Pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat mendorong masyarakat luas untuk menolak Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) yang baru saja disahkan DPR dalam Rapat Paripurna hari ini (24/5). Dalihnya, selain isinya tidak sesuai dengan partisipasi dan prinsip demokrasi alias dagelan, revisi Undang-Undang PPP ini juga dilakukan secara kilat dibahas hanya selama 10 hari Badan Legislasi (Baleg) DPR, tidak dengan partisipasi luas dari publik Indonesia.
"Apa yang direvisi dalam RUU PPP tersebut jelas-jelas DPR sedang mempertontonkan adikuasanya di atas rakyat. DPR ini lupa bahwa mereka hanyalah adalah perwakilan rakyat. Rakyatlah yang berkuasa penuh di sistem demokrasi bukan DPR," ujar Achmad Nur dalam keterangannya, Selasa (24/5).
"Filosofi keterbukaan dan partisipasi publik dianggap hanya pelengkap saja bukan inti dari setiap penyusunan peraturan perundang-undangan," kata dia.
Menurut Achmad, terdapat 19 poin perubahan yang semuanya berdampak pada disempitkannya partisipasi publik. Adapun pasal yang direvisi adalah penjelasan pasal 5 huruf g, penambahan pasal 42A, Perubahan Pasal 49, pasal 64, pasal 73, pasal 85, pasal 95A, 97A, 97B, 97C,pasal 98, pasal 99 dan perubahan lampiran I bab II tentang naskah akademik dan teknik perancangan peraturan perundang-undangan.
Penambahan pasal 42A dan pasal 64 misalnya ditambahkan metode omnibus sebagai metode lain dalam perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Pasal ini diduga untuk memuluskan segala aturan omnibus law termasuk omnibus law cipta kerja yang dinyatakan tidak memiliki dasar hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
"DPR sendiri mempermudah penjelasan seputar asas keterbukaan, mempermudah DPR untuk merevisi produk UU dalam jangka waktu 2x7 hari meskipun RUU tersebut sudah diketuk di sidang paripurna. Intinya mayoritas perubahan tersebut bukan untuk membuka partisipasi rakyat yang besar namun sekedar memberikan kemudahan DPR agar dapat mengesahkan produk UU tanpa ribetkan dengan partisipasi publik," ucap dia.
Dia mengatakan, produk undang-undang seringkali mengalami revisi meski sudah diketok di sidang paripurna. Seolah hasil final produk Undang-Undang bukanlah versi yang diketok namun ada versi lain setelah produk tersebut di ketok. Menurutnya, hal ini sangat aneh dan membuka peluang pembajakan dan penyusupan Undang-Undang oleh oknum DPR atau kesekretariatan DPR itu sendiri tanpa sepengetahuan seluruh anggota DPR lainnya.
"Perubahan tersebut terjadi dalam pasal 72 Revisi UU PPP tersebut dimana DPR memungkinkan melakukan perbaikan teknis penulisan RUU setelah RUU disetujui bersama namun belum disampaikan kepada Presiden," ucap Achmad Nur.