya diganti. Sedangkan Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta melihat, ada penurunan kualitas penyelenggara pemilu.
Menurut Kaka, seharusnya pelanggaran kode etik tak terjadi lantaran mayoritas komisioner KPU berasal dari kalangan profesional dan punya pengalaman. Ketua KPU Hasyim misalnya, sudah malang melintang di lembaga penyelenggara pemilu sejak 2003.
“Harusnya dari sumber daya yang ada cukup bagus,” ujarnya, Rabu (26/4).
Namun, kondisi yang ada tak menunjukkan hal tersebut. “Sorotan publik terhadap proses verifikasi partai politik, sejak awal sudah muncul,” kata dia.
Ia meminta Presiden Joko Widodo turun tangan. Bukan untuk intervensi. “Melainkan memastikan independensi penyelenggara pemilu tetap kuat,” tuturnya.
Kaka melanjutkan, serangkaian persoalan yang membelit KPU muncul karena lembaga itu tak menjaga independensinya dari intervensi partai politik dan kekuasaan. Selain itu, ia berpendapat, masalah yang ada di KPU adalah imbas dari proses seleksi komisioner yang tak berjalan dengan baik. Ia menerka, saat proses tersebut ada indikasi partai politik tertentu yang menentukan komisioner KPU.
“Kelompok tertentu menjadi lebih banyak dibanding kelompok lain. Ada kelompok yang dipinggirkan sampai tingkat provinsi kemarin, ini juga catatan,” ujarnya.
“Artinya bahwa preferensinya bukan pada profesionalisme, tetapi lebih kepada kelompok-kelompok.”
Kelompok yang dimaksud Kaka bisa berasal dari organisasi atau jejaring calon komisioner. Di samping itu, dalam proses rekrutmen, KIPP mencatat ada tim seleksi yang diduga punya afiliasi dengan partai politik. Akar masalah lainnya, masyarakat sipil jarang diajak berdiskusi. Menurut Kaka, kalaupun KIPP diundang KPU, acaranya hanya seremonial.
“Kalau seremonial, tinggal ketok palu, enggak penting itu,” ucapnya.
Terpisah, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengaku ragu apabila komisioner KPU tidak mengetahui batasan kode etik, kemandirian, dan profesionalitas. Pangkalnya, mereka adalah orang-orang berpengalaman.
Fadli berpendapat, seharusnya penyelenggara pemilu bisa menjaga sikap, nilai, dan profesionalitas dari setiap kepentingan. Fadli menambahkan, kepentingan politik dalam setiap pemilu kepada KPU sudah lazim terjadi. Namun, terpenting adalah sejauh mana komisioner KPU bisa menjaga dirinya.
“Kemudian menjaga institusinya. Itu yang menurut saya hari ini agak goyang,” ucap Fadli, Rabu (26/4),
Menyelesaikan persoalan
Menurut Hadar, transparansi masih menjadi persoalan di KPU. Semestinya, ujar Hadar, apa yang dikerjakan KPU harus terbuka. Publik tak boleh hanya diberikan informasi sebatas pengumuman saja, tetapi perlu diberitahu proses dan data yang dikelola KPU.
Hadar, yang pernah menjadi komisioner KPU (2012-2017) menerangkan, data yang terbuka akan membuat penyelenggaraan pemilu berintegritas. Keterbukaan data itu bisa menyulitkan pihak-pihak yang ingin memanipulasinya.
“Dengan lebih banyaknya publik mengetahui sejak awal, sebetulnya publik bisa membela KPU kalau ada pihak-pihak yang mau menyengketakan KPU,” ujar dia.
“Kalau publik tidak tahu, terus apa yang kita mau dibela?”
Senada, Kaka mengatakan, sistem KPU saat ini tak terbuka sepenuhnya. Ia mencontohkan, dalam Sipol—platform berbasis web yang digunakan untuk menginput data partai politik—ada beberapa area yang tak bisa diakses.
“Walaupun menggunakan sistem informasi, harus ada sebuah upaya atau sistem yang sedemikian rupa, sehingga publik tahu kebenaran dari data itu,” kata dia.
Hadar pun menyayangkan peraturan yang dibuat dengan cara mencicil. Contohnya, belum lama KPU mewacanakan merevisi aturan kampanye, terutama di media sosial. Seharusnya, hal itu tak terjadi karena semua butuh kepastian hukum.
Membuat aturan yang mepet, seharusnya bisa dihindari lembaga sebesar KPU. Menurutnya, tugas-tugas KPU bisa dibagi-bagi kepada setiap komisionernya. Jika merasa tak mampu, dapat melibatkan pihak luar. Absennya aturan, kata Hadar, merupakan persoalan besar yang membuat Bawaslu tak dapat bekerja maksimal.
“Jadi, sadari betul dan kemudian ambil sikap. Jangan terlena dengan mainan ritme dari DPR dan pemerintah, yang menurut saya cenderung menganggap enteng,” ujarnya.
Lebih lanjut, dalam membenahi kondisi yang ada, Hadar menyarankan komisioner KPU betul-betul menunjukkan dan memastikan kerja-kerja mereka selanjutnya beres. Sekalipun tidak bisa mengembalikan kepercayaan publik sepenuhnya.
“Mereka harus bekerja betul-betul dengan integritas tinggi. Jangan lagi berbuat kekeliruan sekecil apa pun. Mereka harus bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu, terutama tentang transparansi,” katanya.
Kemudian, ia mengingatkan agar KPU bekerja secara profesional. Jangan ada diskriminasi dan melayani setengah hati.
“Semua harus dipersiapkan dengan baik. Jangan cuma pandai bikin rapat di sana-sini, bikin pertemuan di hotel mewah di kota ini, kota sana,” ucap Hadar.
“Siapkan betul-betul sistem, peraturan, kemudian sosialisasi tentang sistem dan peraturannya.”
KPU juga harus independen, tak mengekor kepada pemerintah dan DPR. Menurutnya, dalam komunikasi, KPU bisa memberikan surat kepada dua lembaga itu, tanpa perlu meminta persetujuan tentang aturan yang hendak dibuat. Jika pemerintah dan DPR tak memberikan masukkan tertulis tentang suatu rencana aturan yang dibuat, maka KPU bisa segera menetapkannya.
“Itu kan semua hanya masukkan, bukan kesepakatan. Keliru kalau semua dibangun kesepakatan seperti yang sekarang terjadi,” ujarnya.
Terakhir, supaya kepercayaan publik bisa pulih, Hadar mengatakan, KPU seharusnya tak menggunakan anggaran untuk sesuatu yang tak perlu. Misalnya, rencana anggaran mobil baru dan mobil taktis Maung Pindad MV2 4x4 untuk distribusi logistik.
Di sisi lain, menurut Kaka, komisioner KPU harus melakukan evaluasi internal secara serius. "Setelah itu, memastikan semua informasi pemilu disampaikan kepada publik dan menjamin independensinya," ujarnya.