Setelah menyeret belasan tersangka ke meja hijau, drama kasus korupsi proyek pengadaan KTP-elektronik ternyata belum usai. Kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun itu kini menyeret nama Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Jokowi disebut pernah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto, eks Ketua DPR RI. Novanto, juga akrab disapa Setnov, ialah dalang kasus korupsi tersebut dan telah divonis hukuman 15 tahun penjara.
Informasi itu diungkap Ketua KPK periode 2015-2019, Agus Rahardjo dalam sebuah wawancara dengan Kompas TV, belum lama ini. Tak lama setelah Novanto diumumkan menjadi tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017, Agus mengaku pernah diundang Jokowi ke Istana Negara.
Dalam pertemuan itu, menurut Agus, Jokowi meradang. Eks Wali Kota Surakarta itu ingin agar penyidikan terhadap Novanto dihentikan. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno jadi saksi pertemuan rahasia antara Jokowi dan Agus ketika itu.
"Saya bicara apa adanya saja. Sprindik sudah saya keluarkan tiga minggu yang lalu. Di KPK itu enggak ada SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Enggak mungkin saya memberhentikan itu,” kata Agus.
Pertemuan itu tak membuahkan hasil. Tak lama setelah itu, wacana revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) digulirkan. Meski dihadang gelombang protes kalangan aktivis dan mahasiswa, revisi UU KPK sukses disahkan DPR. Setelah revisi, KPK kini memiliki mekanisme SP3.
Pada era itu, Jokowi sedang mesra-mesranya dengan Novanto. Sekitar setahun sebelum memakai rompi oranye, Novanto membawa Golkar kembali ke pemerintahan. Tak lama setelah terpilih sebagai Ketum Golkar melalui musyarawah luar biasa (munaslub) di Bali, tepatnya pada 24 Mei 2016, Novanto terekam bertemu Jokowi di Istana Merdeka.
Kepada wartawan usai pertemuan itu, Novanto menegaskan dukungan tanpa syarat Golkar kepada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Ketika itu, Golkar memiliki 91 kursi di DPR. Sebelum dipimpin Novanto, Golkar sempat berpetualang menjadi oposisi selama dua tahun.
Jokowi disebut-sebut turut memuluskan pemilihan Novanto sebagai Ketum Golkar. Di munaslub, ia "mengirimkan" Luhut Binsar Panjaitan, Menko Polhukam ketika itu, untuk menyokong Novanto. Luhut lazimnya satu pemikiran dengan Jokowi.
Calon ketum lainnya, Ade Komaruddin (Akom), didukung JK. Ketika itu, JK juga direncanakan hadir di munaslub. Acara makan-makan dengan perwakilan DPD Golkar sempat disiapkan jelang pemilihan ketum. Namun, JK tak jadi terbang ke Bali. JK diminta Jokowi tetap di Jakarta, sedangkan Luhut diizinkan cuti.
Luhut ialah karib Novanto di Golkar. Pada 2015, nama Luhut, Novanto, dan Jokowi pernah "hadir" berbarengan dalam sebuah rekaman suara bertajuk "Papa Minta Saham" yang beredar pada Desember 2015. Rekaman itu berisi percakapan antara Novanto, pengusaha Muhammad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin di Hotel Ritz Carlton pada 8 Juni 2015
Dalam rekaman itu, Novanto sempat menyebut Jokowi seorang yang koppig alias keras kepala dan susah diatur. Dalam percakapan yang sama, via Luhut, Jokowi juga disebut-sebut meminta jatah saham PT Freeport hingga 11%. Imbalannya, pemerintah akan memudahkan perpanjangan izin operasi PT Freeport di Papua.
Berbeda dengan sikapnya saat marah-marah di depan Agus, Jokowi pedas menanggapi pencatutan namanya di kasus Papa Minta Saham. Dalam sebuah konferensi pers di Istana Kepresidenan, Desember 2015, ia membantah meminta jatah saham dari PT Freeport.
"Saya tidak apa-apa dikatakan presiden gila, presiden sarap, presiden koppig. Tidak apa-apa. Tetapi, kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut meminta saham 11%, itu yang saya tidak mau. Tidak bisa. Ini masalah kepatutan, kepantasan, moralitas. Itu masalah wibawa negara," ungkap Jokowi seperti dikutip dari Tempo.
Namun, sikap keras Jokowi ketika itu dibantah eks Menteri ESDM Sudirman Said yang kini jadi Co-Captain Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN). Jokowi, kata dia, justru marah saat ia melaporkan kasus Papa Minta Saham ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada November 2015. Sudirman mengaku dipanggil Jokowi ke Istana karena laporan itu.
"Presiden sempat marah. Saya ditegur keras, dituduh seolah-olah ada yang memerintahkan atau ada yang mengendalikan," kata Sudirman di Kantor PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), Jakarta, Jumat (1/12).
Karena kasus Papa Minta Saham, Novanto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI. Akom menggantikan Novanto. Setelah memastikan tak dapat sanksi dari MKD dan memenangkan sebagian gugatan di MK terkait kesahihan bukti sadapan, Novanto kembali membidik kursi Ketua DPR.
Niat itu sempat ia bicarakan dengan Jokowi dalam sebuah santap sore di Istana Merdeka, Jakarta pada pengujung November 2016. Di depan wartawan Istana dan Jokowi, Novanto mengungkap adanya permintaan dari kader-kader Golkar agar ia kembali jadi Ketua DPR.
"Saya sudah sampaikan ke Presiden. Presiden juga semuanya itu beliau serahkan kepada partai. Beliau tidak ikut campur dan beliau tidak ikut mempengaruhi," ujar Novanto.
Duduk di samping Novanto, ketika itu Jokowi hanya menganggukan kepala.