Riak-riak di tubuh PSI: "Bagi saya, PSI tak lagi istimewa..."
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) kembali ditinggalkan kader-kadernya. Kali ini, Anggara Wicitra, Idris Ahmad dan Jovin Kurniawan memutuskan melepas seragam PSI dan bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Ketiganya kini diusung PAN sebagai caleg DPRD DKI Jakarta.
Ini bukan kali pertama PSI ditinggal kadernya. Sejak beberapa tahun, sejumlah politikus muda PSI telah hengkang, mulai dari Tsamara Amany, Rian Ernest Tanudjaja, Michael Victor Sianipar, Surya Tjandra, hingga Sunny Tanuwidjaja.
Eks politikus PSI Guntur Romli menganggap wajar jika gelombang eksodus kader muda terus terjadi di tubuh PSI. Ia menyebut setidaknya dua alasan kenapa politikus-politikus muda PSI memutuskan hengkang. Pertama, banyak kader PSI merasa tak punya masa depan di PSI.
"Nah, saya kira orang seperti Rian Ernest yang keluar dari PSI dan pindah ke Golkar, kemudian Tsamara Amany. Mereka, ya, saya kira tidak bisa melihat lagi PSI memiliki masa depan sebagai partai politik," kata Guntur kepada Alinea.id, belum lama ini.
Guntur cabut dari PSI, Agustus lalu. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu kader PDI-Perjuangan. Ia juga didapuk jadi Ketua Ganjarian Spartan, salah satu kelompok relawan pendukung bakal calon presiden Ganjar Pranowo.
Secara khusus, Guntur menyoroti hengkangnya Anggara Wicitra alias Ara dan Idris Ahmad. Menurut dia, kepindahan Ara dan Idris mengindikasikan PSI tak lagi identik sebagai parpol kaum muda. Apalagi, keduanya pernah berkantor di DPRD DKI Jakarta. "Dan yang masuk di PSI itu malah dalam tanda kutip yang sudah berusia," imbuh Guntur.
Mulai ikut pemilu pada 2019, elektabilitas PSI juga tergolong mangkrak. Survei terbaru yang dirilis Kompas menunjukkan elektabilitas PSI di bawah 1%. Padahal, pada Pemilu 2019, PSI meraup perolehan suara sebesar 2.650.361 juta atau 1,89% dari total suara nasional.
"Sampai sekarang, di berbagai survei, (elektabilitas) PSI kan masih nol koma. Bagi politisi muda yang memiliki karier yang panjang, mereka tidak mau berjudi dengan sebuah partai yang tidak bisa memberikan kepastian masa depan," kata dia.
Alasan kedua, lanjut Guntur, ialah terkait ideologi. Guntur terutama menyoroti pertemuan petinggi PSI dengan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto, belum lama ini. Pada 2019, PSI bisa dibilang anti-Prabowo lantaran rekam jejaknya sebagai salah satu sosok yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat di masa lalu dan ditengarai memanfaatkan isu SARA demi kepentingan elektoral.
"Bagi saya, tidak bisa PSI itu melakukan koalisi, bermain mata, atau malah menerima, dan mesra-mesraan dengan Prabowo. Dan, alasan ini juga menjadi alasan kader PSI yang keluar atas sikap yang sama, pertimbangan yang sama," tutur dia.
Guntur juga blak-blakan soal riak-riak di internal PSI. Menurut dia, PSI tak lagi egaliter lantaran didominasi Dewan Pembina yang saat ini diketuai Grace Natalie. Ia menyebut para kader tak bisa menolak keputusan lembaga tersebut.
"Kader-kader yang memiliki pertimbangan yang lain, memiliki pandangan yang lain sehingga tidak mau melaksanakan perintah itu, jadi, ya keluar. Saya yakin ketika menerima Prabowo di Kantor DPP PSI itu juga atas perintah dari Dewan Pembina," tuturnya.
Hilangnya karakter dan nilai-nilai utama di tubuh PSI itu, kata Guntur, bikin kader-kader resah. Ia menyebut PSI tak ada bedanya dengan parpol-parpol mapan lainnya yang mengutamakan kepentingan politik di atas ideologi.
"Kalau membuka komunikasi dengan alasan silaturahmi dengan orang yang melakukan pelanggaran HAM, ya, seperti yang saya bilang tadi bahwa PSI sama saja dengan partai lainnya. Bagi saya, enggak ada yang istimewa lagi di PSI," cetus Guntur.
Baik-baik saja?
Wakil Sekretaris Jenderal PSI Satia Candra Wiguna mengatakan PSI masih baik-baik saja. Ia juga membantah arah perjuangan dan nilai-nilai yang dianut PSI berubah di bawah kepemimpinan Giring Ganesha.
Sebagai contoh, ia menyinggung pemecatan terhadap Ketua DPD PSI di Palembang, Toni, Juni lalu. Toni dipecat lantaran kedapatan meminta mahar kepada seorang bakal calon anggota legislatif (bacaleg) PSI.
"Justru saya balik nanya, "Kita yang berubah atau mereka justru yang berubah?' Di PSI, kita kan tidak boleh menerima proyek. Kita juga tidak bisa terjebak dalam cawe-cawe di proyek-proyek andalan," ujar Satia kepada Alinea.id.
Satia juga menepis pengakuan eks kader-kader PSI yang menyebut partai itu berlambang tangan menggenggam mawar itu tak lagi konsisten. Menurut dia, PSI masih terap memperjuangkan nilai-nilai anti korupsi, penegakan HAM, toleransi, dan kesetaraan gender.
"Misalkan Bro Giring tidak lagi menjabat, ya, itu pasti akan sama. Tidak boleh ada yang berubah. Karena (nilai-nilai) itu syarat untuk jadi seorang kader atau pengurus di PSI. Apakah mampu mereka menjalankan ide ide besar dari PSI," kata dia.
Satia membenarkan belakangan PSI merekrut sejumlah kader baru yang secara usia tak lagi muda, termasuk di antaranya eks politikus Berkarya pimpinan Andi Picunang. Terkait itu, ia menegaskan tak ada riak-riak konflik di internal PSI karena bergabungnya kader-kader baru tersebut.
"Teman-teman (eks politikus) Berkarya masuk itu harus tahu bahwa memang berkarya di PSI tidak ada mahar dan segala macem. Jadi, mereka paham dan mereka sampaikan setuju dengan perjuangan PSI. Jadi, saya rasa tidak mungkin kalau ada orang masuk tidak mengikuti aturan rumah itu," jelasnya.
Meski ditinggalkan kader-kader muda unggulan mereka, Satia menegaskan PSI masih partainya anak muda. Itu setidaknya terlihat dari komposisi pengurus PSI yang sekitar 50% diisi oleh anak muda.
"Di anggota DPRD juga masih banyak anak muda. Itu kan dari segi angka ya, tapi kalau dari segi pikiran, ide-ide dan segala macem, beda lagi. Dari sosial media juga terlihat apa yang kita perjuangkan, misalnya soal BPJS gratis, kuliah gratis.
Lebih jauh, Satia mengaku heran pertemuan petinggi PSI dengan Prabowo yang dikeluhkan eks kader PSI dan dijadikan alasan untuk hengkang. Menurut dia, pertemuan itu hanya silaturahmi politik biasa yang seharusnya tidak perlu dipersoalkan.
"Masa sih ada yang tidak nyaman? Jadi, apa bener alasannya memang karena Prabowo komunikasi dengan PSI? Kita kan enggak pernah tahu. Kita pun (untuk eks kader PSI) yang di DPRD juga ya, sudah... Semoga ketika di partai barunya, kayak di PAN, PDI-P, mereka juga dapat menebar apa yang sudah di dapatkan selama ini di PSI," tutur dia.
Satia meyakini PSI masih punya daya tarik kuat di kalangan anak muda. Ia mencontohkan bergabungnya Martin Lukas Simanjuntak dan Sidi Rana Menggala. Martin ialah salah satu pengacara Brigadir Joshua, sedangkan Sidi adalah peneliti dan pakar tanaman pangan di Ghent University Belgia.
"Dalam Islam itu, jika kita sedekah pasti akan kembali kebaikan itu. Ada yang keluar, tapi ada yang kembali bergabung dengan PSI dua sampai tiga orang," ujar dia.
Teranyar, PSI juga baru saja menerima Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo (PSI), sebagai kader. Kaesang dikabarkan bakal mendapat posisi penting di PSI.
Perlu konsolidasi
Pengamat politik Ujang Komarudin menilai wajar jika PSI kembali ditinggalkan kader-kader unggulannya. Terlepas dari elektabilitasnya yang rendah di papan survei, menurut Ujang, PSI juga kerap tak konsisten menjalankan ideologi dan nilai-nilai yang mereka anut.
"Dulu ingin memberantas korupsi, tapi kadernya banyak yang terlibat. Lalu, bermain menyerang lawan, menyerang (eks Gubernur DKI Jakarta) Anies (Baswedan), gitu. Seolah-olah orang lain, pihak lain menjadi lawan. Apa yang dilakukan oleh Anies seolah-olah semua salah. Itu juga menjadi problem," kata Ujang kepada Alinea.id.
Ujang melihat persoalan di tubuh PSI sudah mulai mengemuka sejak dua tahun lalu. Ketika itu, kader-kader PSI di daerah satu per satu hengkang dan bergabung dengan parpol lain.
"Ini jauh-jauh hari sudah saya prediksi akan terjadi seperti itu. Karena jika satu partai memperjuangkan sesuatu, lalu tidak konsisten di situ, maka kader-kader itu tidak nyaman dan pasti akan keluar," kata dia.
Ujang menyebut PSI juga sudah tak relevan lagi dianggap sebagai partainya anak muda. Pasalnya, partai-partai mapan semisal Golkar, PAN, PDI-P, dan PPP juga sudah rutin melibatkan anak muda dan menunjuk mereka sebagai pengurus parpol.
"Ada yang jadi juru bicara, ada yang menjadi pengurus, lalu ada juga menjadi simpatisan dari partai-partai yang lain. Jadi, sudah kehilangan relevansinya ketika PSI masih mengusung anak-anak muda karena anak-anak mudanya kan banyak keluar dari PSI itu. Jadi, sudah kehilangan rohnya," kata dia.
PSI, lanjut Ujang, perlu mengonsolidasi kader-kadernya. Selain menyamakan persepsi antara kader lama dan kader baru, PSI juga perlu mencegah gelombang eksodus terus terjadi. Apalagi, saat ini tahapan pemilu tengah berlangsung.
"Pemilihan presiden, pileg itu tidak bisa kalau tidak solid. Tidak bisa kalau tidak bersatu. Itu modal awal bagi partai politik untuk bisa memenangkan pertarungan politik tersebut," kata dia.